Oleh : Rosidatul Arifah
(Mahasiswa Prodi Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas)
Apa guna punya ilmu tinggi?
Kalau hanya untuk mengibuli
Apa gunanya banyak baca buku
Kalau mulut kau bungkam melulu-Wiji Thukul
Pada hakikatnya, sastra bukanlah produk politik, sastra juga bukan alat propaganda, lantas apa sastra harus selalu tunduk pada hakikatnya sebagai sebuah ilmu pengetahuan dan seni semata? Berkaca pada realitas keberadaan sastra dari berbagai generasi, sastra pernah berada sebagai ‘oposisi’ penguasa. Sastra tak hanya digandrungi sebagai produk ilmu pengetahuan dan seni semata namun pada beberapa keadaan, sastra justru menjadi benang merah perlawanan dan sebagai media penyambung aspirasi rakyat.
Kembali menilik pada rezim Orde Baru yang berlangsung sekitar tahun 1966-1998 silam, tahun-tahun tersebut adalah tahun bersejarah bagi karya sastra yang digandrungi bukan hanya sebagai seni dan ilmu semata. Tak dapat dipungkiri, Orde Baru menciptakan titik tolak dan perlakuan berbeda terhadap sastra yang belum pernah ditemukan sebelumnya. Sastra dicap layaknya ancaman keras dan lampu merah bagi penguasa. Sastra dipandangi oleh rezim sebagai sesuatu yang kuat dan dapat mengoyak pertahanan negara dengan narasi-narasi yang menjalankan misi oposisi terhadap penguasa.
Puncaknya pada masa ini sastra melewati masa-masa kritisnya sebagai bentuk perlawanan dan oposisi lewat keberadaan karya sastra yang kian hari kian dibredel. Sebut saja beberapa tetralogi Pulau Buru dan kawan-kawan yang ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer yang sempat dibekukan hak ciptanya pada masa Orde Baru sehingga membaca tetralogi ini dianggap sebagai oposisi pemerintahan kala itu. Lantas, dalam masa perkembangannya, bagaimana sastra menghadirkan perlawanan itu? Apakah sastra dibungkus sebagai alat propaganda politik?
Perlawanan dikerahkan dalam berbagai bentuk tulisan dan bermediakan sajak-sajak ataupun narasi yang mengkritisi penguasa. Kekejaman rezim yang mengutuk kebebasan pers semakin menjadi cambuk kekuatan dalam diri sastrawan untuk terus menggiatkan suara dengan melantangkan teriakan dalam tulisan dan karya sastra. Namun, sayangnya, dengan berteriak di atas kertas, bukan tidak mungkin mereka juga dibungkam. Tidak sedikit dari mereka yang bersuara lewat tulisan dilabeli sebagai pengkhianat dan menjadi buronan penguasa. Wiji Thukul adalah salah satu sosok yang identik dengan perlawanan yang perjuangannya ditemani oleh sajak-sajak. Wiji Thukul adalah sastrawan yang aktif dalam perlawanan tulisan maupun lisan. Pria kelahiran Solo yang aktif menulis dan mengkritisi penguasa yang menurutnya otoriter. Tulisan dan sajak-sajak Wiji Thukul kemudian hari menjadi simbol perjuangan oleh penerusnya sehingga ia dijuluki sebagai sastrawan yang menggentarkan penguasa.
Aktivis dan juga sastrawan. Dua kata itu berhasil untuk menggambarkan sosok sederhana Widji Thukul yang tak kenal takut dalam menyuarakan kebenaran dan keadilan. Menjadi buronan rezim dan penguasa bukan lagi hal yang baru bagi Thukul. Berbagai upaya menegakkan keadilan ditekuni Thukul lewat lisan dan tulisan, orasinya membabi-buta, serta sajak-sajak perlawanannya hingga detik ini masih menjadi identitas dan napas panjang perjuangan.
Wiji Thukul lahir dan besar sebagai seorang yang berani dan teguh dalam berprinsi. Thukul merupakan aktivis HAM yang kerap kali menuai kontroversial di kalangan penguasa karna teriakan yang lantang, juga tulisan yang berapi-api perlawanan. Orasi kritik dan semangat perlawanan terhadap rezim Orde Baru dalam sajak-sajaknya dengan cepat dapat melebur dalam berbagai momen pergolakan dan aksi protes. Kritik Wiji Thukul dalam karya-karyanya umumnya ditujukan pada masalah sosial, politik, dan militerisme era Orde Baru. Perlawanan terhadap berbagai masalah sosial tampak dalam sajak Nyanyian Akar Rumput, Di Tanah Negeri Ini Milikmu Cuma Tanah Air, Kepada Ibuku, Jalan, Sajak Setumbu Nasi dan Sepiring Sayur, Tanah, Kampung, Jalan Slamet Riyadi Solo, dan masih banyak lainnya. Sedangkan kritik terhadap militerisme pemerintah dituangkan pada sajak Ceritakanlah Ini Kepada Siapa Pun, Tetangga Sebelahku, Sajak Suara, Tikus, Merontokan Pidato, Derita Sudah Naik Seleher, Rumput Ilalang, Harimau dan masih lainnya. Puisi Wiji Thukul tidak hanya mengekspresikan perasaanya semata, tidak hanya menyuarakan kesengsaraan rakyat bawah, namun juga membangkitkan api semangat dan perjuangan untuk mengakhiri ketidakadilan.
Menariknya, sebagai seorang penyair mahsyur, Wiji Thukul bukan lagi menulis puisi tentang protes, namun sosoknya telah menjadi simbol akan protes itu sendiri. Widji adalah simbol pemberontakan dan tuntutan keadilan. Setiap kata-kata dalam orasinya diusung bak nyawa yang memberi nafas dalam badan-badan perjuangan hingga hari ini, kata-kata dan syair Wiji Thukul masih setia membersamai berbagai macam tuntutan dan aksi kemanusiaan. Dengan gagah berani, Thukul selalu berada di garda terdepan mengumandangkan setiap kalimatnya yang menyetil singgasana penguasa. Thukul hidup dalam setiap lirik puisinya, sajak-sajaknya begitu bernyawa seakan diberi napas oleh pengarang. Salah satu puisinya yang amat fenomenal dan menjadi simbol perlawanan hingga hari ini adalah puisi berikut
Apa guna punya ilmu tinggi?
Kalau hanya untuk mengibuli
Apa gunanya banyak baca buku
Kalau mulut kau bungkam melulu
Di mana-mana moncong senjata
Berdiri gagah
Kongkalikong
Dengan kaum cukong
Di desa-desa
Rakyat dipaksa
Menjual tanah
Tapi, tapi, tapi, tapi
Dengan harga murah
Apa guna banyak baca buku
Kalau mulut kau bungkam melulu
Penguasa merasa terancam dengan kepiawaian Thukul juga gerak gerik yang mencurigakan dari aktivitasnya di panggung politik praktis, jaringan kesenian rakyat serta puisi-puisinya yang mengudara lewat segala bentuk perlawanan, Thukul kemudian ditetapkan sebagai tawanan Orba. Beberapa usaha telah digencarkan aparat dari 1996 hingga awal reformasi, Thukul layaknya tikus yang dicari-cari oleh kucing. Ia berpindah-pindah dari beberapa tempat persembunyian dari suatu kota ke kota yang lain.
Dalam masa-masa buronan serta pelarian, Thukul tetap menyempatkan diri untuk menulis segala bentuk tulisan yang berisi oposisi terhadap penguasa sehingga rekam jejak Thukul dapat diendus dengan mudah oleh aparat. Memang, tidak ada keterangan yang pasti tentang keberadaan Thukul di akhir pemerintahan Orba namun diduga kuat, Thukul telah diringkus oleh aparat dalam usaha pelariannya dan hingga saat ini tidak diketahui keberadaannya.
Mengulik sejarah bangsa ini sama dengan mengupas kembali jejak luka yang belum terobati. Rekam jejak mereka yang terimajinalkan masih mengaung di langit yang kita tatap. Episode demi episode telah ditayangkan dengan gencar dalam perjuangan sastra menapaki esensialnya. Sastra yang hari ini kita kenal sebagai bagian dari khazanah seni dan hiburan berupa bacaan ternyata telah melewati napak tilas perjalanan sebagai lambang dari perjuangan dan perpanjangan tangan demokrasi negara ini.
Sejatinya, sastra tidak bisa lepas dan jauh dari sejarah bangsa. Sastra mengudara, memercik api-api perjuangan di jiwa setiap yang merdeka, dan sastra adalah wujud nyata perlawanan bukan hanya diksi semata. Melalui sajak-sajak Wiji Thukul dan kawan-kawan yang dihilangkan paksa dari tragedi 1998, sastra terbukti sebagai bentuk perlawanan. Sejarah mencatat, sastra berhasil menjadi salah satu produk yang menyertai perjuangan lewat tulisan.
Discussion about this post