Oleh: Andina Meutia Hawa
(Dosen Program Studi Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas)
Secara genre, karya sastra terbagi tiga yaitu puisi, drama, dan prosa. Jika dilihat dari bentuk dan cara penyampaian cerita maka komik dapat digolongkan ke dalam bentuk prosa bergambar. Komik terdiri dari susunan gambar dan kata yang bertujuan untuk memberikan informasi yang ingin disampaikan kepada pembaca (Soedarso, 2015). Kemunculan komik dulunya dianggap sebagai sesuatu yang tidak mendidik karena adanya gambar yang hanya memberikan hiburan dan kesenangan pada anak tanpa harus membaca. Kritikan tersebut sebenarnya ditujukan pada unsur gambar yang terdapat dalam komik. Gambar yang disajikan di dalamnya banyak tindakan keras, kasar, dan brutal yang dilakukan tokoh-tokoh dalam komik dalam penyampaian ceritanya (Muktiono, dalam Soedarso, 2015). Hurlock (dalam Soedarso, 2015), berpendapat bahwa unsur gambar dalam komik dapat membantu perkembangan imajinasi anak. Komik dapat memberikan model yang bisa digunakan untuk mengembangkan kepribadian anak-anak. Pernyataan ini senada dengan apa yang dikatakan Seto Mulyadi, bahwa bacaan komik dapat membantu memvisualisasikan imajinasi anak yang belum bisa membaca. Namun, Seto juga menambahkan bahwa anak tetap perlu diperkenalkan dengan buku bercerita ketika sudah lancar membaca.
Unsur gambar pada komik dapat menjadi daya tarik yang dapat merangsang minat anak untuk membaca. Komik saat ini dapat menjadi salah satu media pembelajaran dan komunikasi yang efektif dan menyenangkan untuk menyampaikan nilai-nilai pendidikan (Pandanwangi & Nuryantiningsih, 2018). Komik di Indonesia sudah lama muncul dalam bentuk cetak. Berkat kemanjuan teknologi, bentuk komik semakin modern melalui kemunculannya dalam bentuk digital. Walaupun pada awalnya komik hanya dianggap sebagai sarana hiburan, namun seiring dengan perkembangan masyarakat, muncul pula berbagai kategori komik baru yang di dalamnya memuat unsur pendidikan seperti edukasi, fakta-fakta informasi, dan sebagainya (Gunawan & Sujarwo, 2022).
Kemajuan teknologi membawa perubahan dalam berbagai aspek kehidupan,termasuk dalam hal pendidikan. Kemajuan teknologi kerap berbanding lurus dengan kemampuan dalam menggunakan gawai serta mengakses dan mengonsumsi informasi. Kemampuan mengelola, mengakses informasi juga didasari oleh kemampuan membaca dari berbagai media, baik itu berupa buku, koran, majalah, komik, blog (Ilham & Marlini, 2019). Kemampuan dalam memeroleh dan mengolah informasi melalui pemanfaat teknologi disebut sebagai literasi digital.
Dalam dunia pendidikan, literasi digital perlu ditanamkan pada peserta didik, terutama di era internet. Penyebaran dan pertukaran informasi berlangsung secara cepat dan masif dalam dunia literasi digital. Penggunaan gawai yang berlebihan jika tidak disertai pengawasan guru dan orang tua, serta kurangnya literasi digital dapat menyebabkan murid mengonsumsi berita-berita yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kredibilitasnya. Hal ini terjadi karena anak tidak memiliki kemampuan dalam memilih dan memilah informasi mana saja yang patut untuk dikonsumsi. Dalam jangka panjang, hal ini dapat merusak mental anak.
Penanaman literasi digital pada peserta didik dapat dilakukan dengan menggunakan media karya sastra. Dalam konteks sastra, literasi digital mencakup pada aktivitas pembacaan karya sastra melalui pemanfaatan teknologi atau digitalisasi sastra. Sastra sebagai salah satu kekayaan ekspresi budaya dapat diakses dan dipelajari melalui berbagai platform digital seperti e-book, audiobook, ataupun media sosial sastra (Kami & Artika, 2024). Keberadaan teknologi tentu saja memberikan kemudahan bagi siswa untuk mengakses dan memanfaatkan karya sastra digital sebagai materi pembelajaran. Namun, menurut Kami & Artika (2024)hal lain yang juga patut menjadi perhatian adalah pemanfaatan teknologi yang mendukung pemahaman akan karya sastra, memfasilitasi diskusi, serta memberikan ruang kreativitas bagi siswa untuk berekspresi melalui media digital.
Kedua aspek pengembangan karakter dan literasi digital tersebut dapat diperoleh melalui program Komik Kecil-Kecil Punya Karya (KKKPK) yang digagas oleh Penerbit Mizan dan Komik Next G oleh Muffin Graphics. Program KKKPK dan Muffin Graphics memafasilitasi penulis-penulis cilik berusia 8-14 tahun untuk mengembangkan ide, gagasan, dan kreativitas mereka melalui penulisan cerita anak yang kemudian akan dilustrasikan oleh ilustrator profesional ke dalam bentuk komik. Berbagai kisah yang terdapat dalam KKKPK dan Komik Next G memberikan penyegaran akan cerita anak yang kerap luput dalam penulisan sastra anak yang ditulis oleh orang dewasa. Hal ini disebabkan karena cerita dalam KKKPK dan Komik Next G ditulis oleh anak-anak dan remaja, sehingga lebih relevan dalam menampilkan persoalan-persoalan yang dihadapi anak-anak pada usia tersebut.
Nilai Pendidikan Karakter
Karakter kompetitif dan suportif terdapat dalam cerita berjudul Kunci Juara Kelas. Kunci Juara Kelas ditulis oleh pengarang cilik bernama Afifah Khairunnisa dan dimuat dalam salah satu seri Komik Next G berjudul sama. Cerita dibuka dengan pengumuman tentang tokoh Shofi yang menjadi langganan juara kelas di sekolahnya. Hal ini kemudian memunculkan jiwa kompetitif dan semangat tokoh Aurel untuk menjadi juara kelas seperti Shofi. Shofi digambarkan memiliki sifat pemalu. Sifatnya yang pemalu membuatnya merasa canggung untuk bergaul dengan teman-temannya walaupun mereka mengakui kepintaran Shofi. Hal ini menimbulkan rasa tidak senang pada diri Aurel.
Aurel sempat memperlihatkan perasaan tidak senangnya kepada Shofi, dan hal itu membuat Shofi menjadi tidak enak hati. Aurel kemudian belajar dengan giat agar nilai-nilainya bisa melampaui Shofi. Ia belajar semalam suntuk. Namun, keesokan harinya, ia tidak bisa mengerjakan soal ujian dengan baik. Ketika hasil ujian dibagikan, Aurel kecewa karena nilainya malah turun, dan Shofi justru mendapat nilai terbaik. Aurel menyadari bahwa sifat kompetitifnya sudah berlebihan. Ia akhirnya mengakui kepintaran Shofi dan berhenti merasa iri. Aurel bertanya trik-trik belajar pada Shofi. Shofi memiliki hati yang baik, ia tidak merasa dendam pada Aurel dan membantunya belajar.
Tokoh Aurel memperlihatkan bahwa seseorang memiliki kapasitas untuk berubah ke arah yang lebih baik apabila ia memiliki pikiran dan hati yang terbuka. Aurel mengubah perilakunya pada Shofi dan memutuskan untuk bersaing secara sehat. Melalui cerita Kunci Juara Kelas, penulis ingin menyampaikan bahwa sifat kompetitif dapat mendorong seseorang untuk terus bersemangat dalam meningkatkan kompetensi dirinya. Tokoh Shofi dan Aurel dalam cerita ini juga memperlihatkan bahwa memiliki teman suportif yang saling mendukung dan menyemangati lebih menyenangkan ketimbang memendam perasaan iri yang justru menghambat seseorang untuk maju.
Nilai Literasi Digital
Dalam cerita Mangaka Cilik yang ditulis Adnin Zaqiyah Salma Azzahra Zia, terdapat dua aspek literasi digital, yaitu kemahiran menggunakan gawai serta pemanfaatan gawai untuk mengembangkan bakat. Tokoh utama dalam cerita Mangaka Cilik adalah Karin yang digambarkan menggunakan gawai untuk hal-hal positif seperti mencari tahu tentang budaya Jepang yang ia gandrungi, sekaligus menggunakan ponsel pintar untuk menyalurkan bakatnya dalam menggambar manga (komik).
Kegemaran dan pengetahuan Karin akan budaya Jepang mendorongnya untuk mengasah bakatnya yang lain, yaitu menulis. Karin pun iseng-iseng menulis tulisan pertamanya dan memuatnya di blog. Tulisan Karin mendapat respon yang bagus oleh pengikutnya. Berkat motivasi yang diberikan oleh kakaknya, Karin yang awalnya tidak percaya diri dan ragu kemudian semakin semangat untuk terus menulis. Ia pun mengirimkan tulisannya ke sebuah penerbit dan tulisannya berhasil dimuat. Dalam cerita Mangaka Cilik, kedua aspek literasi digital yang dimiliki tokoh Karin juga didukung oleh pengawasan dan pengarahan kakaknya, cerita Mangaka Cilik memperlihatkan bahwa penggunaan gawai secara positif dapat meningkatkan kreativitas seseorang dan menghasilkan sesuatu yang dapat bermanfaat bagi orang lain.
Dengan demikian, dua cerita yang dimuat dalam kompilasi komik seri Mangaka Cilik oleh KKKPK dan Komik Next G dapat dijadikan media pendidikan karakter dan pembangunan literasi digital anak. Nilai-nilai pendidikan karakter berupa memiliki sifat kompetitif dan suportif terdapat dalam cerita Kunci Juara Kelas. Adapun nilai literasi digital dalam cerita Mangaka Cilik melalui tokoh Karin yang mahiran menggunakan gawai serta memanfaatkan teknologi untuk mengembangkan bakat diperlihatkan oleh tokoh Karin. Selain itu, kemahiran digital tokoh Karin juga ditunjang oleh pengawasan dan pengarahan kakaknya dalam penggunaan gawai Karin.
Program menulis cerita yang digagas kedua penerbit menjadi hal positif sebab dituturkan melalui sudut pandang anak, serta memuat persoalan yang tengah dihadapi anak. Keempat cerita tidak hanya menggambarkan tokoh-tokoh secara hitam atau putih, tetapi tetap menanamkan nilai-nilai luhur seperti jujur, mandiri, bertanggung jawab, dan mencari solusi dari setiap permasalahan. Selain itu, ceritanya juga disesuaikan dengan kondisi anak-anak saat ini yang telah terpapar dengan gawai dan teknologi sehingga mengajak pembaca anak untuk menumbuhkan literasi digital melalui penggunaan dan pemanfaatannya dengan bijak.
Discussion about this post