Rubrik Cahaya Qalbu ini Diasuh Oleh:
Ustadz Fakhry Emil Habib, Lc, Dipl.
Tuangku Rajo Basa
Alaumni:
S1 Universitas Al-Azhar Fakultas Syariah Islam dan Hukum (2011-2015).
Pasca Sarjana Universitas Al-Azhar Fakultas Dirasat Ulya Jurusan Usul Fikih (2016-2017).
Peneliti Magister Universitas Al-Azhar jurusan Usul Fikih (2018-Sekarang).
Ulama-ulama Syafi’iyyah menggunakan istilah khusus yang tidak dipakai oleh mazhab-mazhab lain. Istilah-istilah ini penting untuk diketahui, karena (bagi pelajar fikih Syafi’i) istilah ini akan sering ditemui.[1]
1. Al-Aqwâl(Perkataan-perkataan/Pendapat-pendapat)
Yaitu pendapat-pendapat Imam Syafi’i rahimahullâh. Adakalanya dua pendapat tersebut adalah pendapat mazhab beliau yang lama (mazhab qadîm), atau keduanya pendapat mazhab beliau yang baru (mazhab jadîd), dan adakalanya yang satu adalah mazhab lama dan yang lain mazhab baru. Adakalanya dua pendapat itu disampaikan oleh Imam Syafi’i dalam satu waktu, atau pada dua waktu yang berbeda. Adakalanya Imam Syafi’i menguatkan salah satunya, atau tidak.
2. Al-Awjuh (Pandangan-pandangan)
Yaitu pandangan-pandangan ulama yang menisbahkan diri kepada Mazhab Syafi’i. Para ulama ini mengeluarkan pandangan tersebut berdasarkan usul fikih dan kaidah-kaidah ijtihad mazhab Syafi’i. Namun terkadang, mereka melakukan ijtihad sendiri tanpa melandaskan ijtihad tersebut kepada usul fikih Mazhab Syafi’i. Makanya, pendapat-pendapat ulama tersebut tidak akan disebut sebagai wajh (bentuk tunggal dari awjuh), kecuali jika pendapat tersebut benar-benar dilandaskan kepada kaidah-kaidah usul fikih Imam Syafi’i. Adakalanya dua pandangan (wajhan – dua wajh) bersumber dari dua orang yang berbeda, bisa jadi juga bersumber dari satu orang yang sama. Pembagian dua pandangan dari satu orang ini sama dengan pembagian aqwâl di atas. Jika sebuah pandangan dilandaskan atas kaidah usul fikih di luar kaidah yang telah disusun oleh Imam Syafi’i, maka pendapat tersebut dinisbatkan kepada ulama yang menyatakannya saja, tidak kepada mazhab.
3. At-Thuruq (Jalur-jalur)
Yaitu perbedaan ulama-ulama Syafi’iyyah dalam meriwayatkan fikih Mazhab Syafi’i. Misalnya, seorang alim menyatakan, “Dalam masalah ini terdapat dua pendapat (qawlan – dua qawl), atau dua pandangan (wajhân – dua wajh),”, sedangkan alim lain menyatakan, “Dalam masalah ini hanya terdapat satu pendapat atau satu pandangan,”. Atau bentuk lainnya, saat sebagian ulama menyatakan, “Di dalam permasalahan ini terdapat rincian,” sedangkan yang lain menyatakan, “Dalam permasalahan ini ada perbedaan yang mutlak (tanpa memandang rincian)”.
4. Al-Azh-har (Yang Lebih Zahir)
Yaitu pendapat yang lebih kuat di antara pendapat-pendapat Imam Syafi’i, jika khilafiah antara pendapatpendapat tersebut punya landasan yang kuat (dengan kata lain, khilafiahnya kuat[2], tetapi salah satu pendapat landasannya lebih kuat dari pendapat lainnya. Yang lebih kuat ini disebut dengan azh-har,
5. Al-Masyhûr (Yang terkenal)
Yaitu pendapat yang kuat dari beberapa pendapat Imam Syafi’i, jika khilafiahnya lemah. Yang kuat ini disebut dengan al-Masyhûr, sedangkan lawannya yang dha’îf marjûh disebut dengan istilah wa fî qawl.
6. Al-Ash-hâb (Teman Sehaluan / Ulama Berhaluan Mazhab Syafi’i)
Yaitu ulama-ulama yang memiliki pandangan-pandangan (muktabar) dalam Mazhab Syafi’i. mereka menisbatkan diri kepada Mazhab Syafi’i, mengeluarkan pandangan berdasarkan usul fikih Mazhab Syafi’i, menetapkan hukum juga berlandaskan kaidah-kaidah Mazhab Syafi’i. Terkadang, mereka melakukan ijtihad sendiri di luar kaidah-kaidah usul fikih Mazhab Syafi’i. Istilah ini berlaku untuk ulama yang semasa dengan Imam Syafi’i (murid-murid beliau) dan juga untuk ulama-ulama setelahnya. Istilah lengkapnya adalah: Ash-hâb al-wujûh. Contohnya adalah Imam Al-Muzani, Imam al-Qaffâl dan Imam Abu Hamid al-Isfirayini.
7. Al-Ashahh (Pandangan yang Lebih Sahih)
Yaitu hukum fikih yang lebih kuat di antara pandangan-pandangan ash-hâb, jika khilafiahnya kuat, karena setiap alim melandaskan pandangannya kepada dalil yang jelas. Pendapat muktamad dan kuat ini disebut dengan ashahh, sendangkan istilah untuk pendapat lain lawannya adalah : wa muqâbiluhu kadzâ (dan lawannya adalah ini..) atau wa ats-tsâni kadzâ (dan pendapat satu lagi adalah begini..)[3].
8. Ash-Shahîh (Pandangan yang Sahih)
Yaitu pandangan yang lebih kuat di antara pandangan-pandangan ash-hâb, jika khilafiahnya lemah, sehingga pandangan lain lawannya jelas lemah. Pendapat yang sahih ini akan langsung diklaim pendapat muktamad, sedangkan lawannya lemah (tidak bisa dinisbatkan kepada Mazhab Syafi’i). istilah untuk pendapat lemah ini adalah : wa fî wajhin kadzâ (dan menurut suatu pandangan adalah begini..)
9. an-Nash (Teks)
Yaitu pendapat yang tertulis di dalam kitab-kitab karya Imam Syafi’i. Disebut dengan istilah nash karena memang dinaskan oleh Imam Syafi’i, atau karena para ulama memakai istilah “Saya terima perkataan ini secara nas dari fulan,” jika jalur periwayatannya bersambung kepada si fulan. Lawannya disebutkan dengan ibarat wajh dha’îf (pandangan lemah) atau qawl mukharraj (baca nomor 11 untuk memahami ini!).
10. Al-Mazhab
Yaitu pendapat kuat saat terdapat perbedaan ash-hâb dalam meriwayatkan mazhab melalui dua jalur atau lebih.
11. At-Takhrîj
Yaitu saat Imam Syafi’i memberikan jawaban berupa dua hukum yang berbeda untuk dua bentuk permasalahan yang serupa, namun tidak dapat dijelaskan perbedaan pada dua bentuk permasalahan tersebut. Al-Ash-hâb kemudian menukilkan jawaban Imam Syafi’i dalam satu permasalahan kepada permasalahan lainnya (karena ada keserupaan), sehingga tiap masalah memiliki dua pernyataan hukum, yang satu disebut dengan manshûsh, yang lainnya disebut mukharraj [4]. Manshûsh pada permasalahan pertama menjadi mukharraj pada permasalahan kedua, begitu pula sebaliknya. Istilah lain untuk menyatakan dua jenis pernyataan hukum ini yaitu: fîhimâ qawlân bi`n naql wa`t takhrîj (ada dua pernyataan dalam dua permasalahan ini, 1. melalui jalur nukilan asli dan 2. melalui penarikan dari permasalahan lain yang serupa <takhrîj>).
Biasanya, para ash-hâb tidak begitu memedulikan takhrîj, tetapi ada juga yang menukilkannya. Yang menukilkan takhrîj ada yang menjelaskan perbedaan antara dua bentuk permasalahan tersebut, sehingga masing-masingnya memiliki hukum tersendiri berdasarkan perbedaan tersebut. Kesimpulannya, takhrîj tidak bisa dinisbahkan kepada Imam Syafi’i, karena boleh jadi beliau telah rujuk dari pendapat tersebut, sehingga penukilannya ditujukan sekedar untuk membedakan mana yang merupakan pendapat Imam Syafi’i dan mana yang bukan.
12. Al-Jadîd
Yaitu pernyataan fikih yang dibuat oleh Imam Syafi’i di Mesir, baik berbentuk tulisan ataupun fatwa lisan. Periwayat mazhab jadîd ini adalah : al-Buwaithi, al-Muzani, ar-Rabi’ al-Muradi, Harmalah dan lain-lain. Kitab-kitab mazhab jadîd yang paling penting adalah : al-Umm, al-Imla`, Mukhtashar al-Buwaithi dan Mukhtashar al-Muzani.
13. Al-Qadîm
Yaitu pernyataan fikih yang dibuat oleh Imam Syafi’i di Irak, baik berbentuk tulisan di dalam kitab beliau al-Hujjah, ataupun fatwa lisan. Mazhab Qadîm ini diriwayatkan pula oleh sekelompok ulama, yang masyhur adalah Imam Ahmad bin Hambal, Az-Za’farani, al-Karabisi dan Abu Tsaur. Imam Syafii banyak rujuk dari mazhab qadîm beliau ini. Makanya dalam setiap permasalahan, biasanya ada dua pendapat Imam Syafi’i, yang jadîd dan qadîm. Yang jadîd adalah pendapat beliau yang sahih, kuat lagi muktamad dan sah untuk diamalkan, karena pendapat beliau yang qadîm telah diralat. Kecuali beberapa permasalahan yang telah dikaji oleh ulamaulama Syafi’iyah setelah beliau, sekitar 20 masalah [5]. Para ulama ini menyebutkan di dalam kitab-kitab mereka bahwa pengecualian ini bersifat terbatas.
Perlu diperhatikan, bahwa tidak semua pendapat beliau yang jadîd berbeda dengan pendapat beliau yang qadîm. Mengenai hal ini, Imam Nawawi rahimahullâh berkata : “Ketahuilah, pernyataan bahwa mazhab qadîm bukanlah mazhab Imam Syafi’i, mazhab qadîm telah dirujuk ataupun mazhab qadîm tidak sah untuk difatwakan adalah apabila mazhab jadîd berbeda dengan yang qadîm tersebut. Namun jika tidak bertentangan, atau permasalahan tersebut tidak ada pada mazhab jadîd, maka yang qadîm itu tetap merupakan mazhab Imam Syafi’i, sehingga boleh diamalkan dan difatwakan. (kemudian beliau menyebutkan beberapa masalah qadîm yang masih sah disebut sebagai mazhab Imam Syafi’i, dan melanjutkan). Maksud para ulama menyatakan bahwa mazhab qadîm telah dirujuk oleh Imam Syafi’i dan tidak bisa diamalkan adalah kebanyakannya, bukan seluruhnya.”[6].
14. Shîghat at-Tadh’îf
Yaitu ibarat-ibarat yang menunjukkan lemahnya suatu pendapat atau pandangan. Di antaranya adalah:
– Qîla kadzâ (dikatakan begini..), lawannya adalah ash-shahîh atau al-ashahh.
– Fî wajh kadzâ (menurut satu pandangan seperti ini..), ini adalah ibarat yang menunjukkan kelemahan pandangan para ash-hab, sebelumnya telah dijelaskan.
– Fî qawl kadzâ (menurut satu pernyataan, seperti ini..), maka yang kuat adalah lawannya, yang merupakan pernyataan langsung Imam Syafi’i.
– Rûwiya (diriwayatkan..), lafaz ini digunakan untuk meriwayatkan hadis, namun menunjukkan kelemahan hadis tersebut[7].
15. Metode Irak dan Metode Khurasan
Yaitu dua metode dalam Mazhab Syafi’i yang berkembang pada abad empat dan lima Hijriyah. Meskipun dua metode ini telah digabungkan oleh ulama-ulama setelah itu, sejarah mencatat bahwa dinamika Mazhab Syafi’i pernah dihiasi oleh dua metode ini.
Metode Irak dipelopori oleh Abu Hamid al-Isfirayini (w.406). Beliau merupakan guru bagi para ulama di
Irak, dan hulu Mazhab Syafi’i di Bagdad. Begitu banyak ulama yang mengikuti beliau, di antaranya adalah al-Mawardi (w.450), Qadhi Abu at-Thayyib ath-Thabari (w.450), Abu Ali al-Bandaniji (w.425), al-Mahamili Ahmad bin Muhammad (w.415), Sulaim ar-Razi (w.447) dan Syaikh Abu Ishaq asy-Syirazi (w.475). Metode ini mereka gunakan dalam menyusun dan menulis hukum bagi permasalahan-permasalahan fikih.
Metode Khurasan dipelopori oleh al-Qaffal ash-Saghir al-Marwazi Abdullah bin Ahmad (w.417). Beliau merupakan pemuka ulama-ulama Khurasan. Di antara pengikut beliau adalah Syaikh Abu Muhammad alJuwaini (w.438) yang merupakan ayah Imam Haramain, al-Faurani (w.461) yang merupakan penulis kitab al-Ibânah, Qadhi Husain al-Marwazi (w.462) penulis kitab at-Ta`liqah yang masyhur, Abu Ali as-Sinji (w.430) dan al-Mas’udi Muhammad bin Abdullah (w.420). Imam Nawawi berkata : “Ketahuilah! Biasanya, penukilan ulama-ulama yang menggunakan metode Irak terhadap nas-nas Imam Syafi’i, kaidah-kaidah mazhab beliau serta pandangan-pendangan ulama sebelumnya lebih baik dan lebih valid dari pada penukilan ulama-ulama yang menggunakan metode Khurasan. Sedangkan ulama-ulama Khurasan kebanyakannya memiliki kelebihan dalam penerapan, analisis, pengembangan dan penyusunan”[8].
Selanjutnya muncullah ulama-ulama hebat yang mampu menggabungkan dua metode ini, seperti arRuyani (w.450), Ibnu ash-Shabbagh Abdussayyid bin Muhammad (w.477), Abu Bakar asy-Syasyi (w.505) penulis kitab Hilyatul Ulama, al-Mutawalli Abdurrahman bin Ma`mun (w.478), Imam al-Haramain alJuwaini Abdul Malik bin Yusuf (w.478) dan Hujjatul Islam al-Ghazali (w.505).
Ibnu as-Subki menyatakan bahwa yang pertama kali menggabungkan dua metode ini adalah Abu Ali asSinji, dan beliau adalah lulusan metode Khurasan. Kemudian muncullah dua pentahkik Mazhab Syafi’i, yaitu Imam ar-Rafi’i (w.623) dan Imam an-Nawawi (w.676) yang menggabungkan dua metode ini dengan tarjih, takhrîj dan ikhtiar yang luar biasa. Selanjutnya penukilan Mazhab Syafi’i selalu merujuk kepada kitab-kitab keduanya.
16. Istilah-istilah gelar ulama
Beberapa ulama memiliki gelar dan titel khusus di dalam kitab-kitab Mazhab Syafi’i. Contohnya, jika ada lafaz “asy-Syaikh” maka yang dimaksud adalah Abu Ishak al-Isfirayini rahimahullah. Jika ada lafaz “alImâm” maka yang dimaksud adalah Imam al-Haramain al-Juwaini rahimahullah. Jika ada lafaz “al-Qâdhi” maka yang dimaksud adalah al-Qadhi Husain al-Marwazi.
***
Tambahan penerjemah :
Pembahasan ini dapat menambah pengetahuan dan wawasan kita, bahwa satu mazhab (dalam hal ini Mazhab Syafi’i) tidak dibangun oleh satu ulama saja. Ia melewati banyak fase, periwayatan (saat Imam Syafi’i masih hidup), pengembangan (saat ulama-ulama lulusan mazhab/ perguruan Syafi’i melakukan penulisan dan fatwa lisan berdasarkan ijtihad), tahkik (saat ulama mazhab melakukan pemilahan mana hukum dan fatwa yang benar-benar berdasarkan usul fikih mazhab, dan mana yang merupakan ijtihad pribadi ulama tersebut, seperti yang dilakukan oleh pentahkik pertama mazhab (Imam Rafi’i dan Imam
Nawawi) dan pentahkik ke-dua mazhab (Imam Haitami dan Imam Ramli), dan itu terus berlanjut hingga sekarang.
Mempelajari istilah-istilah ini juga diharapkan dapat membantu pemahaman lebih saat para pelajar membaca karya-karya ulama Syafi’iyah, dan juga mengetahui bagaimana aturan dalam menukil hasil ijtihad mereka sebagai fatwa di tengah-tengah masyarakat. Satu hal lagi, salah satu bukti bahwa Mazhab Syafi’i begitu melekat di grassroot umat Islam Indonesia adalah, banyaknya nama-nama seperti Sayuti, Ramli, Mawardi, Muzani dan seterusnya, yang merupakan nama-nama ulama Syafi’iyyah. Faltata`ammal!. (*)
Catatan kaki.
[1]. Prof. Muhammad Az-Zuhaili mengambil referensi dari kitab Mughni al-Muhtaj syarah al-Minhaj karya Imam Nawawi (1/12-14), al-Majmu’ (1/107), Kanz ar-Raghibin syarah Minhaj (1/12), al-Fawaid al-Makkiyyah (hal 35 dst), Imam Asy-Syirazi karya Prof. Muhammad Hasan Hito (hal 69).
[2]. Jika khilafiyah kuat, maka masing-masing pendapat sah untuk disandarkan kepada mazhab. Karena perbandingannya adalah yang satu lebih kuat dan yang satu kuat. Namun jika khilafiahnya lemah, maka yang bisa dinisbatkan kepada mazhab hanya yang kuat, karena perbandingannya adalah yang satu kuat dan yang satu lemah.
[3]. Sebagaimana yang tadi dijelaskan, khilafiahnya kuat, sehingga dalil pendapat kedua ini juga kuat.
[4]. Misalnya, bentuk permasalahan A dan B memiliki keserupaan, namun masing-masing memiliki hukum yang berbeda. Saat para Ash-hâb meriwayatkan hukum A, hukum B pun diikutsertakan di dalamnya karena adanya keserupaan tadi. Maka hukum asli A disebut dengan manshûsh, dan hukum B yang dinukilkan kepada masalah A tadi disebut dengan mukharraj.
[5]. Disini poin penting pernyataan Imam Syafi’i, “Jika sebuah hadis itu sahih, maka itulah mazhabku,” yang menjelaskan
bahwa Mazhab Syafi’i adalah metode Imam Syafi’i, bukan pendapat pribadi beliau. Makanya ada beberapa pendapat pribadi Imam Syafi’i yang tidak dihitung sebagai muktamad mazhab, karena setelah dikaji oleh ulama-ulama Syafi’iyah setelahnya tidak sesuai dengan usul fikih mazhab beliau.
[6]. Al-Majmu’ (1/110).
[7]. Secara global, lafaz-lafaz yang menunjukkan lemahnya sebuah pernyataan menggunakan format majhûl.
[8]. Al-Majmu’ (1/112).
Discussion about this post