Oleh: Ronidin
(Dosen Sastra Indonesia FIB Universitas Andalas)
Adik ipar saya datang dengan keluarganya dari Tuban ke kontrakan kami di Yogyakarta. Ramai kontrakan kami pada hari itu. Walaupun serba terbatas, kami bersenang hati bisa berkumpul bersama. Rindu terobati walaupun pertemuannya di perantauan. Adik ipar saya bersuamikan lelaki Tuban. Selepas menikah di Padang, mereka ke Batam. Tidak lama di Batam, suaminya memboyong istrinya ke kampung halamannya karena dia pindah kerja ke Jawa Timur. Mula-mula mereka menetap di Gresik. Selepas itu pindah ke Tuban, ke tanah kelahiran sang suami.
Saya tidak hendak bercerita tentang keluarga adik ipar saya itu. Hanya mengambil bagian dari perjalanannya ke Yogyakarta. Bagi sang suami, Yogyakarta bukanlah tempat yang asing. Kakak kandungnya seorang pengusaha bakso dan bakpia, oleh-oleh khas Yogyakarta di kawasan Adisucipto yang waktu itu masih aktif sebagai bandar udara sebelum dipindahkan ke Kulon Progo. Adik ipar saya baru kali itu ke Yogyakarta.
Dalam rentang masa kedatangan mereka, kami traveling ke beberapa tempat di Yogyakarta. Mula-mula ke Malioboro dan Keraton Kesultanan Yogyakarta. Berikutnya kami ke Monjali, selepas itu ke Borobudur. Kami ke tempat-tempat itu bermotor. Saya, istri, dan dua anak saya naik motor yang saya miliki, sedangkan adik ipar saya, suaminya, dan balita perempuannya memakai motor rental milik tetangga kami. Sehari dirental 60 ribu, BBM-nya isi sendiri.
Tulisan ini akan memaparkan perjalanan kami ke kedua tempat yang disebut terakhir. Pertama ke Monjali atau Monumen Yogya Kembali, setelah itu ke Borobudur. Monjali merupakan sebuah museum yang didirikan untuk memperingati peristiwa ditariknya tentara Belanda dari Kota Yogyakarta tanggal 29 Juni 1949. Selepas penarikan itu, Yogyakarta kembali berfungsi sebagai Ibukota Republik Indonesia yang sebelumnya dikuasai Belanda. Monumen ini sebagai bukti sejarah kegigihan anak bangsa memperjuangkan harga diri bangsa walaupun dengan segala keterbatasannya. Monjali terletak di Ring Road Utara, tepatnya di kawasan Jongkang, Sariharjo, Ngaglik, Sleman Yogyyakarta.
Kami menikmati kunjungan ke Monjali. Kami berfoto-foto dan menikmati wahana wisata yang disediakan. Saya dan suami adik ipar saya bersenang hati menikmati benda benda bersejarah yang ada di sana. Istri saya dan adik ipar saya tidak berkedip membaca satu persatu nama-nama pejuang yang gugur di daerah Wehrkreise III antara tanggal 19 Desember 1948 s.d. 29 Juni 1949. Nama-nama itu dituliskan di tembok permanen yang menghadap ke arah bangunan utama Monjali. Ada pun anak-anak kami lebih senang menikmati wahana wisata seperti kereta dayung yang terdapat di dalam kolam yang mengelilingi bangunan induk, sepeda sambung yang panjang, mobil-mobilan listrik, dan balon air. Adanya kolam yang mengelilingi bangunan induk secara filosofis merupakan lambang kesucian, agar pengunjung lebih tenang dalam memahami ketauladanan dari para pejuang bangsa.
Bangunan induk Monjali berbentuk kerucut, terdiri dari tiga lantai. Lantai pertama terdiri dari 4 ruang museum. Museum 1 berisi koleksi peristiwa sekitaran Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Museum 2 berisi koleksi tentang perang gerilya dan sistem pertahanan rakyat semesta. Museum 3 berisi koleksi seputar serangan umum 1 Maret 1949. Museum 4 berisi koleksi seputaran Yogyakarta sebagai Ibukota RI. Lantai dua berisi 10 diorama dan 40 relief tentang perjuangan mempertahankan kemerdekaan di Yogyakarta. Lantai tiga merupakan ruang Garba Graha, ruangan hening yang berfungsi untuk mendoakan arwah para pejuang yang gugur dalam mempertahankan kemerdekaan.
Kami menikmati kunjungan ke Monjali. Bagi kami, kunjungan ke Monjali menambah pengetahuan kesejarahan kami. Bagi kami Monjali adalah bagian dari pengetahuan betapa hebatnya perang kemerdekaan melawan Belanda di Yogyakarta. Dengan ke Monjali, kami menemukan kepingan-kepingan peristiwa perang kemerdekaan di Yogyakarta selain yang telah kami lihat melalui film maupun yang kami baca melalui buku. Ketika saya masih kecil, saya suka dengan komik Merebut Kota Perjuangan karya Marsoedi, dkk. Saya juga beberapa kali menonton film Usmar Ismail berjudul Enam Djam di Jogja, serta film Janur Kuning yang disutradarai oleh Alam Rengga Surawidjaja.
Selesai menikmati Monjali kami meneruskan perjalanan ke Jalan Magelang, tujuan kami selanjutnya adalah ke Borobudur yang terletak lebih kurang 40 km ke arah barat laut Yogyakarta. Dengan semangat menggelora kami menaiki motor di luar kapasitasnya. Motor saya empat nyawa, motor suami adik ipar saya tiga nyawa. Untung di jalan tidak ada kami bertemu polisi yang sedang razia. Kami sampai di parkiran Borobudur setelah sejam lebih berkendara dari Monjali. Saya tahu jalannya karena sebelumnya juga sudah ke sana, tetapi dengan bus. Walaupun beda kendaraan, saya masih menyimpan arah jalannya dalam ingatan saya. Ketika pertama ke sana, saya tidak tidur di bus. Itu sudah menjadi kebiasaan saya bila pergi ke mana-mana untuk menandai arah jalan. Bila sesudahnya saya ke sana lagi, saya tidak perlu bertanya arahnya.
Kami menikmati suasana di Borobudur. Ramai orang di candi Buddha terbesar di Indonesia bahkan dunia itu. Jika Dunsanak ingin mengetahui banyak hal mengenai Borobudur, tinggal mengetik kata itu di mesin pencari Google. Segala informasi ada di sana. Adapun tentang kami yang ke Bororbudur, kami beruntung karena dapat naik ke puncak Borobudur. Rasa capek menaiki tangga demi tangga hingga akhirnya sampai di puncak terobati dengan melihat langsung stupa induk alias stupa paling besar yang menjadi mahkota Borobudur. Kami berfoto-foto di sana. Di antara banyak pengunjung, ada pengunjung yang memanjat dan memasukkan tangannya ke lubang stupa yang di dalamnya ada arca Buddha walaupun itu dilarang petugas. Ada yang duduk di batu stupa sambil memainkan HP, mengelap keringat dan sebagainya. Selepas dari puncak kami mengelilingi pelataran candi itu. Tidak sepenuhnya selesai karena cuaca panas dan gerah.
Kunjungan ke Borobudur sangat berarti bagi kami. Di sini kami dapat memetik hikmah betapa mengagumkannya kebudayaan nenek moyang kita pada masa lalu. Dengan kebudayaan yang tidak secanggih sekarang, mereka dapat membangun sebuah peninggalan sejarah yang ajaib. Batu-batu yang disusun membentuk bangunan Borobudur adalah pekerjaan arsitektur mumpuni di zamannya. Tidak terbayangkan oleh kita, bagaimana umat Buddha di zaman itu bergotong royong membangun Borobudur yang menakjubkan itu. Tempat suci dan ziarah keagamaan umat Buddha itu tidak dalam ukuran kecil, tetapi besar. Batu-batunya besar dan berat. Ada 72 stupa mengelilingi stupa mahkota. Jadi, Borobudur adalah produk kebudayaan yang mencengangkan, sebuah fakta historis di tengah berbagai mitologi yang melingkupinya.
Melihat Borobudur kami seperti melihat suatu kedigdajayaan masyarakat di zaman bangunan itu diciptakan. Tidak salah bila kemudian Borobudur menjadi tempat suci yang paling banyak dikunjungi oleh wisatawan dibandingkan tempat-tempat suci lainnya. Siapa pun yang ke Yogyakarta tidak akan pernah melewatkan untuk tidak ke Borobudur. Selain itu, setiap tahun, ribuan umat Buddha dari seluruh nusantara datang ke Borobudur untuk memperingati hari Trisuci Waisak.
Jadi, Dunsanak liburan hanya di rumah saja. Mana maen. Datanglah ke Monjali atau ke Borobudur! Di sana, Dunsanak akan mendapatkan pengalaman dan pengetahuan yang mengagumkan sebagaimana yang saya dapatkan bersama keluarga adik ipar saya yang datang dari Tuban untuk Yogyakarta. Wallahulalam bissawab.
Catatan:
Ketika tulisan ini saya tulis, gempa bumi berkekuatan 6,4 SR menguncang Yogyakarta. Kita lantunkan doa untuk keselamatan Saudara-saudara kita di bumi Yogyakarta.
Discussion about this post