Oleh: Shilva Lioni
(Dosen Prodi Sastra Inggris Universitas Andalas)
Dunia tanah air dalam beberapa waktu belakangan dihebohkan oleh kasus perseteruan seorang artis kawakan tanah air berinisial NM dengan anaknya, Lolly. Sontak dalam beberapa waktu terakhir media sosial sempat dipenuhi dengan berbagai ulasan terkait dengan kasus perseteruan ibu dan anak tersebut hingga banyak video dan pihak memparodikan gerak, mimik, gestur, dan tuturan sang anak terhadap sang ibu.
Luapan emosi sang anak yang menggebu-gebu menjadi viral dan menuai banyak komen pro dan kontra dari masyarakat. Tuturan Lolly disinyalir sebagai luapan emosi kemarahan dan kekesalannya dinilai tidak sopan dan kurang beretika untuk diucapkan. Sebagian masyarakat menilai hal itu tidak elok untuk dipertontonkan secara terus-menerus. Beberapa komen netizen menghujat Lolly sebagai seorang anak durhaka. Terkait dengan ini tidak ada salahnya untuk mengurai tuturan bahasa Lolly dalam sudut pandang linguistik atau ilmu bahasa.
Linguistik adalah sebuah cabang ilmu yang mengkaji bahasa dan fenomena bahasa secara mendalam. Sebagai sebuah ilmu pengetahuan, linguistik menggunakan bahasa sebagai data utama untuk mengurai berbagai fenomena kehidupan, seperti identitas pelaku bahasa, regulasi, kultural, etnik, ideologi, dan bahkan dalam menilai kesantunan dan ketidak-santunan.
Konsep kesantunan dalam ilmu linguistik berada di bawah payung kajian pragmatik. Berbeda dengan konsep kesantunan secara umum, kesantunan berbahasa dalam ilmu linguistik yakni terjadi ketika sebuah tuturan atau ekspresi bahasa mampu memenuhi beberapa prinsip maksim kesantunan diantaranya seperti maksim kebijaksanaan, maksim kedermawanan, maksim pujian, maksim kerendah hatian, maksim kesetujuan, maksim simpati (Leech dalam Rahardi, 2005).
Prinsip kesantunan menurut Leech adalah enam maksim yang mengatur penggunaan bahasa, tindakan, dan interpretasi terhadap lawan bicara. Prinsip kesantunan berbahasa ini merupakan bagian dari kajian pragmatik yang didasarkan pada prinsip kesopanan dan kerja sama.
Terkait dengan hal tersebut, dalam berbagai ekspresi tuturan yang disampaikan Lolly dalam video yang diunggahnya di media sosial, kita dapat mencermati bahwa terjadi banyak pelanggaran terhadap maksim kesantunan yang ditampilkan, di antaranya tidak ditemukan kehadiran maksim kebijaksanaan, yakni meminimalkan kerugian orang lain dan maksimalkan keuntungan orang lain, tidak ditemukan kehadiran maksim kedermawanan yakni meminimalkan keuntungan diri sendiri dan maksimalkan kerugian diri sendiri, tidak ditemukan kehadiran maksim pujian yakni meminimalkan cacian kepada orang lain dan maksimalkan pujian kepada orang lain, tidak ditemuinya kehadiran maksim kerendahan hati yakni meminimalkan pujian kepada diri sendiri dan maksimalkan cacian kepada diri sendiri, tidak ditemukan kehadiran maksim kesetujuan yakni meminimalkan ketidaksetujuan dengan orang lain dan maksimalkan kesetujuan dengan orang lain, dan tidak ditemukan kehadiran maksim simpati meminimalkan antipati kepada orang lain dan maksimalkan simpati kepada orang lain.
Ungkapan ekspresi bahasa dan tuturan Lolly justru diwarnai oleh tuturan-tuturan yang memaksimalkan kerugian orang lain, memaksimalkan keuntungan diri sendiri, penuh dengan cacian kepada orang lain, dan menyombongkan diri dengan pujian-pujian terhadap diri sendiri. Sebagai ilustrasi hal ini dapat kita saksikan dalam contoh tuturan seperti, “Gue dibilang kabur, ngapain gua kabur. Lu bilang gua kabur, ngapain gua kabur. Ngapain lu kesini pas orangnya gak ada”.
“Gua gak habis pikir ya kenapa ya dia begitu ya. Udah sakit ya otak lu ya. Gila lu. Orang gak salah apa-apa lu tuduh lu fitnah. Udah kelewatan banget fitnah lu. Lu maksa masuk ngapain. Sampai grebek-grebek gitu ngapain.”
“Disini gua gk takut, gue gak takut sama elu. Disini gua megang kebenaran, fakta, gak ada gua takut sama elu”
“Licik lu. Otak jelek, otak licik lu gue paham. Lu ngehalalin semua cara biar kebenaran gak diungkap. Biar semua orang anggap lu ibu yang baik. Ibu yang perhatian. Aduuh.”
“Gampang buat gue beli lagi, emang berapa sih itu. Gila emang dipikir gua gak bisa beli sendiri. Ini Hp. Gue beli dari siapa. Gua beli sendiri, uang gua sendiri. Gua yang cari. Gila. Ini apartemen siapa yang bayar, gua. Kerja keras gua. Bukan dari lo. Gila kelewatan banget lo, udah sakit ya otak lo. Cuma laptop sama Ipad doang sampe segitunya. Dari awal lo gk ush kasih, gua bisa beli sendiri kok. Gua juga ga butuh.”
Apabila ditelaah dari sudut pandang pragmatik, tentu jelas tuturan-tuturan diatas yakni tuturan-tuturan yang memaksimalkan kerugian orang lain, memaksimalkan keuntungan diri sendiri, penuh dengan cacian kepada orang lain, dan menyombongkan diri dengan pujian-pujian terhadap diri sendiri. Tuturan-tuturan ini jelas melanggar prinsip kesantunan bahasa yakni terutama maksim kedermawanan, maksim kebijaksanaan, maksim pujian, dan maksim kerendahan hati. Dari tuturan yang diungkapkannya, Lolly dalam hal ini cenderung sibuk menyudutkan dan menghina orang lain, namun pada saat yang bersamaan juga membanggakan dan memuji dirinya dalam tuturan.
Masalah kesantunan berbahasa pada dasarnya adalah isu yang penting untuk dibahas. Adanya pelanggaran yang dihasilkan terhadap prinsip maksim kesantunan dalam berkomunikasi sangat rentan dengan kehadiran konflik serta image yang buruk bagi si penutur bahasa. Oleh karena itu, dengan adanya rasa aware yang tumbuh dalam ekspresi berbahasa yang dituturkan dapat menjadi nilai plus bagi kita dalam meminimalisasi konflik dan efek buruk terhadap diri karena bagaimana pun karena Lolly dicap sebagai seorang anak yang tidak santun dan durhaka, hal itu tidak terlepas dari tuturan dan ekspresi bahasa yang digunakannya. Kasus ini sudah semestinya menjadi pembelajaran bagi kita semua para pemakai bahasa.