Jambi, Scientia.id – Mungkin sebagian orang sudah ada yang tahu dengan bubur kirai ini, tetapi dengan nama yang berbeda. Namun, mungkin juga ada yang belum mengetahuinya sama sekali. Bubur kirai memang asing didengar karena penamaan bubur kirai hanya digunakan di Kabupaten Muaro Bungo, Kecamatan Tanah Sepenggal Lintas, Dusun Tanah Periuk, Provinsi Jambi.
Bubur Kirai merupakan bubur yang terbuat dari sagu. Mengapa dinamakan bubur kirai? Pembuatannya harus dimasukkan secara bertahap dengan cara dikirai atau ‘ditaburkan’. Untuk pembuatan bubur kirai, harus menggunakan sagu yang sudah menjadi tepung. Proses pembuatan untuk menjadi tepung itu masih sangat manual.
Batang sagu yang biasanya ada di rawa-rawa, harus ditebang terlebih dahulu. Setelah itu, diambil bagian isinya, lalu dihancurkan sampai halus dengan ditumbuk menggunakan lesung. Sagu yang sudah halus diremas dan disaring sampai mengeluarkan air, dan sagu dibiarkan mengendap. Endapan sagu tersebut ditunggu sekitar satu jam, sedangkan air bekas rendaman sagu dibuang.
Setelah sagu diendapkan, sagu dikeringkan dengan cara dijemur di bawah terik matahari. Untuk waktu pengeringan tergantung cuaca. Sagu harus dipastikan benar-benar kering dan menjadi tepung. Setelah sagu kering, biasanya orang tua saya memasukkan tepung sagu ke dalam toples. Jika penyimpanan sagu bagus, tepung sagu bisa bertahan sampai belasan tahun.
Untuk membuat bubur kirai, selain sagu yang sudah menjadi tepung ini, diperlukan santan, gula pasir, garam, dan gula merah (secukupnya), serta daun pandan beberapa lembar. Setelah bahan tersedia, pertama-tama masukkan santan terlebih dahulu ke dalam panci yang sudah diletakkan di atas kompor. Lalu, masukkan gula pasir, garam, gula merah, serta daun pandan. Bahan tersebut diaduk perlahan sampai mendidih, lalu masukkan sagu secara bertahap dengan cara dikirai atau ditaburkan. Setelah itu, tunggu sampai matang, bubur kirai siap disajikan.
Selain sagu bisa diolah menjadi bubur Kirai, sagu ini amat bermanfaat untuk memperbaiki masalah pencernaan, seperti sembelit, perut kembung, dan asam lambung. Tidak hanya itu, sagu juga dapat meningkatkan produksi enzim pencernaan yang mendukung keseimbangan bakteri baik di usus.
Dikarenakan kami sekeluarga sangat menyukai bubur kirai, dan terlebih orang tua saya memiliki batang sagu sendiri dan dapat mengolahnya, amat sering kami membuat bubur kirai ini. Entah itu hari-hari biasa, waktu puasa, bahkan Lebaran pun, kami sering membuat dan menyantap bubur kirai. Bubur ini sangat nikmat seperti sedang menyantap air sarang burung. Mengapa sarang burung? Karena ketika air sarang burung dituangkan ke gelas, ia seperti isian air saja, tapi kalau diminum akan terasa jelly-jelly yang terdapat di dalam airnya. Begitupun dengan bubur kirai, walaupun terlihat seperti bubur yang hanya ada bercak-bercak sagu yang dikirai, tapi ketika dimakan akan terasa sagunya.
Walaupun memasak bubur merupakan hal yang biasa, tetapi memasak bubur kirai itu sesungguhnya berbeda. Ketika memasak bubur kirai, saya melihat keharmonisan dan kekompakan orang tua saya. Ibu berperan mengaduk bubur, sedangkan ayah mendapat bagian menaburkan sagu secara bertahap. Begitu kedua orang tua saya berbagi peran setiap memasak bubur kirai. Sesekali saya dan juga kakak diajarkan untuk memasak bubur kirai agar kelak ketika kami sudah berumah tangga, bisa juga memasak dengan pasangan masing-masing.
Bubur kirai memang harus dimasak dengan bekerja sama antara dua orang. Jika dimasak sendiri, sagunya akan menumpuk, matangnya akan lama, dan tentu rasanya tidak seenak dimasak berdua. Selain bubur menjadi enak, saya dan kakak memiliki kenangan. Kami melihat kedua orang tua memasak bubur kirai sambil bersenda gurau. Sungguh romantis.
Namun, siapa sangka, bubur kirai memang sudah ada sejak zaman dulu, sejak orang-orang dulu pergi ke sawah untuk memanen padi. Mereka bergotong-royong atau palaghin dalam bahasa Tanah Periuk. Palaghin bukanlah gotong royong biasa, tetapi gotong royong yang dilakukan secara bergiliran untuk apa mengelola padi dari awal sampai panen tiba. Jika hari ini masyarakat bergotong-royong ke sawah Si A, besoknya mereka akan bergotong-royong ke sawah Si B, dan dilakukan sampai semua sawah masyarakat berhasil dipanen.
Baca Juga: Menjaga Identitas Kuliner Minang Tanpa Merusak Keberagaman Budaya
Nah, pada masa dahulu, bekal yang mereka bawa tidak hanya nasi dan lauk saja, tetapi kadang-kadang juga membawa bubur kirai sebagai makanan tambahan. Dengan demikian, dapat dilihat sejarahnya, sejak zaman dulu sampai sekarang, bubur kirai sudah menjadi makanan pelengkap dari menu-menu utama makanan di rumah. Kini bubur kirai menjadi makanan khas tradisional masyarakat Jambi, khususnya di Kabupaten Muaro Bungo. (*)