Oleh:
Musfi Yendra
Dosen Fisipol Universitas Ekasakti Padang
Tahapan Pilkada 2020 sudah siap dimulai. Kemendagri, DPR dan KPU sepertinya sudah sepakat tidak akan ada penundaan tahap dua.
Penundaan ini diatur dalam Perppu Nomor 2 Tahun 2020 tentang perubahan ketiga atas UU No. 1 Tahun 2015 tentang Perppu No. 1 Tahun 2014 tentang pemilihan gubernur, bupati dan walikota menjadi UU.
KPU memastikan tahapan Pilkada serentak 2020 akan dimulai kembali pada 15 Juni mendatang.
Langkah pertama untuk memulai kembali tahapan tersebut, KPU akan mengaktifkan kembali badan penyelenggara ad hoc, yakni Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) dan Panitia Pemungutan Suara (PPS). Pilkada 2020 akan diikuti 270 daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota.
Menurut saya Pilkada 2020 ini akan menjadi pemilihan langsung kepala daerah terberat, bahkan berpotensi menjadi pesta demokrasi yang hambar. “Pilkada Pandemi” saya istilahkan. Maksudnya pesta demokrasi di tengah wabah penyakit yang membahayakan. Covid-19 ini mengancam jiwa manusia. Banyak standar kesehatan yang tidak bisa diabaikan.
Sebagai penyelenggara, KPU akan menghadapi berbagai tantangan. Terutama soal anggaran, baik oleh pemerintah pusat maupun daerah yang akan menggelar Pilkada. APBN dan APBD kita menjadi terganggu karena dialihkan untuk penanganan Covi-19.
Bagi penyelenggara di TPS, kelurahan, kecamatan, kabupaten/kota hingga provinsi harus memastikan keamanan kesehatan yang ketat. Karena itu KPU RI mengajukan anggaran tambahan sebesar Rp535,9 miliar ke pemerintah. Anggaran itu akan digunakan untuk pengadaan alat pelindung diri (APD) bagi penyelenggara Pilkada.
Bagi kandidat atau kontestan, Pilkada di tengah pandemi ini tidak mudah. Mengapa? Isu dan strategi kampanye akan berubah.
Salah satu dampak sosial akibat Covid-19 ini meningkatnya angka kemiskinan dan pengangguran. Masyarakat kehilangan pekerjaan karena tsunami PHK. Sektor usaha semuanya ambyar, sehingga pertumbuhan ekonomi merosot.
Dampak ekonomi ini berlangsung dalam kurun waktu yang lama. Apakah isu kampanye membuka lapangan pekerjaan dan meningkatkan kesejahteraan rakyat relevan bagi kandidat? Tidak mudah mengejawantahkannya ke dalam program kerja. Kalaupun ada isu ini, saya yakin hanya “jualan kecap” semata.
Strategi kampanye juga akan berubah. Tidak boleh pengerahan masa. Orang juga takut berkumpul. Terancam menjadi klaster baru Covid-19. Kandidat akan berkampanye door to door ke rumah calon pemilih. Kampanye dengan menggunakan media luar ruangan tidak berpengaruh besar bagi calon pemilih.
Harga suara pemilih akan naik. Biaya politik kandidat meningkat. Dipastikan yang akan berani maju sebagai calon adalah pemilik modal yang memadai.
Karena masyarakat hidup dalam kesulitan. Pilkada adalah peluang rakyat bisa mendapatkan uang tanpa bekerja.
Menurut saya partisipasi masyarakat dalam menggunakan hak suara akan turun di Pilkada 2020 ini. Mengapa? Karena sistem pemilihan kita masih tradisional menggunakan bilik suara.
Pemilih harus datang ke TPS. Berinteraksi dengan orang dan berkumpul. Atau bahkan menyentuh benda yang sama secara bergiliran di lokasi pemungutan suara tersebut. Saat ini orang sangat proteksi soal kesehatan.
Variabel lain ancaman menurunnya partisipasi pemilih yaitu masyarakat jenuh politik. Terutama pasca Pilpres tahun lalu.Kebijakan pemerintah yang dianggap tidak prorakyat, korupsi dan nepotisme yang menjadi-jadi, harga kebutuhan pokok melonjak, tarif listrik naik, harga BBM yang tidak pernah turun, sulitnya lapangan pekerjaan, kriminalitas tinggi, utang negara membengkak, lambannya penanganan Covid-19 dan rencana kebijakan dana haji yang dialihkan penggunaannya sementara.
Akumulasi kekecewaan terhadap pengaturan negara yang tidak benar ini akan berdampak terhadap sikap politik rakyat. Muncul pemahaman baru di tengah masyarakat, Pemilu/Pilkada tidak memberikan pengaruh lebih baik untuk kesejahteraan rakyat.
Menurut saya peluang petahana untuk bisa memenangkan Pilkada kedua kali juga tidak akan mulus. Mengapa? Kepala daerah yang sedang berkuasa saat ini dihadapkan pada ujian kepemimpinan yang berat. Penanganan wabah Covid-19 dan dampaknya terhadap tatanan kehidupan masyarakat sangat luas.
Percikan konflik horizontal mudah tersulut jika program bantuan langsung tunai tidak tepat sasaran. Kapasitas kepala daerah dalam merumuskan kebijakan memutus mata rantai penyebaran virus juga akan menjadi sorotan.
Pun, waktu yang semakin sempit menyiapkan diri untuk bertarung pada periode kedua. Berkejaran dengan penyelesaian berbagai program penanganan Covid-19 yang belum tuntas. Mata masyarakat akan sangat tajam melihat kinerja calon petahana dan menilai layak atau tidak untuk dipilih kembali.
Sepertinya, kita harus tetap optimistis menatap Pilkada 2020. Tentu semua prasyarat pilkada berkualitas harus terpenuhi.
Akhirnya, kita hanya bisa berharap demokrasi kita tumbuh dengan sehat, bukan malah menjadi “pandemi’ politik di tengah masyarakat. Semoga!
Discussion about this post