Oleh: Andina Meutia Hawa
(Dosen Prodi Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas)
Sastra diciptakan oleh pengarang yang merupakan bagian dari masyarakat. Dalam sastra tergambar kehidupan yang bisa jadi berasal dari kenyataan. Karya sastra memiliki cara tersendiri dalam mengungkap kenyataan atau realita sosial. Sastra disampaikan melalui medium bahasa yang mengandung unsur-unsur estetika. Di dalamnya juga terdapat simbol-simbol yang berisi nilai-nilai pembelajaran. Nilai-nilai tersebut mencakup humanitas, sosial, moral, dan religiusitas (Habibi, dkk., 2021).
Religiusitas berkaitan dengan keyakinan seseorang terkait ajaran religinya. Religi merujuk pada aspek formal yang berkaitan dengan aturan-aturan dan kewajiban. Oleh sebab itu, religiusitas seseorang akan terlihat apabila penghayatan terhadap keagamaannya terpenuhi (Mangunwijaya, dalam Habibi, dkk., 2021). Lebih lanjut, Mangunwijaya mengakatakan bahwa religiusitas seseorang akan menghasilkan rasa damai akibat kedalaman penghayatan perilaku keagamaan yang diterapkan dengan sungguh-sungguh.
Penggunaan aspek religi dan religiusitas dalam sastra dapat dilihat dari banyaknya penulis yang memasukkan nilai dan ajaran agama di dalam karya-karyanya. Nilai dan ajaran agama tersebut dapat berisi pesan moral serta amanat yang bernanfaat bagi pembacanya. Unusr moralitas dalam karya sastra dapat memberikan pengtahuan yang bersifat mendidik dan dapat dijadikan sumber pedoman hidup manusia (Ayuningrum, 2021). Oleh sebab itu, karya sastra dapat menjadi media dalam penyampaian nilai-nilai religiusitas.
Secara genre, karya sastra terbagi menjadi tiga, prosa, puisi, dan drama. Drama kerap dianggap sebagai karya sastra yang paling akurat dalam menggambarkan realita dan nilai kehidupan. Sebagai karya sastra, drama mengungkapkan cerita melaui dialog-dialog para tokohnya (Sumaryanto, 2009). Dilansir dari Kumparan.com, drama juga merupakan sebuah bentuk seni pertunjukan yang memadukan antara kata-kata, gerakan, dan ekspresi untuk menyampaikan cerita kepada penonton. Sebuah naskah drama ditulis dengan tujuan untuk dipentaskan.
Salah satu naskah drama yang mengandung nilai religiusitas adalah Masyitoh karya Ajip Rosidi. Naskah drama Masyitoh ditulis dalam bahasa Sunda dan diterbitkan dalam bentuk buku pada 1962. Naskah tersebut kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan untuk dipentaskan pertama kali di Gedung Kesenian Pasar Baru, Jakarta, pada 21 Maret 1965. Drama ini terdiri dari tiga babak, menceritakan tentang perjuangan tokoh bernama Masyitoh, seorang pelayan putri Firaun pada zaman sesudah Nabi Yusuf As dan sebelum Nabi Musa As, yang mempertahankan keyakinan dan keimanannya terhadap Allah SWT.
Kisah Masyitoh terdapat dalam hadist yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya (1/309) At Thobaroni dalam Al-Mu’jamul Kabir (11/450) dan Albazzar dalam Kasyful Astar (1/37) dari jalan Hammad bin Salamah dari Atho’ bin Saib dari Said bin Jubair dari Ibu Abbas (Yusufpati, 2021). Hadist yang meriwayatkan Isra’ dan Mi’raj Nabi Muhammad SWA tersebut sebetulnya bersifat dhaif alias lemah dan diragukan kebenarannya (Rosidi, 2006). Meskipun demikian, kisah Masyithoh sangat mashyur dan dapat dijadikan sebagai suri teladan. Berikut nilai-nilai religiusitas yang terdapat dalam drama “Masyitoh” karya Ajip Rosidi.
1. Saling menenteramkan dalam pernikahan
Kisah dibuka dengan Masyitoh yang bercerita pada suaminya, Obed tentang kemarahan Putri Taia setelah tidak sengaja menyebut nama Allah ketika sedang menyisir rambut tuan putri. Dikisahkan bahwa Masyitoh merupakan keturunan Israil yang tinggal di Mesir. Pada masa itu penduduk Mesir diperintah oleh seorang Firaun sekaligus pemimpin agama bagi masyarakat Mesir kuno. Bangsa Israil di Mesir merupakan keturunan Nabi Ibrahim As, kepercayaan akan agama yang dianut Nabi Ibrahim As, telah berkembang di Mesir walaupun tidak sedikit pula bangsa Mesir kuno yang menyembah Firaun. Masyitoh yang telah memiliki keteguhan terhadap imannya kepada Allah. Ia tidak gentar diancam oleh Putri Taia. Walaupun demikian, ia kemudian menyadari tindakannya dapat membahayakan orang-orang Israil yang tinggal di Mesir.
Obed adalah suami Masyitoh yang memuliakan istrinya. Ia mendukung perkataan Masyitoh terhadap tuan putri dan baginya tindakan tersebut berasal dari pendirian dan keyakinan sang istri yang kuat terhadap Allah. Obed sendiri sebenarnya juga merasa cemas. Namun, kecemasan itu ditepisnya dengan meyakinkan Masyitoh bahwa Allah akan melindungi hamba-Nya yang setia. “Dia tentu memberi rahmat dan kekuatan pada hamba-Nya yang menegakkan serta membela hak-Nya di dunia”, kata Obed meyakinkan istrinya sambil menatapnya dengan mesra. Tangannya sudah menjangkau hendak membelai-belai rambut istrinya yang sedang tertunduk (Rosidi, 2006: 46).
Memuliakan istri merupakan salah satu perintah Rasulullah SAW. Dalam sebuah hadist yang diriwayatkan Ibnu Majah dikatakan bahwa sebaik-baiknya laki-laki adalah ia yang memuliakan istrinya (Umaroh, 2023). Perkataan Obed yang lemah lembut dan perlakuan mesranya terhadap Masyitoh merupakan bentuk yang memuliakan istri. Tindakan Obed memuliakan istrinya juga berasal dari kepercayaan terhadap ajaran agama yang dijalaninya dengan sungguh-sungguh. Ketenteraman dapat diperoleh ketika suami dan istri selalu senantiasa mendekatkan diri kepada Allah SWT, walaupun kehidupan Obed dan Masyitoh sangat sulit.
2. Berpegang teguh pada keyakinan
Firaun dalam cerita Masyitoh digambarkan sebagai sosok yang kejam. Ia memerintahkan rakyat Israil untuk membangun piramida yang besar sebagai lambang keagungan dan kebesaran Firaun. Rakyat Israil sangat menderita, tidak sedikit yang mengalami kelaparan karena melakukan pekerjaan yang berat. Firaun menghendaki agar seluruh rakyat Israil meyakini tuhan yang sama. Obed adalah salah satu dari pekerja itu. Namun, kepercayaannya yang teguh terhadap Allah SWT menyebabkannya rela menanggung penyiksaan dan penderitaan.
Pada akhirnya Obed dan keluarganya dibawa ke istana Firaun untuk menerima hukuman. Kekejaman Firaun terlihat pada sosoknya yang berkata kasar serta memberikan ancaman untuk melucuti Obed karena tidak mau berpaling dari keyakinannya terhadap Allah SWT. Dengan penuh keyakinan Obed berkata bahwa tuhannya adalah Allah yang bersifat Rahman beserta Rahim. Mendengar hal itu, Firaun murka dan memerintahkan algojo untuk melayangkan lecutan pada Obed. Masyitoh melihat suaminya tidak bergeming saat dilucuti sambil menahan sakit. Namun hal itu tidak mengubah keyakinannya.
“Hamba sudah merasakan nyerinya cemeti melucuti punggung suami hamba. Tetapi hamba pun tidak merasakannya sebagai suatu kesakitan, sebab hamba tahu dan yakin pula semua itu hanyalah cobaan belaka dari Tuhan yang Maha Esa …” (Rosidi, 2006: 89). Perkataan Masyitoh merupakan bentuk religiusitas berpegang teguh pada keyakinan. Berpegang teguh merupakan sikap yang tidak mudah terpengaruh oleh situasi apa pun. Masyitoh menunjukkan sikap tidak takut ataupun gentar oleh ancaman pihak istana. Orang yang beriman akan selalu mendapatkan cobaan, namun orang yang selalu berpegang teguh pada keimanan senantiasa akan percaya bahwa Allah akan memberi pahala dan rahmat yang tidak disangka-sangka.
3. Berserah dan tawakal
Berserah artinya menyerahkan segala sesuatu kepada Tuhan setelah berjuang dan berikhtiar dan berjuang keras. Diceritakan bahwa Masyitoh dan Obed sedang diadili di istana dan menunggu hukuman yang akan diterimanya. Masyitoh juga telah menerima hukuman berupa lecutan seperti suaminya. Sekali lagi ditanyakan apakah Mayitoh dan Obed tetap mempercayai Tuhan Allah SWT dan keduanya tetap berpegang teguh pada keyakinan mereka.
“Jadi, kamu sekalian memilih dimasukkan ke dalam cairan timah mendidih? Masyitoh menjawab, “daripada harus meninggalkan kepercayaan hamba kepada Allah yang bersifat Rahman beserta Rahim, yang tekah menjadi Tuhan sembahan leluhur hamba, lebih baik hamba memilih cairan timah mendidih …,” katanya (Rosidi, 2006:101). Pernyataan Masyitoh termasuk ke dalam perbuatan berserah setelah memperjuangkan apa yang diyakininya. Dalam berserah, seseorang juga melibatkan Tuhan dengan cara menyerahkan segala sesuatu kepada-Nya, berusaha semaksimal mungkin sambil terus berdoa dan percaya keajaiban akan datang (Rofiq, 2023).
Cerita Masyitoh dikenal karena pengorbanan dalam membela keyakinannya terhadap agama yang dianutnya. Ia lebih memilih masuk ke dalam cairan timah yang mendidih ketimbang harus melepaskan apa yang telah diyakininya. Masyitoh dan keluarganya tidak memperlihatkan rasa takut dalam menghadapi hukuman yang akan diterimanya. Masyitoh dan keluarganya sudah berjuang dengan maksimal. Sikap berserah diri Masyitoh dan keluarganya termasuk ke dalam bentuk sikap tawakal yang sempurna, yaitu beserah diri kepada Allah dengan sepenuhnya tanpa rasa keraguan dan kekhawatiran, serta meyakini bahwa apa yang terjadi merupakan kehendak Allah.
4. Melanjutkan perjuangan dalam iman dan takwa
Berita tentang pengorbanan Masyitoh dan keluarganya sudah menyebar luas di kalangan rakyat Israil di Mesir. Hal tersebut membuat rakyat Israil menjadi terpecah. Ada yang salut, ada pula berpikir bahwa pengorbanan tersebut akan semakin membahayakan nasib rakyat Israil yang tinggal di Mesir. Hal tersebut tercermin dari tokoh Amram dan Nadab yang memiliki pandangan saling bertentangan.
Nadab berpandangan bahwa dalam memperjuangkan keyakinannya, rakyat Israil tidak hanya pasrah dan berdiam diri. “Takwa tidaklah berarti tinggal diam sabar menerima segala yang tiba,” (Rosidi, 2006: 139). Bagi Nadab, takwa ialah mempercayai bahwa Allah akan memberikan pertolongan dan meridhoi kepada hamba-Nya yang berjuang dalam meperbaiki nasibnya sendiri. “Jadi, kita jangan berdiam diri berpangku tangan menyaksikan Mayitoh sekeluarga dinista serta disiksa oleh Firaun!” kata Amram keras-keras (Rosidi, 2006:143).
Dalam surat Ar-Rad’ ayat 11 difirmankan bahwa Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum apabila ia tidak mau mengubah nasibnya sendiri. Perkataan Amram menunjukkan bentuk kesadaran baru bahwa kemenangan akan berpihak pada mereka jika seluruh rakyat Israil saling bersatu dalam membela kebenaran dan memperjuangkan nasibnya.
Dengan demikian, dalam membaca kisah Masyitoh, kita perlu menempatkan diri sebagai pembaca yang sudah sudah terpapar dengan ajaran agama Islam yang diturunkan oleh Rasulullah SAW. Kisah Masyitoh diriwayatkan pada hadist yang diturunkan jauh setelah Rasulullah SAW wafat. Oleh sebab itu, literatur-literatur yang digunakan untuk mendukung penjelasan nilai-nilai religiusitas dalam drama Masyitoh dikutip dari Al-Quran dan hadist. Melalui kisah Masyitoh, kita mengetahui bahwa rakyat Israil di Mesir telah mengikuti kepercayaan leluhur mereka, yaitu Nabi Ibrahim As. Nilai-nilai religiusitas yang terkandung dalam kisah Masyitoh diperoleh dari keteguhan para tokoh dalam berjuang mempertahankan keyakinan mereka terhadap Allah SWT.
Discussion about this post