Oleh: Arina Isti’anah, S.Pd., M.Hum.
(Dosen Sastra Inggris, Universitas Sanata Dharma dan Mahasiswa Program Doktor Ilmu-Ilmu Humaniora, Universitas Gadjah Mada)
Istilah “perubahan iklim” (climate change) mungkin terdengar kurang familiar namun bukan berarti fenomena tersebut tidak dapat kita rasakan. Menurut Norton & Hulme (2019), perubahan iklim dapat diidentifikasi dari beberapa fenomena berikut: naiknya suhu bumi, meningkatnya curah hujan, berkurangnya sumber mata air, dan kemarau berkepanjangan. Jika bertanya pada orang-orang di sekitar kita, penggunaan istilah “perubahan iklim” mungkin tidak langsung kita dapatkan namun mereka akan menyebut beberapa fenomena terkait dengan perubahan iklim.
Pengalaman masyarakat sebagai bagian dari ekosistem yang berkaitan dengan perubahan iklim tidak selalu sama. Hal itu tergantung pada letak geografis tempat masyarakat berada. Sebagai contoh, penduduk Antartika menyebut fenomena mencairnya gletser, bukan kemarau panjang seperti yang dialami masyarakat Indonesia. Fenomena itu membuktikan bahwa bahasa atau tuturan masyarakat menunjukkan relasi dengan lingkungan fisik di sekitarnya.
Para ilmuwan mulai membicarakan fenomena perubahan iklim, baik dari ilmu eksakta maupun humaniora. Dalam kajian eksakta, beberapa peneliti telah membahas dampak perubahan iklim dan mitigasi serta upaya penanggulangannya, seperti permodelan pertanian untuk mengatasi berkurangnya hasil panen gabah karena kemarau berkepanjangan (Amien dkk, 1996), emisi gas rumah kaca untuk tanaman obat dan padi (Cahyaningsih dkk, 2021; Hasegawa & Matsuoka, 2013), dan penanaman mangrove untuk mempertahankan keseimbangan ekosistem (Arifianti, 2022).
Sebagai bagian dari ekosistem, kita hendaknya tidak menganggap perubahan iklim sebagai fenomena alam yang terjadi begitu saja. Adanya campur tangan manusia menyebabkan percepatan perubahan iklim. Perubahan tersebut akhirnya tidak hanya merugikan manusia, tetapi juga lingkungan serta generasi mendatang. Oleh sebab itu, kita patut berefleksi, perubahan iklim ini tanggung jawab siapa? Sebelum menemukan atau mencari jawaban atas pertanyaan tersebut, ada baiknya kita menilik sedikit bagaimana kita sebagai bentuk komunitas tutur, mengonseptualisasikan perubahan iklim melalui bahasa. Salah satu bentuk refleksi kognitif dan sosial bahasa yang merefleksikan kita sebagai suatu komunitas tutur adalah melalui media massa, tepatnya dalam tulisan ini merujuk pada media massa daring.
Tulisan ini mencoba untuk menelisik pola-pola kebahasaan pada media massa daring melalui situs korpus CQPweb. Situs linguistik korpus CQPweb merupakan sistem analisis berbasis korpus daring yang memungkinkan untuk mencari tahu pola-pola bahasa dari big data. Dalam bahasa Indonesia, kita bisa mencari bagaimana frasa ‘perubahan iklim’ berada dengan kata di sekelilingnya yang kemunculannya tidak bersifat kebetulan. Dalam istilah linguistik, pola itu disebut kolokasi. Kemunculannya dapat dibuktikan secara statistik.
CQPweb menyediakan korpus bahasa Indonesia yang bersumber dari big data. Korpus bahasa Indonesia itu berasal dari puluhan atau ratusan jenis teks. Contohnya penggunaan frasa ‘perubahan iklim’ yang kemunculannya dibuktikan secara empiris dalam media massa Indonesia berjumlah 21.492 per juta kata. Kemunculan frasa ‘perubahan iklim’ kemudian dicari kolokasinya dari kelas kata nomina untuk mengetahui agensi yang sering dilekatkan dengan fenomena “perubahan iklim” dalam media massa daring.
Dari hasil penelusuran korpus, nomina dengan frekuensi paling tinggi yang melekat pada frasa ‘perubahan iklim’ antara lain: Kelitbang (Ketua Badan Penelitian dan Pengembangan), DNPI (Dewan Nasional Perubahan Iklim), UNFCCC (United Nations of Convention on Climate Change), COP26 (Conference of Parties of United Nations Climate Change Conference in 2021), COP-15 (Conference of Parties of United Nations Climate Change Conference in 2009), COP (Conference of Parties by the United Nations), REDD (Reducing emissions from deforestation and forest degradation in developing countries), REDD+ (Reducing emissions from deforestation and forest degradation in developing countries and additional forest activities that protect the climate) dan WEF (World Economic Forum).
Contoh di atas menunjukkan beberapa agensi yang ditampilkan media massa sebagai pihak yang bertanggung jawab atas perubahan iklim. Pertama, perubahan iklim dianggap merupakan tanggung jawab DNPI dan Kelitbang. Pemberitaan mengenai tanggung jawab perubahan iklim oleh Dewan Nasional Perubahan Iklim menunjukkan bahwa pemerintah Indonesia, beserta penanggung jawabnya, memperhatikan isu perubahan iklim sebagai tanggung jawab sosial kepada masyarakat. Kedua, perubahan iklim didudukkan sebagai fenomena global yang merupakan tanggung jawab Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) atau United Nations, beserta konferensi dan pertemuan yang diadakan secara rutin, seperti muncul dalam nomina UNFCCC, COP-26, COP-15, dan COP. Ketiga, ‘perubahan iklim’ dianggap sebagai isu yang patut diperbincangkan bukan hanya dalam isu lingkungan hidup namun dalam Forum Ekonomi Dunia (WEF) yang mengusulkan kebijakan dan praktik ekonomi rendah karbon.
Secara ringkas, penelusuran piranti korpus menunjukkan bahwa media massa Indonesia melekatkan perubahan iklim dengan agensi pemerintah dan PBB sebagai pihak yang memiliki otoritas untuk mengatasi perubahan iklim. Keterlibatan masyarakat sebagai bagian dari ekosistem secara statistik tidak muncul sebagai kolokasi dari frasa ‘perubahan iklim’. Hal tersebut menunjukkan bahwa pemberitaan media massa yang melibatkan masyarakat dalam usaha mitigasi penanggulangan perubahan iklim tidak mendapatkan perhatian khusus.
Perubahan iklim didudukkan sebagai fenomena global dan penanggulangannya masih dibebankan kepada pemerintah serta PBB. Keterlibatan masyarakat dalam hal pengalaman, mitigasi, dan penanggulangan belum disorot oleh media massa. Hal itu bukan tanpa alasan. Bahasa, sebagai piranti kognitif yang menyimpan pengalaman, memori, dan pengetahuan, merefleksikan bagaimana masyarakat menangkap suatu fenomena alam atau sosial. Hasil penelusuran data di atas menunjukkan perubahan iklim belum ditangkap sebagai fenomena darurat yang patut mendapatkan perhatian dan perlakuan nyata untuk ditanggulangi oleh masyarakat.
Pembebanan mitigasi perubahan iklim kepada pihak yang memiliki otoritas, yakni pemerintah dan PBB, mencerminkan bahwa perubahan iklim bukanlah suatu fenomena yang perlu untuk segera diatasi. Namun, benarkah demikian?
Sebagai bagian dari ekosistem, kita hendaknya mulai menyadari tanggung jawab terhadap perubahan iklim yang dapat dirasakan sehari-hari, seperti meningkatnya suhu bumi, penurunan adaptasi tanaman, dan ketidakpastian masa panen. Tentunya kita tidak bisa menanggulangi perubahan iklim dengan instan, tetapi sebagai makhluk sosial kita dapat mempromosikan pengetahuan dan perilaku yang ramah lingkungan melalui kebiasaan sehari-hari, pendidikan, bahkan melalui praktik-praktik berbasis budaya.
Bahasa sebagai properti yang hanya dimiliki manusia memiliki peran dalam membentuk perspektif dan perilaku kita terhadap lingkungan (Stibbe, 2015). Sebagai sarana komunikasi yang menyebarkan informasi dan membentuk persepktif masyarakat, media massa memegang peranan penting dalam mengonstruksi pengetahuan pembaca tentang isu perubahan iklim. Jika selama ini perubahan iklim selalu dilekatkan dengan agensi otoritatif sebagai pihak yang bertanggung jawab atas penanggulangannya, untuk selanjutnya media massa dapat mengangkat cerita atau pengalaman masyarakat terkait dengan perubahan iklim yang mereka alami.
Sebagai contoh, pengalaman nelayan atau petani terkait masa panen yang mungkin tidak sesuai dengan prediksi yang disebabkan oleh perubahan iklim. Hal tersebut akan menggugah pembaca untuk berefleksi tentang fenomena perubahan iklim. Seperti dikemukakan pada awal tulisan ini, pengalaman masyarakat terhadap perubahan iklim akan berbeda-beda tergantung letak geografis tempat tinggal mereka. Dengan demikian, pemberitaan media massa terkait dengan ciri-ciri perubahan iklim yang lekat dengan kehidupan sehari-hari pada akhirnya akan memberikan perubahan dari agensi otoritatif menjadi agensi sosial/komunal sebagai pihak yang ikut bertanggung jawab atas perubahan iklim.
Discussion about this post