~SURAT DARI BURUNG MERPATI~
Sejatinya Kita adalah Sang Pemimpi
Bermimpilah Hingga Menembus Batas Cakrawala.
Biar Allah yang Menjadikannya Nyata
(Martha Zhahira El-Kutuby)
“Benarkan rumah Hanifa?”
Tukang pos menyapa Ayah yang sedang membaca koran pagi. Ayah sengaja meliburkan diri karena disuruh rehat oleh dokter untuk beberapa waktu. Demam tingginya masih belum turun. Dia hanya bisa duduk berbalut syal kesayangannya ketika musim dingin dulu di Amerika.
“Ya. Saya ayahnya.”
“Ada surat, Pak. Ini untuk Ibu Hanifa.” “Terima kasih, ya, Mas!”
“Sama-sama, Pak!”
Ayah membawa amplop coklat itu ke dalam rumah. Tanpa dibuka sedikit pun hingga Hanifa pulang dari tempatnya bekerja hari ini. Hanifa bekerja sebagai penulis konten disebuah perusahaan properti yang mempunyai koperasi dengan jaringan UMKM yangluas.
Hanya terbaca tulisan “Associated Press of Pakistan”. Banyak tanda tanya di otak Ayah. Isi amplop ini apa. Logo persatuan pers Pakistan sudah memanggilku untuk menjadi reporter di Pakistan. Aku lulus sebagai pendaftar terbaik diantara tiga ribu pendaftar utama.
Impianku untuk keliling dunia akan segera terwujud. Aku akan rahasiakan ini sebelum proposal Rudi dan teman-temannya selesai. Aku juga sedang membantu Kayla untuk persiapan ke Sorbonne. Mungkin dari sini perjalananku dimulai untuk bisa mendapatkan izin Ayah.
Aku menderita penyakit jantung bawaan sejak kecil. Jantungku sangat lemah. Aku tak bisa stress dan kelelahan. Aku tak pernah menyerah pada duniaku. Hobi dan kegemaranku meliput berita bahkan bersosialisasi menjadi modalku untuk bahagia. Sesakit apapun itu.
***
“Han, ada surat di atas lemari TV.”
Ayah menyapaku yang baru masuk rumah. Aku masih terengah-engah sehabis jalan kaki dari jalan raya masuk gang menuju rumah. Rasa penasaranku tidak terbentuk. Surat apa yang dimaksud Ayah, aku juga bingung.
“Yes. Misiku selesai. Siap berangkat!” “Kemana?”
“Ke Lahore, Pakistan!” “Ada apa?”
“Aku dipanggil bekerja disana, Yah. Ayah doakan saja, ya.” “Kamu yakin akan berangkat?”
“Ya, aku yakin. Ayah tak usah khawatir. Aku sudah disediakan dokter pribadi di Lahore.”
Aku memandang Ayah dengan tatapan ceria. Berharap Ayah terhibur dengan senyum manisku. Sejujurnya, aku tak mau meninggalkan Ayah. Masih ada Ibu yang akan menjaga Ayah. Aku tahu Ayah khawatir aku pergi. Buatku ini adalah sebuah kehormatan.
Bergabung dengan kantor berita Pakistan membuatku sangat bahagia. Aku bisa memotivasi Rudi dan teman-temannya untuk ikut denganku nanti. Aku hanya berpikir bagaimana cara memberitahukan Kayla.
“Nanti sajalah. Pasti ada waktu yang tepat.”
Aku beranjak ke kamar untuk istirahat. Sejak tadi aku belum mengganti pakaianku. Masih gerah dan kepanasan. Aku masih menangkap wajah Ayah yang khawatir dengan aksiku yang akan ke Pakistan. Pakistan sangat jauh. Konflik-konflik yang terjadi di perbatasan Pakistan-India membuat Ayah memang sedikit takut.
***
“Duh. Sakit sekali!”
Aku menjerit lemah setelah kembali ke kamarku. Dada kiriku kembali sakit setelah aku teringat dengan kepergian Kayla ke Sorbonne. Aku sudah berusaha melupakannya sejak pagi tadi. Tetap saja aku tak bisa. Rasanya memang sedih berpisah. Tapi, aku harus kuat.
Tiba-tiba saja air mataku jatuh. Bukan hanya menahan sakit saja. Namun, aku menahan rasa yang tak bisa aku cegah walaupun satu detik. Rindu! Mungkin saja ke depannya aku akan menahan rindu yang sangat dalam pada Kayla. Kali ini aku harus benar-benar berjuang dengan rasaku.
Sejak aku mendengar kelulusan Kayla, aku sengaja menahan air mataku. Haru bercampur bahagia. Aku tidak akan membuat Kayla bimbang dengan keberangkatannya ke Sorbonnne. Dengan cara apapun juga aku harus bertahan.
Aku beranjak menuju tempat tidurku. Sudah tak tahan lagi. Dadaku semakin nyeri. Aku terengah sendiri. Sakit sekali. Tak lama merebahkan badan di kasur, aku tertidur. Lama sekali hingga azan ashar membangunkanku. Masih terasa lelah seluruh tubuhku.
Aku bangkit menuju kamar mandi. Mulai membersihkan sisa-sisa lelah dan kotoran yang sejak pulang tadi belum aku bersihkan. Aku terlihat kumal dan pucat. Sudah sedikit berkurang.
***
“Han! Hani…. !”
Suara ibu memanggilku dari dapur. Sudah lebih tiga bulan yang lalu Ayah dan Ibu pindah ke Jakarta. Ayah sakit sehingga harus kontrol selalu ke Jakarta. Ibu juga harus merelakan pekerjaannya untuk menemani Ayah di Jakarta. Aku juga sudah pindah ke rumah baru itu dua bulan yang lalu.
Aku kembali berkumpul dengan keluargaku. Aku tak lagi tinggal dengan tante. Aku bergegas menuju dapur. Ibu sudah menunggu dari tadi.
“Iya, Buuuu!”
“Lho? Kok kamu pucat? Kamu sakit?”
“Oh nggak apa-apa, Bu. Hanya nyeri sedikit.” “Kenapa?”
“Nggak apa-apa, Bu.” “Kamu mikirin siapa?”
“Hani nggak mikirin siapa-siapa, Bu. Oh ya, adakah yang bisa Hani bantu?”
Aku berusaha mengalihkan pembicaraanku dengan ibu di dapur. Aku tak mau ibu semakin khawatir dengan keadaanku. Jujur saja, aku terbawa pikiran tentang Kayla yang akan berangkat ke Sorbonne.
“Kalau gitu, kamu istirahat saja. Biar Ibu saja yang lanjutkan.” “Nggak apa-apa, Bu. Hani bantu, ya. Yang mana?”
Bruukk…
Tiba-tiba aku pingsan di dapur di depan ibunya. “Hani…! Hani…!”
Ibu berteriak cemas. Lebih cemas dari yang sebelumnya. “Ayaaaahh! Bantuin Hani, Yah! Hani pingsan.”
“Astaghfirullah, Nak!”
Ayah menghampiriku yang terbaring lemah di lantai dapur. Dadaku semakin nyeri. Aku masih terngiang kebahagiaan Kayla menerima beasiswa itu. Juga aku terbayang wajah sedihnya yang tak mau berpisah denganku. Aku kalut dan menyakitkan.
Dokter pribadi Ayah segera datang. Ayah banyak kenalan dengan dokter. Banyak temannya yang dokter hingga di Sorbonne pun beliau punya sahabat dokter. Ayah semakin khawatir. Beberapa hari yang lalu memang sudah terdeteksi tidak baik di dadaku sebelahkiri.
“Hmm…! Duh…!”
“Tenang, Nak! Kamu diperiksa dulu, ya.”
Ibu berusaha menenangkanku yang sudah pucat dan wajahku putih. Aku lupa makan siang. Asam lambungku juga naik. Aku berusaha untuk mencari-cari alasan untuk tidak melanjutkan pemeriksaan dokter.
“Sudah, Bu! Aku nggak apa-apa. Tadi lupa makan siang. Mungkin asam lambungnya naik.”
“Tuh, kan? Kamu saya kasih obat lambung saja ya, Han?” Dokter Andri menyela.
“Iya, Dok!” aku cengengesan.
Ayah dan Ibu yang sejak tadi khawatir hanya terdiam lemas. Mereka mengurut dada dengan tanggapanku. Ayah dan Ibu tak boleh tahu dengan penyakitku. Aku pernah diperiksa dulu sewaktu kuliah oleh dokter penyakit dalam di rumah sakit. Aku sudah terdeteksi sebagai pengidap jantung bawaan. Masih ringan.
Aku berusaha untuk mendiamkan diriku. Ada beberapa obat yang tersisa di tas ku. Aku selalu kontrol dengan dokterku semasa kuliah. Dokter Adam.
“Habis ini kamu makan dan istirahat. Obatnya jangan lupa diminum.”
Ibu berkata tegas di hadapanku. Aku mematung. Mendengarkan dan mencoba mencerna kata-kata Ibu yang menurutku baru kali itu aku melihat Ibu setegas ini. Ibu langsung pergi ke dapur menyiapkan makananku.
Aku mencoba berdiri. Dada hingga punggungku masih sakit. Aku hanya bisa duduk di kasurku. Aku mencoba menghilangkan bayangan keberangkatan Kayla besok ke Sorbonne.
“Dik, maafin Kakak, ya. Kamu harus sukses.”
Aku menelan rasa pahit bercampur kecewa di tenggorokanku. Aku masih berpikir apakah nanti aku akan datang atau tidak ke bandara. Aku tak akan sanggup melihatnya pergi begitu saja. Aku juga tak bisa menuruti egonya hatiku yang mengharuskannya untuk tetap tinggal bersamaku.
“Kak, besok jangan lupa, ya. Aku tunggu di Bandara. Aku kangen Kakak.”
Pesan singkat Kayla masuk melalui handphoneku. Aku kembali menarik napas panjang. Aku tidak merespon apapun. Aku hanya diam.
Discussion about this post