Membicarakan perkembangan bahasa generasi muda selalu saja menarik. Pada era 2000-an, penggunaan bahasa di media sosial begitu marak dengan singkatan. Salah satu penyebab ialah keterbatasan karakter pada short message service (SMS) atau pada layar media sosial. Pada masa tersebut, begitu banyak muncul singkatan tak resmi, seperti yg (yang), dgn (dengan), utk (untuk), kpd (kepada), ok (oke), gpl (gak pakai lama), cpt (cepat), OMG (Oh My God), dan tks (terima kasih).
Sejumlah singkatan digunakan pada ranah tulisan saja, seperti yg, dgn, utk, kpd, ok, dan tks. Namun, sejumlah singkatan juga dipakai pada ranah lisan. Singkatan tersebut di antaranya gpl (dibaca gepe-el) yang merupakan singkatan dari gak pakai lama; cpt (dibaca cepete) yang merupakan singkatan dari cepat; dan OMG (dibaca o-em-ji) yang merupakan singkatan dari Oh My God.
“Cepete dong, capek nih nungguin!”
“Gepe-el ya. Kami tunggu di beranda.”
“O-emji! Gue malu.”
Begitulah kira-kira singkatan tersebut ketika digunakan oleh generasi muda, baik secara lisan maupun secara tertulis. Penggunaan singkatan yang pernah tren ini dianggap sebagai seni menulis bahasa lisan. Namun, hal yang terjadi justru seni menulis tersebut merusak kaidah bahasa Indonesia. Banyak guru dan dosen mengeluh karena para pelajar acapkali menuliskan singkatan tersebut pada karya ilmiah, seperti pada makalah, artikel, esai, dan opini. Apalagi, pada lembar jawaban ujian, justru paling banyak ditemukan singkatan tersebut.
Siswa dan mahasiswa ternyata tidak mampu membedakan ranah penggunaan singkatan tidak resmi tersebut. Mereka tidak tahu bahwa tidak dibenarkan menggunakan singkatan tersebut pada ragam ilmiah. Singkatan tersebut hanya boleh digunakan pada ragam santai, seperti percakapan di media sosial.
Sementara itu, pandemi covid-19 yang menyebakan setiap orang harus menggunakan handphone untuk berkomunikasi juga menyebabkan munculnya tren lain dalam menulis. Jika dulu mereka dibatasi dengan karakter, sekarang justru generasi muda bebas menuliskan karakter. Namun, kebebasan ini justru menyebabkan mereka kebablasan dalam menulis. Penggunaan huruf, pemakaian tanda baca, dan penulisan kata kemudian justru tidak sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia.
Generasi muda suka menulis jumlah huruf lebih dari satu, khususnya pada bentuk sapaan. Pagiiiii, Buuuukkkkk; Siaaaaaap, Paaakkk; Okeeeeee, Paakkkkk! merupakan contoh yang sering digunakan. Salah satu alasan yang dikemukakan terkait penggunaan huruf berlebihan tersebut ialah agar dianggap sopan dan dapat dibaca dengan nada lembut atau dengan cara merayu.
Fenomena ini menarik dikaji secara sosio-fonologis. Ada gejala sosial yang terjadi di tengah-tengah masyarakat ketika menuliskan bahasa lisan. Mereka memiliki anggapan bahwa menggunakan huruf yang berlebihan dapat dianggap sopan dibandingkan menggunakan huruf yang sesuai dengan kamus. Mereka beranggapan bahwa penulisan kata yang sesuai dengan kamus membuat percakapan menjadi kaku, terkesan tegas, atau bahkan bernada keras. Anggapan ini tentunya salah karena muncul dari rasa bahasa kelompok tersebut. Padahal, rasa bahasa itu dihadirkan secara intuitif oleh pengguna bahasa itu saja.
Inilah alasan mengapa disebut sebagai seni menulis bahasa lisan yang salah! Seni menulis bahasa lisan seharusnya berpengaruh positif dan tetap menjunjung tinggi kaidah bahasa Indonesia. Namun realitas yang terjadi, seni menulis tersebut justru hanya dinikmati secara terbatas pada sekelompok orang. Sementara itu, kelompok lain merasa risi karena mereka sudah melanggar kaidah bahasa Indonesia. Kelompok ini tentunya berasal dari guru, dosen, atau orang-orang yang berada pada bidang pemerintahan.
Dalam pandangan bahasa secara deskriptif, penggunaan singkatan dan penambahan huruf dalam bahasa tulis tersebut dianggap sebagai kreativitas berbahasa. Namun, dalam pandangan bahasa secara preskriptif, penggunaan singkatan dan penambahan huruf tersebut merupakan penulisan yang salah karena melanggar kaidah penulisan bahasa Indonesia. Dalam Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI), tidak ditemukan bentuk singkatan tersebut dan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) tidak ada kata yang ditulis dengan jumlah huruf berlebihan tersebut.
Dalam konteks ini, setiap orang, khususnya siswa atau mahasiswa seharusnya cerdas dalam berbahasa. Mereka harus tahu kapan dan pada ranah apa boleh menggunakan singkatan atau penulisan huruf berlebihan tersebut. Salah satu wilayah yang diizinkan menggunakan bentuk tersebut ialah dalam percakapan santai melalui media sosial. Sementara itu, dalam percakapan formal, termasuk pada komunikasi antara mahasiswa dan dosen atau siswa dan guru, seni menulis bahasa lisan tersebut tidak ada.
Dalam rangka menjunjung bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, generasi muda seharusnya menghapuskan rasa bahasa tadi dan menggunakan bahasa Indonesia secara baik dan benar, baik pada ranah lisan maupun pada ranah tulisan. Hentikan penggunaan singkatan yang tidak sesuai dengan kaidah, serta hapuskan penulisan huruf yang berlebihan pada percakapan di media sosial.
Kebiasaan melakukan hal tersebut akan berdampak pada penulisan ranah ilmiah. Seseorang dapat menjadi tidak mampu menggunakan kaidah bahasa Indonesia karena sudah terbiasa menggunakan bentuk yang salah. Dengan demikian, kecemasan guru ataupun dosen dalam melihat kebiasaan menulis generasi muda pada ranah percakapan secara tertulis ini, khususnya selama pelaksanaan sekolah daring atau kuliah daring patut ditindaklanjuti.
Guru atau dosen harus menegur dan mengingatkan siswa atau mahasiswa agar dapat menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar, baik secara lisan maupun secara tertulis. Inilah sikap yang harus ditumbuhkan dalam menjaga bahasa Indonesia sebagai bahasa negara. Berbahasa yang baik dan benar tidak akan membuat kita kaku berbahasa, justru akan membuat kita bangga menggunakan bahasa Indonesia sesuai dengan kaidah. Oleh karena itu, tidak ada yang namanya seni menulis bahasa lisan. Berbicara dan menulislah sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia!
Discussion about this post