Di dalam kegiatan komunikasi, dikenal istilah komunikator, komunikan, dan pesan. Komunikator adalah orang yang berbicara atau menulis. Tugasnya menyampaikan pesan kepada komunikan. Komunikan adalah orang yang mendengar atau membaca pesan yang diberi oleh komunikator. Pesan adalah pikiran, perasaan, atau gagasan yang disampaikan oleh komunikator kepada komunikan.
Pesan bisa disampaikan secara langsung (tatap muka) atau menggunakan perantara kertas (seperti surat dan memo), alat komunikasi (seperti telepon seluler, komputer, dan internet), dan lain-lain. Setiap pesan membutuhkan satu media penyampaian yang perannya sangat penting, yaitu bahasa. Melalui bahasa, komunikator bisa mengutarakan perasaan, pikiran, dan gagasannya dengan membentuk kata dan kalimat. Dari pesan tersebut, komunikan dapat mengetahui apa yang sedang dipikirkan, diinginkan, diharapkan, atau dirasakan oleh komunikator. Oleh sebab itu, bahasa disebut sebagai media komunikasi, bukan alat komunikasi.
Hal ini bisa diamati dalam contoh kalimat berikut: Bu, aku lapar. Melalui kalimat tersebut, seorang anak yang berperan sebagai komunikator menyampaikan keadaannya (sedang lapar) kepada ibunya. Ibu yang berperan sebagai komunikan akan memahami pesan tersebut kemudian melakukan tindakan lainnya seperti memasak, memberi, atau membeli makanan untuk anaknya.
Ilustrasi ini memberi pemahaman pentingnya suatu komunikasi dalam kehidupan sehari-hari manusia. Akan tetapi, tidak semua komunikasi bisa berlangsung dengan baik. Ada komunikasi yang tidak tepat sasaran. Maksud dari tidak tepat sasaran adalah apa yang ada di dalam pikiran komunikator menjadi berbeda ketika pesan tersebut sampai kepada komunikan. Inilah yang kemudian disebut dengan istilah salah paham. Ini bisa terjadi karena adanya kesalahan dari komunikator, perantara, atau komunikan.
Kesalahan dari pentara terjadi karena adanya masalah dengan alat komunikasi, jaringan internet, dan lain-lain. Akan tetapi, kesalahan utama yang berasal dari komunikator dan komunikan adalah penggunaan bahasa. Kesalahpahaman bahasa ini terjadi dalam dua situasi. Pertama, penggunaan bahasa yang berbeda, misalnya percakapan antara orang Minangkabau dengan orang Sunda yang sama-sama menggunakan bahasa daerah atau percakapan antara orang Indonesia dengan orang Korea Selatan yang sama-sama menggunakan bahasa negara mereka. Kedua, jika komunikan dan komunikator menggunakan bahasa yang sama maka kesalahannya terletak pada ketidakefektifan penggunaan bahasa tersebut.
Banyak faktor yang menyebabkan suatu pesan menjadi tidak efektif, yaitu ambiguitas, diksi yang tidak tepat, imbuhan yang tidak tepat, tidak sistematis, pemborosan kata (terutama untuk kata yang bersinonim dan berhiponim), dan sebagainya. Ini adalah beberapa contoh bahasa yang tidak efektif:
- Penelitiannya gagal dan tidak berhasil karena kurangnya pengalaman dan minimnya pengetahuan. (Kalimat ini tidak efektif karena ada kata yang bersinomim sehingga salah satunya bisa dihilangkan, yaitu gagal, tidak berhasil, kurang, dan minim).
- Meja itu patah setelah memukul adik. (Kalimat ini tidak efektif karena penggunaan imbuhan yang tidak tepat. Imbuhan me- membuat kata meja yang merupakan subjek berperan sebagai pelaku kegiatan pukul dan kata adik yang merupakan objek berperan sebagai sesuatu yang dikenai kegiatan pukul dari subjek. Maknanya menjadi berbeda karena meja adalah benda mati yang tidak bisa melakukan kegiatan. Kalimat ini seharusnya menjadi: Meja itu patah setelah dipukul oleh adik. Pada kalimat pasif ini, pelaku kegiatan adalah objek, bukan subjek).
- Sebaiknya, kita membawa payung karena hujannya kencang. (Diksi kencangdiganti dengan deras).
- Para umat muslim sedang merayakan Idulfitri. (Kalimat ini tidak efektif karena kata umat memiliki makna “para penganut” atau “makhluk manusia”. Kata umat sudah dalam bentuk jamak sehingga tidak perlu memakai kata para yang bermakna “kelompok”).
Empat contoh tersebut adalah ketidakefektifan bahasa yang bisa dirasakan secara langsung ketika seorang komunikator menyampaikan pesannya. Akan tetapi, ada beberapa pengulangan makna yang tidak disadari sering terjadi ketika seorang komunikator memakai kata yang berimbuhan. Bahasa Indonesia memiliki banyak imbuhan, yaitu ber-, ber-an, me-, me-kan, me-i, memper-, memper-kan, memper-i, di-, di-kan, di-i, diper-, diper-kan, diper-i, ke-, ke-an, se-, pe-, pe-an, per-, per-an, ter-, ter-kan, ter-i, -el-, -er-, -em-, -an, -kan, dan -i. Pada dasarnya, imbuhan-imbuhan ini telah mencakup suatu makna yang dimiliki oleh suatu kata sehingga pengguna bahasa Indonesia tidak perlu mengulang kata yang maknanya sudah ada di dalam imbuhan tersebut. Di dalam tulisan ini, akan dibahas beberapa imbuhan, yaitu me-kan, ke-an, ter-, memper-, dan ber-an.
Imbuhan me-kan
Contoh pertama adalah penggunaan imbuhan me-kan. Imbuhan me-kan memiliki banyak makna. Akan tetapi, di dalam tulisan ini, imbuhan me-kan yang dibahas hanya yang bermakna “melakukan untuk” dengan dua objek. Perhatikanlah contoh berikut: Ibu membelikan kue untuk saya. Dalam percakapan sehari-hari, kalimat ini terdengar biasa saja. Akan tetapi, penggunaan imbuhan me-kan dalam kalimat tersebut telah mencakup makna kata untuk maka kalimat tersebut bisa diubah menjadi:
- Ibu membelikansaya kue.
- Ibu membelikue untuk
Imbuhan me-kan di dalam kalimat (1) bermakna “membeli untuk” sehingga tidak perlu lagi kata untuk. Jika kalimat tersebut tidak ada memakai imbuhan me-kan, hanya me-, bisa menggunakan kalimat (2). Berikut adalah contoh-contoh penggunaan me-kan:
- Dia membacakan saya cerita Korea. = Dia membaca cerita korea untuk saya.
- Kami akan membuatkan adik boneka. = Kami akan mebuat boneka untuk adik.
- Dia memasakkan saya kimchi. = Dia memasak kimchi untuk saya.
Imbuhan ke-an
Imbuhan ke-an memiliki banyak makna, yaitu “dalam keadaan” atau “menderita” (kepanasan, kehujanan, kebanjiran, dan lain-lain), “bisa di-“ atau “dapat di-“ (kelihatan, kedengaran, dan lain-lain), “terlalu” (kemahalan, kejauhan, kesiangan, dan lain-lain), “hal” atau “peristiwa” (kedatangan, kebakaran, dan lain-lain), “agak” atau “sedikit” (kekuningan, kemerahan, dan lain-lain), “bersifat seperti” (keibuan, kebapakkan, kebarat-baratan, dan lain-lain), “jumlah dari kumpulan” (kepulauan), dan “bidang ilmu” (kesehatan, kedokteran, kebahasaan, dan lain-lain). Imbuhan ke-an pertama yang dibahas adalah makna “dalam keadaan” atau “menderita”. Perhatikanlah contoh kalimat berikut: Anak itu meninggal karena menderita kelaparan. Kata kelaparan yang berimbuhan ke-an telah memiliki makna “dalam keadaan lapar” atau “menderita lapar” sehingga tidak perlu menggunakan kata menderita. Oleh karena itu, kalimat tersebut bisa diubah menjadi: Anak itu meninggal karena kelaparan.
Imbuhan ke-an kedua yang dibahas adalah makna “terlalu”. Perhatikanlah kalimat berikut: Baju ini sangat kebesaran untuk saya. Kata kebesaran pada kalimat tersebut telah memiliki makna “terlalu besar” sehingga tidak memerlukan kata sangat. Kalimat ini bisa diubah menjadi: Baju ini kebesaran untuk saya. Imbuhan ke-an ketiga yang dibahas adalah makna “bisa di-“ atau “dapat di-“. Perhatikanlah kalimat berikut: Suara ayah bisa kedengaran dari kamar saya. Kata kedengaran telah memiliki makna “bisa didengar” atau “dapat didengar” sehingga tidak perlu kata bisa. Kalimat tersebut bisa diubah menjadi: Suara ayah kedengaran dari kamar saya.
Imbuhan ter-
Contoh ketiga adalah penggunaan imbuhan ter-. Imbuhan ter- memiliki banyak makna, yaitu “sudah terjadi” (terpisah, terputus, dan lain-lain), “tiba-tiba” (teringat, terduduk, dan lain-lain), “dikenai identitas” (terdakwa, terpidana, terkasih, dan lain-lain), “paling” (termahal, tercantik, terpintar), “tidak sengaja” (terbawa, teritidur, dan lain-lain), dan “bisa di-“ atau dapat “di-“ (terbaca, terbeli, dan lain-lain).
Imbuhan ter- pertama yang dibahas adalah makna “tidak sengaja”. Perhatikanlah kalimat beirikut: Tas dia tidak sengaja terbawa oleh adik. Kata terbawa dalam kalimat tersebut memiliki makna “tidak sengaja” sehingga tidak perlu kata tidak sengaja. Kalimat itu bisa diubah menjadi: Tas dia terbawa oleh adik. Imbuhan ter- kedua yang dibahas adalah makna “tiba-tiba”. Perhatikanlah kalimat berikut: Setelah membaca surat itu, tiba-tiba dia terduduk. Kata terduduk telah memiliki makna pertistiwa yang “tiba-tiba” terjadi sehingga tidak perlu kata tiba-tiba. Kalimat tersebut bisa diubah menjadi: Setelah membaca surat itu, dia terduduk.
Imbuhan memper-
Imbuhan memper- memiliki makna “menjadikan” atau “menganggap sebagai” (memperistri, memperbudak, mempertuhan, dan lain-lain) dan “membuat lebih” (mempermudah, mempercantik, memperpanjang, dan lain-lain). Imbuhan memper- yang dibahas adalah makna “membuat lebih”. Perhatikanlah kalimat berikut: Pemerintah memperlebar lagi jalan ini. Kata memperlebar memiliki makna “membuat jadi lebih lebar”. Kalimat ini memiliki situasi bahwa jalan tersebut sebelumnya sudah lebar kemudian akan dilebarkan lagi. Oleh sebab itu, kalimat tersebut tidak perlu kata lagi karena kata memperlebar sudah bermakna “lebih”. Kalimat tersebut bisa diubah menjadi: Pemerintah memperlebar jalan ini.
Imbuhan ber-an
Imbuhan ber-an memiliki makna “saling” (bersalaman, bersentuhan, dan lain-lain), “banyak dan tidak teratur” (bertaburan, beterbangan, berdatangan, dan lain-lain), dan “berada di posisi” (berseberangan, berhadapan, dan lain-lain). Imbuhan ber-an pertama dibahas adalah makna “saling”. Perhatikanlah kalimat berikut: Saya dan ibu saling berpelukan sebelum berpisah di bandara. Kata berpelukan telah memiliki makna “saling” sehingga tidak memerlukan kata “saling”. Kata berpelukan dengan makna saling ini memiliki situasi bahwa keduanya melakukan hal yang sama, yaitu saya memeluk ibu, dan ibu memeluk saya.
Akan tetapi, jika hanya dilakukan oleh satu orang maka katanya menjadi memeluk. Kalimat tersebut bisa diubah menjadi: Saya dan ibu berpelukan sebelum berpisah di bandara. Imbuhan ber-an kedua yang dibahas adalah makna “banyak dan tidak tertarur”. Perhatikanlah kalimat beirkut: Murid berlarian ke sana ke mari setelah mendengar bel istirahat. Kata berlarian telah memiliki makna “banyak (murid) yang berlari tidak teratur” sehingga kalimat tersebut tidak memerlukan frasa ke sana ke mari. Frasa ke sana ke mari menujukkan situai tidak beraturan yang sudah diwakilkan dengan kata berlarian.
Banyaknya imbuhan yang dimiliki oleh bahasa Indonesia sesungguhnya bisa mempersingkat penggunaan kata dalam sebuah kalimat. Akan tetapi, banyak pengguna bahasa Indonesia yang tidak memahami fungsi-fungsi dari imbuhan. Ketika membuat kalimat, terjadilah pengulangan makna.
Kembali pada pembahasan komunikator dan komunikan. Pemahaman bahasa ini sangat penting dimiliki oleh komunikator terutama yang berperan sebagai tokoh masyarakat yang akan menyampaikan pendapat, pidato, membuat keputusan-keputusan, dan sebagainya dalam konteks komunikasi yang sangat luas. Seorang tokoh masyarakat yang berperan sebagai komunikator tentunya akan memiliki banyak komunikan ketika mereka tampil di televisi, radio, tempat publik, bahkan ketika menulis di media massa. Semoga bermanfaat.