Oleh :
Elly Delfia
Sofa mengeryitkan dahi. Bibirnya terasa kering dan pecah-pecah.
Saat-saat seperti itu, hand cream dan lipgloss adalah teman yang paling memahaminya. Ia menatap jam tangan gold-white yang meringkuk manis di pergelangan tangan kirinya. Jarum jam menunjukkan 8.30 waktu Korea Selatan. Mereka harus segera berlari jika tidak mau ketinggalan jihacol atau kereta bawah tanah jalur Seoul Station-City Hall. Kereta akan tiba dalam waktu 5 menit. Pemberitahuannya terpampang jelas di layar LCD besar yang ada di ruang tunggu. Pemberitahuan itu akurat sesuai dengan sistem perkalian matematika yang rumit hingga membentuk sebuah akurasi sistem yang berlaku di salah satu negara maju di Asia Timur Raya ini.
Bersama Nora, sahabatnya yang baru datang dari Indonesia, Sofa akan naik kereta bawah tanah dari Seoul Station ke City Hall. Mereka hanya transit di City Hall. Selanjutnya, mereka akan transfer ke jalur Gwanghwamun Square, tempat yang selalu ramai pada malam hari, terutama malam ini karena di sana akan ada konser grup band K-pop yang legend di negara itu, Super Junior atau Suju yang “digilai” generasi milenial. Gwanghwamun Square bukan hanya tempat konser musik dan demonstrasi. Tempat yang terletak tepat di depan gerbang utama Istana Gyeongbokgung yang sarat sejarah peninggalan Dinasti Joseon itu juga menjadi tempat digelarnya berbagai acara besar yang melibatkan banyak penonton, seperti bazar dan pertunjukan seni jalanan.
“Bagaimana ini? Tanganku beku.” Nora menatap Sofa cemas.
“Kita akan jalan seharian. Ini masih pagi. Bagaimana kau akan mengatasi itu?”
“Aku tahu. Semalam kau sudah nyinyir dan menyuruhku pakai sarung tangan tebal. Mungkin ini akibat meremehkan nyinyiranmu. Aku dapat balasannya!“ Nora tergelak di tengah hamburan uap napasnya yang beterbangan di udara. Di musim dingin, mulut mengeluarkan karbondioksida yang menyerupai uap sebagai bentuk pertahanan terhadap hawa dingin.
“Baguslah, kau masih ingat kata-kataku.”
Sofa menanggapi Nora santai seolah tak peduli.
Meskipun sesungguhnya, Sofa suka bagian yang itu dari Nora. Kejujuran dan keterusterangan Nora membuat mereka bersahabat sejak SMA hingga sekarang. Sikap terus terang dan apa adanya menjaga persahabatan mereka tetap awet hingga kini. Walaupun Nora, sang mantan juara umum di kelas itu akhirnya tidak memilih jalur akademik seperti Sofa, sisa-sisa realistis dan objektivitas masih melekat kuat pada dirinya.
Nora memilih jadi ibu rumah tangga dan menekuni bisnis butik di salah satu mall besar di Kota Jakarta. Ceritanya dengan begitu, ia bisa cepat kaya dan mengumpulkan banyak uang dan Nora benar. Dalam seminggu, omset butiknya bisa mencapai puluhan juta rupiah. Tidak sebanding dengan gaji Sofa sebagai pegawai negeri. Uang yang hanya bisa didapatkan Sofa setelah berbulan-bulan bekerja. Dengan uang itu, Nora bisa mewujudkan mimpi-mimpi berkeliling dunia. Beberapa negara di benua Asia dan Eropa sudah pernah ia jelajahi. Tinggal benua merah, Amerika yang belum pernah dijajakinya. Benua itu juga sudah ada dalam rencana jalan-jalan Nora selanjutnya. Di sini, teori relativitas Einstein juga berlaku untuk Nora. Sama halnya dengan nasib Lintang, teman Ikal dalam novel Laskar Pelangi. Kecerdasan Lintang yang semerbak bak bunga pilea pada akhirnya tidak bisa menjamin kesuksesan hidup dan masa depan. Saat ayahnya meninggal ketika SD, Lintang putus sekolah. Lintang memutuskan menjadi sopir truk sebagai pilihan hidupnya. Seperti Nora, sang juara umum di kelas. Walaupun ia cerdas, ia tak lantas jadi ilmuwan atau akademisi, seperti Sofa. Padahal, Sofa tidak selalu juara kelas. Kadang-kadang, ia hanya menduduki rangking 5 besar di kelas. Takdir membawa orang-orang ke tempat yang berbeda-beda sesuai dengan jalan yang mereka pilih dan jalan yang dipilihkan Tuhan.
“Sebaiknya, kau membeli susu kedelai hangat dan memegangnya agar tanganmu tetap hangat.” Saran Sofa.
“Tapi kakiku juga ikutan sakit. Bagaimana ini?“
Nora meringis-ringis memegang pergelangan kaki. Efek keterkejutan cuaca menyerang Nora. Bagi orang-orang dari negara tropis, melewati musim dingin di negara empat musim memang tidak mudah. Indahnya musim dingin hanya di foto-foto traveling saja. Faktanya, cuaca musim dingin yang kadang-kadang mencapai -15 derajat cukup menjengkelkan. Pada musim dingin pertamanya, Sofa juga begitu. Ia pernah mengenakan berlapis-lapis baju di badan saat musim dingin. Lalu, pada tahun-tahun selanjutnya, Sofa mulai mengenal long john dan heattech, dalaman berbahan hangat yang biasa dikenakan orang-orang untuk mengatasi cuaca pada musim dingin.
Sofa mafhum ocehan Nora yang baru pertama melewati musim dingin di Korea. Ingatan Sofa melayang jauh ke negeri Cleopatra. Semalam, Azka mengirim pesan bahwa ia di tanah suci membantu jamaah umrah Indonesia. Hari-harinya dihabiskan jadi mahasiswa di sebuah kampus terkenal di Mesir. Pada waktu-waktu tertentu, ia menyambi jadi pembimbing jamaah umrah Indonesia di tanah suci. Azka tak lupa bertanya kabar meskipun tahun ini mereka tak merencanakan apa pun.
“Bagaimana kabarmu?”
“Aku baik.” Balas Sofa.
“Apa rencana tahun ini?”
“Aku tak merencanakan apa pun. Hanya menjalani aktivitas seperti biasa. Aku hanya perlu menyembuhkan hatiku untuk ketidakpastian ini.”
“Apa sekarang kau sudah sembuh?”
“Aku tak tahu. Tapi…”
“Tapi apa?”
“Aku tak menemukanmu di setiap stasiun, terminal, dan bandara yang kusinggahi. Bagaimana aku bisa sembuh?”
Azka diam.
“Apakah kita perlu mempersiapkan kenangan untuk melewati hari tua. Dengan begitu, kita tidak pernah menyesali apa pun. Saat tua, kau hanya perlu mengenangku sambil menikmati sore dan matahari terbenam.”
“Maafkan aku. Tak bisa kau menungguku sedikit lebih lama?”
Azka meminta dengan cara yang sama dan entah sudah berapa kali Sofa mendengar permintaan itu.
Malam sebelumnya ibu menelepon.
“Pulanglah.”, kata ibu.
“Aku malu pulang. Tidak akan ada sebaran undangan tahun ini.”
“Umur ibu sudah tua. Kau anak perempuan. Susah kau mendapat suami jika tidak menikah secepatnya.”
“Aku pasti akan menikah, tapi tidak sekarang, Bu.”
“Kapan lagi? Ibu ingin menimang cucu darimu.”
“Cucu Ibu sudah banyak. Aku bukan satu-satunya anak yang bisa memberikan cucu untuk Ibu. Ada Kak Maya. Ada Bang Fadil. Mereka sudah memberikan cucu untuk Ibu.”
Ibu diam. Mungkin ibu marah. Sofa tahu itu. Ia lebih takut melihat ibu diam daripada melihat ibu berteriak. Diam adalah marah ibu yang sesungguhnya. Hatinya menggigil bila ingat semuanya. Tidak hanya karena cuaca dingin di luar sana, tapi apakah untuk sekian kalinya ia harus melepaskan? Apakah ia harus melepaskan Azka yang memintanya untuk menunggu. Melepaskan itu menyakitkan. Seperti dulu, ia pernah melepaskan Bobby. Ia melepaskan Randi. Setiap kali melepaskan saat itu hatinya terluka amat dalam. Susah untuk sembuh. Ia butuh banyak terapi untuk melepaskan mereka. Pernah ibu yang sedikit kuno memandikannya dengan air garam dan kembang tujuh rupa saat ia harus melepaskan Bobby. Ia juga pernah berkeliling naik bus kota tanpa turun-turun dengan air mata yang terus mengalir saat ia melepaskan Randi. Ia sangat takut setiap kali harus melepaskan. Ia takut pada dirinya yang susah diajak berdamai.
Barangkali, ia juga harus melepaskan Azka saat tidak menemukan Azka di mana pun. Di bandara, di terminal, di pelabuhan, dan di stasiun-stasiun kereta bawah tanah yang sering ia singgahi. Saat ayahnya sakit keras, Azka tak ada. Saat ia terpuruk karena fitnah dan penghianatan seorang kolega, Azka juga tak ada. Saat ia ketar-ketir karena beasiswanya tak kunjung lolos, Azka juga tak ada. Azka hanya ada dalam tiga bulan yang manis di awal perjodohan mereka. Azka, anak teman baik ayah. Selebihnya, Azka dan Sofa hanya terikat janji perjodohan. Azka yang cerdas, pintar, dan sholeh mendekati sempurna sebagai calon suami, tapi Azka tak ada pada setiap masa sulitnya.
Ia hanya mendapat pesan Azka lulus ujian dengan nilai sangat baik dari S1 dan mendapat beasiswa untuk lanjut S2. Selesai S2, Azka direkomendasikan dosen pembimbing untuk melanjutkan S3. Barangkali, banyak gadis mengagumi dan bersedia menunggu Azka lebih lama. Azka punya banyak pilihan selain Sofa. Ia sering merenung. Memikirkan Azka sembari memandang matahari terbit dan matahari terbenam dari jendela kamar apartemennya adalah menjadi rutinitasnya belakangan. Apakah ia harus terus menunggu atau harus kembali melepaskan?
“Saat melepasmu, aku akan berkebun mawar untuk mengobati hatiku.” Bisik Sofa.
“Heh? Kau melamun sepanjang perjalanan. Kita berhenti di mana ini ?” Teriak Nora. Suara Nora membuat Sofa kaget. Ia mencolek lengan Sofa. Seorang halmeoni yang duduk di kursi paling ujung dari tadi terus menatap mereka yang berbeda.
“Indonesia? Malaysia?” Sapanya penasaran.
“Indonesia saramimnida.” Sofa membungkuk hormat.
“Ne. Arraseo.”
Pakai hijab, tidak sipit, dan berkulit coklat. Perpaduan muslim dan ciri eksotik Asia Tenggara. Orang-orang di sini akan berpikir Sofa Indonesia atau Malaysia.
“Kau sedang memikirkan apa tadi?”
“Eh tidak. Kita turun sebentar lagi.” Sofa sedikit salah tingkah dengan pertanyaan Nora. Ia melihat pemberitahuan Stasiun City Hall ada pada pemberhentian berikutnya.
“Baiklah. Ngomong-ngomong, kau memikirkan apa? Aku melihat kau melamun sepanjang jalan.”, Lanjut Nora.
“Masa depan.” Jawab Sofa datar.
“Masa depan dipilih dan dijalani. Tak usah dipikirkan.”
Nora tertawa. Selera humor Nora cukup bagus juga.
“Kulihat kau sangat menikmati hidupmu?”
“Eh.. kau tak tahu. Yang terlihat belum tentu semanis kenyataan.”
“Kenapa begitu?”