Sejatinya Kita adalah Sang Pemimpi.
Bermimpilah Hingga Menembus Batas Cakrawala.
Biar Allah yang Menjadikannya Nyata
(Martha Zhahira El-Kutuby)
PROLOG
Gadis itu masih menimang-nimang undangan program Magisternya ke negeri sejuta mode itu. Pertemuannya denganku membuatku merasa bersalah sepanjang hari. Membuatnya ingat denganku menjadikan aku tertekan setiap menginganya. Hanya beberapa ucapan kasih yang memudarkan keinginannya untuk tetap berangkat. Apalagi aku dengannya memiliki mimpi yang sama.
Perkataannya tentang Sorbonne waktu itu sangat menghipnotis banyak orang yang dihadirkannya untuk berdoa bagi kesuksesannya. Binar-binar wajahnya menyemburkan tanda bahagia dan sangat manis bila dilukiskan di kanvas mahal serupa pelukis terkenal Eropa.
“Next!” pelayan konter memintanya untuk terus maju mengingat masih ada antrian di belakangnya yang akan dilayani menuju penerbangan internasional ini.
Langit masih menyisakan banyak penantian. Perempuan berbadan kecil. Penuh semangat. Tak mengenal lelah bahkan paling benci dengan kata menyerah, itu diriku yang tergopoh-gopoh keluar rumah. Ada burung pipit di pagar rumahku. Sekilas burung itu kaget lalu pergi meninggalkanku yang buru-buru dikejar waktu.
“Hei! Obatmu, Nak!” suara laki-laki paruh baya meneriakiku dengan tegap. Membawakan dua botol makanan yang harus ku tenggak setiap hari. Aku sedikit tidak mengacuhkannya. Tapi, tanganku dipegang erat. Seolah-olah rasa kesal mengerumuni wajahnya. Lalu, dia kembali ke dalam rumah.
“Hah!” Satu setengah jam lagi!” aku masih dalam kondisi tenang menembus kabut pagi. Susah bagiku merelakannya. Biarpun aku baru sebentar mengenalnya. Aku ingin Tuhan mengikatku lebih lama dengannya.
Kikikan burung pipit tadi seolah-olah mencaciku. Aku sudah menganggu kenikmatan paginya. Ah! Sudahlah! Secepatnya! Aku harus sampai disana. Bila pun itu terlambat. Biarkan aku memeluk jendela kaca tanpa ada lagi wajahnya dihadapanku.
Jeritan rem sepeda motor masih menunda kenikmatan burung pipit tadi. Dia semakin kesal kepadaku. Seharusnya, dia menikmati teh manis pagi sambil melihat anak-anak sekolah lalu lalang melewati gangke rumahku.
“Buruan, Mas!” Rantai motor gigi itu terlihat mengumpatku. Dia mau berjalan sedikit tenang untuk menyusuri portal penghambat gang masuk ke rumah dan abu- abuny jalanan menuju tujuan pagi itu. Akhirya, dia tetap memaksakan untuk berlari sekuat tenaga. Hingga helm yang ku pakai serasa berdisko di klub malam yang musiknya keras. Mabuk dihantam bau tak enak.
***
Antrian yang cukup panjang itu membuatnya sedikit mengantuk. Menunggu beberapa orang yang masih bermasalah dengan keimigrasiannya. Ada sepasang suami- istri orang Belanda yang mengumpat pelayan konter. Sumpah serapahnya menambah kalut pagi itu.
Gadis itu berniat untuk keluar antrian. Dia akan mengantri di belakang dua orang setelahnya. Padahal, hanya berselang satu antrian lagi. Dia akan diminta menyerahkan bawaannya untuk ditimbang. Hati dan kepalanya tak kuat menyaksikan itu. Alhasil, dia mundur juga menuju dua antrian di belakangnya.
Beberapa orang melihatnya aneh. Bahkan ada yang saling pandang. Dia hanya cuek dan tidak mengabaikan sedikit pun. Pasangan suami-istri masih bertengkar. Penjelasan lemah lembut pelayan konter tidak mengubah posisinya sedikit pun. Masih saja mereka berdiri dengan wajah penuh emosi.
“Please! Time…Look time, now!” salah satu pengantri asal Amsterdam berteriak sembari menunjukkan arloji mahal di pergelangan tangannya. Beberapa mata yang sama resah dengannya nampah letih menyaksikan pasangan itu. Nampaknya dia dikejar waktu untuk berangkat ke Amsterdam. Ada pertemuan bisnisnya yang tak bisa ditunda. Waktunya hanya empat belas jam perjalanan. Begitulah, bila dikejar waktu dalam berbisnis.
Masih saja suami-istri itu berdiri di konter antriannya. Gadis itu sudah merasa lelah. Dia sengaja bangun pagi hanya untuk mengejar keberangkatannya ke negeri para romansa itu.
***
Mimpinya pernah berlabuh setelah mengenal “gembok cinta” di Jembatan Sungai Seine. Disamping Menara Eiffel. Ada kerlipan lampu-lampu romantis disana. Hanya tiga puluh menit lebih sedikit jarak perjalanannya dari Sorbonne ke Menara Eiffel itu. Para pasangan muda-mudi kaya dari negeri lain selalu singgah disana. Menikmati cinta pertama bahkan cinta malam pertama mereka.
Ucapannya terakhir padaku tak bisa kuhilangkan dari telingaku. Gaungannya mengganggu perjalananku. Pengemudi motor ini dari tadi heran melihatku. Aku tidak peduli dengan nada marahnya. Jelasnya, aku terburu-buru. Biarkan dia paham setelah aku membayar feenya sebentar lagi.
Tak ada yang spesial buatku hari itu. Aku hanya berbalut perih setelah mengabaikan teleponnya. Menyakitkan! Menyedihkan ! Membuatku hampa sepanjang perjalanan. Aku masih menghirup dingin dan sejuknya em bun pagi itu. Nanti siang akan panas sepertinya.
Dadaku semakin nyeri dan aku semakin lemas. Obat dua botol tadi ku cari-cari. Pengemudi motor hanya sabar melihat tingkahku dibelakangnya. Sesekali dia memandangiku melalui kaca spion motornya. Aku bisa membaca wajahnya sedikit khawatir. Aku rasa dia akan menawarkan berhenti. Kalau benar, tentu saja aku menolaknya. Aku tidak punya waktu banyak untuk sebuah kata “berhenti”.
***
“Mam…! We must go before 8 am!” seorang petugas imigrasi mencoba menegaskannya. Tetap saja! Dia berkelakar untuk menuntut kursinya yang seharusnya di depan namun dipindahkan ke belakang. Apalagi visanya mendadak kadaluarsa membuat pihak imigrasi lelah dan menyeret paksanya ke kantor imigrasi bagian bandara.
Gadis itu merasa sedikit lega. Namun, dia tak bisa menggambarkan bagian yang menyakitkan untuknya. Tidak bertemu denganku ketika akan berangkat membuat pengharapannya lepas begitu saja. Rasa sakitnya semakin besar ketika hanya berselang satu antrian lagi menuju konter pelayanan.
“Lihat saja nanti! Aku akan membuatmu pulang secepatnya!” laki-laki keras kepala itu selalu tak pernah menyerah merebutnya. Ada lagikah cara jitunya untuk memaksanya tetap tinggal di Indonesia? Siapa yang boleh menghentikan mimpinya. Mimpi yang mati-matian dia perjuangkan denganku. Apa haknya melarangku?
Mata gadis itu hanya memandangi pesan itu sekilas. Ponsel android itu buru- buru disimpannya ke kantong parka hijau army yang pernah menjadi kebanggaannya di organisasinya beberapa waktu lalu. Organisasi yang membuatnya mengikat sakit hati juga dengan seorang laki-laki yang kerap merayunya.
“Next!” Gadis itu menyerahkan koper biru muda dua buah dan ransel abu-abu besar dua buah juga. Bawaannya cukup banyak untuk meninggalkan Indonesia dalam jangka waktu lama. Belum lagi pernak-pernik kecantikan yang memang harus menghiasi tas kecilnya kemana pun dia pergi.
***
Aku terengah-engah menembus lobi bandara yang ramai itu. Kucuran keringatku mengalahkan hatiku yang rindu padanya. Aku berteriak memanggil namanya. Beberapa petugas check in mencegahku untuk menembus garis pengantar penumpang. Aku terkulai lemah.
***
Bersambung..
Discussion about this post