Dharmasraya, Scientia.id – Pihak keluarga dari pengasuh sekaligus pemilik Pondok Pesantren Miftahul Huda, yang diduga terlibat kasus pelecehan seksual, membantah sejumlah tudingan yang dialamatkan kepada pemilik ponpes tersebut. Salah satu bantahan utama adalah mengenai sumber dana pembangunan pondok yang disebut-sebut berasal dari swadaya masyarakat.
Pernyataan ini disampaikan oleh Aning Putri Lestari, adik kandung dari pemilik Ponpes Miftahul Huda, Sabtu (5/7/2025).
Aning menjelaskan bahwa tudingan bahwa pondok tersebut hasil dari swadaya masyarakat adalah tidak benar.
Ia membeberkan sejarah berdirinya ponpes, yang berawal dari Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPQ) hingga berkembang menjadi pondok pesantren dengan banyak santri dan jamaah pengajian.
“Awal mula tahun 2007, ada seorang warga Koto Ranah sedang mencari guru untuk mengajar mengaji di Mushola Toriqul Jannah,” ungkapnya.
Aning menambahkan guru tersebut didapatkan dari Sitiung 3 Blok C Nagari Kurnia Selatan Kecamatan Sungai Rumbai.
“Pada awalnya, proses mengajar tidak setiap hari, dengan guru harus pulang-pergi dari Sitiung 3 ke Sitiung 4, dan kurang lebih ada 10 anak yang ikut mengaji di Mushola,” tandasnya.
Kemudian, pada tahun 2008, terduga pelaku pemilik ponpes menikah dengan orang Sitiung 4 Koto Ranah yang juga merupakan santrinya.
“Tahun 2011 kakak saya itu membeli tanah di Sitiung 4 Koto Ranah dan mulai membangun rumah, sembari menunggu pembangunan rumah selesai,” ujarnya.
Lebih lanjut, Aning mengatakan selama masa pembangunan rumah, ia masih tetap pulang-pergi dari Sitiung 3 menuju Sitiung 4 untuk mengajar mengaji di Musala.
Seiring berjalannya waktu, jumlah anak yang mengaji di mushola semakin bertambah. Setelah pembangunan rumah selesai pada tahun 2012, pemilik ponpes memutuskan untuk membuat Madrasah di depan rumah sekaligus menempati rumah tersebut.
Pada waktu itu, Madrasah masih berada di depan rumah, dan jumlah santrinya terus bertambah. Karena jumlah santri sudah mencapai sekitar kurang lebih 100 murid, pemilik ponpes memutuskan untuk menambah bangunan di belakang rumah.
Pada tahun 2019, kata Aning, ada satu santri yang berkeinginan untuk mondok.
“Pada waktu itu berawal dari satu anak dan semakin bertambah, dan tidak semua santri mondok di situ, ada yang mondok atau mengaji pulang pergi,” terangnya.
Setelah Madrasah berdiri dan berkembang, ada dua opsi jadwal pembelajaran untuk santri yang pulang-pergi. Madrasah ini mengaji lima hari dalam seminggu, sementara santri yang mondok melanjutkan di hari Jumat dan Sabtu (hari libur sekolah).
Seiring berjalannya waktu, santri yang ingin mukim (mondok) terus bertambah, mencapai hampir 25 orang (putra dan putri).
“Dengan bertambahnya santri yang mukim/mondok, pembangunan bangunan tambahan dilakukan dengan biaya pribadi dan beberapa donatur, bukan dari swadaya masyarakat. Proses pembangunan pondok ini dibantu secara gotong royong oleh wali santri, kecuali tanah Musloha merupakan tanah wakaf,” pungkasnya. (tnl)