Oleh:
Indra J Piliang
Bappilu DPP Partai Golkar Korwil Sumbar.
Siapapun kader Partai Golkar (selanjutnya Golkar) di Provinsi Sumatera Barat, terkhusus daerah yang bakal menghelat pemilihan langsung kepala daerah (pilkada), sejak dini layak menyadari bahwa tidak ada lagi ruang untuk meraih keuntungan pribadi. Selama dua dasawarsa fase reformasi, sebut saja empat pelita, baru dalam pemilihan umum (pemilu) 2019 Golkar mendapat hasil terburuk. Sempat dua kali juara (2004 dan 2014) dan dua kali runner up (1999 dan 2009). Pada 1999, Golkar dikalahkan Partai Amanat Nasional (PAN), lalu pada 2009 Partai Demokrat mengambil posisi Ketua DPRD Sumbar.
2019?
Raihan Golkar berada di bawah Partai Gerindra, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), PAN dan Demokrat. Dari pemegang medali emas pada 2014, bahkan perunggupun tak berhasil didapat pada 2019. Baringin gadang bukan saja tumbang di tingkat provinsi, tapi juga kabupaten dan kota. Kota Pariaman dan Kabupaten Padang Pariaman yang mengalami kenaikan elektoral dalam pemilu 2014, dibanding 2009, berbeda capaian. Posisi Wakil Ketua DPRD masih didapat di Kota Pariaman, namun gagal diraih di Padang Pariaman.
Dalam membaca geneanologi politik Sumbar sejak pemilu 1955, penulis terbiasa membuat perbandingan dengan DKI Jakarta dan Daerah Istimewa Aceh. Kemenangan Partai Masyumi dalam pemilu 1955, perlawanan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dalam sejumlah pemilu Orde Baru, hingga terakhir kehandalan PPP dan PAN pada 1999 menunjukan ciri sebagai kelompok muslim modernis di tiga provinsi itu. Tiga provinsi yang juga paling sedikit pengaruh money politics-nya, walau tetap ada.
Nasib Golkar 2019 di Sumbar bisa jadi mirip dengan Demokrat 2014. Demokrat kehilangan banyak kursi legislatif nasional dan lokal dalam pemilu 2014, setelah unggul mutlak dalam pemilu 2009.
Kinerja Golkar jauh lebih parah lagi. Bukan saja dihitung sejak pemilu 1999, bahkan Golkar untuk pertama kali keluar dari posisi dua besar dalam pemilu 2019 jika dibandingkan dengan sepuluh pemilu, yakni 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, 2004, 2009, dan 2014. Sekali lagi, sepuluh pemilu!
Nasib serupa dihadapi Golkar Jakarta, terseok ke urutan ke-sembilan pada 2019 dibanding ke-enam pada 2014. Golkar Aceh masih bertahan dalam tiga besar, tetap dikalahkan oleh Partai Aceh dan Demokrat pada 2009 dan 2014. Pola grafik teori politik aliran Herbert Feith dalam pemilu 1955 hanya tampak sedikit berulang pada 1999. Setelah 2004, ideologi kepartaian kian luntur, akibat pengaruh dari pemilihan langsung presiden dan wakil presiden. Otomatis yang hadir bukan lagi teori besar berdasarkan ideologi besar, namun sudah masuk ke dalam teori orang besar.
Tentu, sebagai disclaimer, tulisan ini tidak menghadirkan grafik, data, angka, dan sebagainya dalam bentuk makalah akademik. Ya, silakan cari saja di dalam big data komputer masing-masing. Walau, siapa saja bisa berdiskusi dengan penulis terkait data, teori dan analisa yang lebih ilmiah, tentunya.
Kembali ke Sumbar, sungguh pekerjaan yang maha berat bagi Golkar dalam menghadapi pemilu 2024. Padahal, Sumbar adalah proyek modernisasi yang paling menyita perhatian Orde Baru di luar Jawa, umumnya, dan bagi Presiden Soeharto, khususnya.
“Dalam sejarah perjuangan nasional Sumatera Barat telah menyumbangkan puteranya yang terbaik. Dari daerah itu lahir Tuanku Imam Bonjol yang selama 15 tahun lebih berjuang melawan hampir seluruh tentara kolonial. Dari bumi Minangkabau lahir Bung Hatta, salah seorang Proklamator, seorang pejuang besar, seorang muslim nasionalis yang tidak bercacat,” ujar Presiden Soeharto di Stadion Haji Agus Salim pada 22 Agustus 1984.
“Juga dari daerah itu bangsa Indonesia menghormati tokoh-tokoh nasional lainnya seperti Haji Agus Salim, Muhammad Yamin, Syahrir, Mohammad Syafei, dan Buya Hamka… Dan sekarang dalam jaman pembangunan, seluruh rakyat Sumatera Barat yang dinamis itu telah berhasil dalam membangun dirinya,” ucap Presiden yang memiliki senyum khas ini.
Presiden Soeharto hadir bersama 9 menteri dan 11 gubernur dalam rangka memberikan penghargaan Parasamsya Purna Karya Nugraha kepada Gubernur Sumbar Ir Azwar Anas dan Prayojanakriya Parasamnya Purna Karya Nugraha kepada Gubernur Jawa Timur Wahono dan Gubernur Jawa Tengah Ismail, di hadapan lebih dari 20.000 orang. Tak sampai di situ, lima tahun berikutnya, Sumbar pun mampu meraih Prayojanakriya Parasamnya Purna Karya Nugraha, yakni raihan yang berturut-turut dari Parasamnya Purna Karya Nugraha.
Apa catatan keberhasilan Sumbar dalam Pelita III?
Dari hanya 181 buah Lumbung Pitih Nagari, menjadi sekitar 500 buah. Pemasukan devisa negara dari ekspor non migas di Sumbar mencapai 119 Juta Dollar USA. Tentu yang masih diingat banyak anak-anak sekolah, ABRI Masuk Desa I sampai XV yang mengakrabkan Jenderal M Yusuf. Setiap peringatan Supersemar, kami di sekolah mengadakan drama seputar peristiwa itu, tentu dengan banyak siswa memilih jadi M Yusuf.
Dalam tahun-tahun itu juga, lulusan-lulusan terbaik sekolah menengah atas di seluruh Sumatera Barat, berhasil masuk ke perguruan tinggi paling hebat, baik di dalam atau luar negeri. Tak ada rasa gentar sama sekali berhadapan dengan siswa-siswi lulusan sekolah-sekolah terbaik di kota-kota besar, seperti Jakarta atau Bandung.
Dalam sepuluh tahun yang penuh prestasi itu, termasuk banyak jumlah menteri asal Sumbar yang mengisi Kabinet Pembangunan, baru pengaruh (anak) Partai Masyumi – yang ditunjukan dengan kemenangan PPP terutama di Kota Padang — perlahan bisa menyusut. Tentu tak lupa penulis perlu menyebut Aisyah Amini sebagai maha srikandi paling brilian dari politisi asal Minang dalam masa Orde Baru itu.
Nah, bagaimana era baringin gadang di tangah kampuang itu bisa kembali diraih oleh kader Golkar dalam millenium ketiga?
Sejak pilkada dihelat, bisa dikatakan hanya Marlis Rahman yang bisa disebut sebagai Gubernur Golkar. Itupun bukan sebagai gubernur lewat pilkada, melainkan posisi pengganti Gamawan Fauzi yang diangkat menjadi Menteri Dalam Negeri pada tahun 2009. Dalam tiga kali pilgub, kader yang diusung Golkar kalah. Penulis tentu mengikuti dari dekat, mulai dari Pilgub 2005 dengan menjadi the lone ranger alias gerilyawan kesepian kala mengusung Jeffrie Geovanie. Dalam Pilgub 2005 Golkar mengusung Leonardy Harmaini (kini anggota Dewan Perwakilan Daerah RI asal Sumbar), 2010 menyalonkan Marlis Rahman – lalu penulis kedapatan pers ikut kampanye untuk Muslim Kasim –, plus lima tahun lalu 2015 Muslim Kasim.
Guna mendapatkan tiket untuk Muslim Kasim tahun 2015, penulis sampai “menerobos” masuk ke ruang kerja Ketua Umum Partai Hanura Wiranto yang sudah tanda-tangan untuk kandidat yang lain.
“Indra tahu, saya sebagai Ketua Umum partai tidak mungkin mengubah lagi nama-nama yang sudah saya tanda-tangani untuk posisi Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur Sumbar,” ujar Wiranto. Penulis tak patah arang, padahal Muslim Kasim (almarhum) dan Sadiq Passadiqoe yang waktu itu menghadap, sudah kehabisan akal.
Penulis ikut terlibat dalam proses penunjukan Ali Mukhni sebagai Calon Bupati Padang Pariaman dan Indra Catri sebagai Calon Bupati Agam pada 2010. Dalam rapat yang diadakan di Wisma Bakrie I itu, bahkan penulis ikut bicara yang lantas disetujui Ketua Umum Aburizal Bakrie. Andi Ahmad Dara, Ketua Pemenangan Pemilu Sumatera I, sampai menegur penulis malam harinya, berhubung penulis bukan peserta rapat. Status penulis saat itu hanya sebagai Staf Ketua Umum DPP Partai Golkar, bersama Nurul Arifin. Maklum orang baru di partai, penulis tidak begitu paham tatacara kapan bisa bicara, kapan hanya memantau saja dari dekat.
Kini? Ali Mukhni sudah pindah partai. Indra Catri pun demikian tampaknya.
Pas pemilu 2014, penulis masih rajin masuk kampung keluar kampung, sehabis kalah dan tidak dipecat Mahkamah Partai Golkar akibat maju pilwako Pariaman dari jalur perseorangan. Penulis ikut menghadiri sejumlah kampanye akbar pemilu legislatif, tentu bersama pasukan tempur yang terlatih. Kota Pariaman dan Kabupaten Padang Pariaman naik dari sisi perolehan suara dan kursi, dibanding pemilu 2009.
Tahun 2019 kemaren?
Penulis sepenuhnya absen pulang ke ranah. Hanya sempat pulang kampung untuk merayakan aqiqah keponakan yang “sarat politisi”. Kesibukan membentuk jejaring Perhimpunan Sang Gerilyawan Nusantara di seluruh Indonesia dalam prototipe Sang Gerilyawan Jokowi, telah menyita waktu penulis sejak 27 Juli 2018. Itupun atas seizin dan sepengetahuan Airlangga Hartarto, Ketua Umum DPP Partai Golkar, Ketua Dewan Pakar Partai Golkar, HR Agung Laksono, serta sahabat karib Duta Besar RI di Kyiev, Ukranina, Prof Dr Yuddy Chrisnandi.
Tak disangka, tak dinyana. Setelah akhir tahun lalu sempat sibuk mencangkul enam buah kolam ikan dan menebang kayu-kayu yang menghutani kebun milih keluarga sejak tamat SMA 2 Pariaman, dikarantina oleh Covid 19, kini satu tugas diberikan kepada penulis: memenangkan (kembali) Partai Golkar di Sumatera Barat dalam pemilu 2024.
Tugas yang maha dahsyat beratnya. Rintisan menjadi pebisnis belum kesampaian. Tentu dengan protap yang ketat. Tak lagi sebagai gerilyawan the lone ranger ketika usia menapak 40 tahun. Lebih ke tugas Purna Karya Gerilyawan, sebut saja begitu. Tidak lagi bersenjata bambu runcing.
Darimana memulai?
Tentu ada. Tunggu saja….
Discussion about this post