Lastry Monika
(Dosen Prodi Sastra Minangkabau FIB Unand/Kolumnis Rubrik Renyah)
Perdebatan soal bacaan fiksi dan nonfiksi kerap muncul di ruang-ruang digital. Tak jarang, masing-masing kubu merasa jenis bacaan merekalah yang paling penting dan bermanfaat. Di tengah semangat literasi, muncul anggapan yang menyederhanakan nilai karya hanya dari bentuknya. Padahal, fiksi dan nonfiksi menawarkan cara yang berbeda dalam memahami realitas dan kehidupan manusia.
Di luar perdebatan itu, saya justru percaya bahwa dunia fiksi dan nonfiksi dapat saling melengkapi. Keduanya menawarkan cara memahami dunia yang berbeda. Jika nonfiksi menyajikan realitas dengan pendekatan data dan analisis, maka fiksi menghadirkan pengalaman batin manusia dalam menanggapi realitas tersebut. Fiksi merasuk ke dalam perasaan, membangkitkan empati, dan mempertemukan kita dengan kompleksitas kehidupan tanpa perlu mengalami langsung setiap peristiwanya.
Ketika membaca dongeng atau hikayat misalnya, kita tidak hanya disuguhi alur cerita tentang tokoh baik dan jahat, melainkan diajak memahami nilai-nilai kehidupan yang tersembunyi di balik simbol dan peristiwa. Di titik inilah fiksi bekerja, membuka lapisan makna dan pesan moral. Ia menyentuh sisi manusiawi melalui cerita yang diwariskan turun-temurun, menghadirkan kebijaksanaan dalam bentuk yang sederhana namun menggugah.
Penting pula disadari bahwa fiksi telah menjadi medium bagi kelompok-kelompok yang tersisih untuk bersuara. Banyak kisah tentang perempuan, kaum marjinal, minoritas, atau korban kekerasan yang justru lebih banyak ditemukan dalam cerita-cerita fiksi. Mereka menemukan ruang aman untuk menuturkan pengalaman hidupnya lewat tokoh-tokoh rekaan.
Fiksi, dengan segala keleluasaannya, memungkinkan suara-suara itu hadir dan didengar tanpa harus tunduk pada struktur formal tulisan akademik atau jurnalisme. Di sisi lain, pembaca nonfiksi yang berpegang pada keakuratan data tentu memiliki posisi penting dalam lanskap pengetahuan. Akan tetapi, menyampingkan fiksi adalah bentuk penyempitan makna literasi. Dunia ini terlalu luas untuk dibaca hanya dari satu sudut.
Pada akhirnya, baik fiksi maupun nonfiksi memiliki ruang dan kontribusinya masing-masing dalam memperkaya wawasan dan kepekaan kita. Perbedaan cara menyampaikan makna tidak semestinya menjadi alasan untuk saling meniadakan. Membaca bukan sekadar kegiatan kognitif, tetapi juga pengalaman afektif dan etis. Ia membentuk cara kita berpikir, merasakan, bahkan memperlakukan orang lain. Daripada saling mendiskreditkan jenis bacaan, mungkin akan jauh lebih bijak jika kita bertanya: sudahkah bacaan kita, apapun bentuknya, membuat kita lebih manusiawi?