Padang, Scientia.id – Beberapa minggu belakangan, jagat media sosial di Ranah Minang riuh oleh fenomena para kreator konten “lokal”. Bukan berita baik, namun kabar miris. Saya pun penasaran, ada apa gerangan. Oh, ternyata tentang para konten kreator Minang yang suka bacaruik. Bacaruik (berkata kasar dalam bahasa Minang) menjadi trending atau fyp (for your page) di TikTok.
Setelah saya selisik dan tonton, ternyata cukup mengejutkan. Para konten kreator baik laki-laki atau perempuan, terlihat dengan sengaja bacaruik di akun media sosial miliknya. Kata umpatan, makian bahkan menyebutkan alat kelamin (laki-laki dan perempuan) pun dengan lancar diucapkan. Bukan sekali atau dua kali terjadi. Sering dan berulang kali. Khususnya saat live TikTok “duel” antar-influencer.
Kata-kata caruik yang biasa tabu diucapkan di depan khalayak, kini dengan enteng diucapkan terang-terangan di ruang digital. Tak ada rasa takut, malu atau penyesalan. Ribuan pasang mata melihat dan mendengar. Tujuannya satu, “katanya” untuk menjatuhkan mental lawan agar menang dalam “duel”. Dengan harapan, penonton memberikan gift atau koin yang bisa ditukar dengan uang nantinya.
Semakin lama, fenomena ini makin menjadi-jadi. Pelakunya pun makin banyak dan beragam usia. Ada yang terlihat sudah tua, tapi banyak juga anak muda. Mereka tanpa sungkan dan rasa bersalah bacaruik-caruik di medsos. Apa mereka tidak berpikir, kalau konten mereka ditonton oleh orang tua, ayah, ibu, kakek, nenek, mamak (paman), etek (bibi), keponakan atau anak cucunya?.
Hal ini pun akhirnya menimbulkan kegelisahan di masyarakat. Para orang tua, niniak mamak, bundo kanduang, tokoh adat dan agama, politisi dan sesama konten kreator pun mulai bersuara. Mereka menilai aksi bacaruik-caruik di ruang publik digital sudah bukan lagi cuma gaya-gayaan, tapi lebih dari itu. Seperti inikah wajah generasi Minangkabau saat ini?
Minangkabau yang sejak lama memegang teguh prinsip adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah seakan kehilangan kompas ketika para konten kreator Minang justru menjadikan caruik dan makian sebagai tontonan yang mendatangkan cuan.
Kenapa Memilih Bacaruik?
Mungkin banyak yang bertanya mengapa harus memilih caruik? Padahal ada banyak diksi atau pilihan kata yang lebih baik. Jawabannya mungkin, mudah diingat dan mudah diucapkan. Namun berdasarkan beberapa referensi yang saya baca, fenomena caruik di ruang publik digital (medsos) ini disebabkan beberapa hal yakni:
- Ekonomi Digital
Mungkin sudah banyak yang tahu soal gift di medsos. Di TikTok, gift yang dikirim adalah uang, bisa dicairkan. Biasanya penonton akan memberikan gift tersebut saat konten kreator melakukan live alias siaran langsung di akun medsos miliknya.
Siaran langsung ini beragam pula aktivitasnya. Ada yang main game. Ada yang memasak. Ada yang bernyanyi atau kegiatan lainnya. Namun yang seru, saat live “duel”. Duel antar influencer sengaja dirancang menciptakan atmosfer kompetisi yang panas dan penuh provokasi. Kata-kata kasar ternyata menjadi senjata andalan diyakini mampu mendongkrak jumlah penonton. Singkatnya, bacaruik adalah “strategi marketing” untuk meraih cuan instan.
- Krisis Identitas dan Ekspresi Diri.
Tidak hanya di daerah-daerah lain. Generasi muda dan konten kreator “berumur” Minang juga mencari cara menegaskan eksistensi diri. Media sosial pun menjadi panggung utamanya. Mereka meluapkan segala hal yang selama ini mereka pendam dengan dalih kreativitas. Sayangnya, mereka memilih jalan yang agak “lain”.
Alih-alih membuat konten yang mendidik atau mengedukasi, mereka sebaliknya. Alasannya membuat konten yang baik itu sulit. Butuh effort yang besar. Sedangkan konten bacaruik-caruik cuma modal keberanian plus “buang sedikit” rasa malu. Mereka juga menilai kreativitas tulus akan kalah saing dengan tren global.
Inilah awal mula dari sebagian mereka memilih jalan pintas: menjadi kontroversial. Ucapan kotor, meski negatif, menjanjikan sorotan instan. Bagi mereka, lebih baik dicerca tapi terkenal daripada tenggelam tak dikenali.
- Lemahnya Literasi Digital
Mungkin tak banyak dari mereka para influencer atau seleb TikTok yang menyadari. Bahwa, konten-konten caruik yang mereka buat akan menjadi bumerang nantinya. Mereka tak sadar kalau jejak digital itu abadi. Meski konten di dalam akun sudah dihapus namun yang sudah tersebar bagaimana “menghanguskannya”.
Minimnya pemahaman ini membuat mereka abai pada risiko jangka panjang—mulai dari reputasi, peluang karier, hingga ancaman jerat hukum yang nyata.
- Pengaruh Lingkungan dan Budaya Pop
Fenomena bacaruik-caruik di media sosial tentu ada asal mulanya. Bisa jadi, konten kreator meniru idolanya. Selebritas atau influencer yang lebih dulu terkenal dengan gaya komunikasi kasar dan ceplas-ceplos.
Sehingga mereka beranggapan, Bacaruik dianggap sebagai simbol “kekerenan” dan keberanian. Ditambah pengaruh pergaulan dunia maya, perilaku ini makin dianggap wajar karena sering muncul dan menjadi trending (popular).
Tidak Hanya Merusak Budaya, Tapi Juga Melanggar Hukum
Ini harus diberi tahu, ucapan kotor, hinaan, dan ujaran kebencian yang dilontarkan saat siaran langsung dapat dikategorikan sebagai perbuatan yang melanggar hukum. Yang dilanggar Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Ada pun pasal yang paling sering dikenakan adalah Pasal 27 Ayat (3) UU ITE. Isinya, “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik”. Ancaman hukumannya penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp750 juta.
Selain itu, jika ucapan tersebut mengandung ancaman kekerasan atau menyerang kelompok tertentu, dapat dijerat pasal 29 UU ITE tentang ujaran kebencian, dengan ancaman pidana yang lebih berat. Inilah yang disebut sebagai bumerang tadi. Jika ada yang merasa tersinggung dengan ucapan caruik tadi bisa melaporkan pelakunya dengan pasal ini.
Ini membuktikan bahwa dunia digital bukanlah ruang hampa hukum. Apa yang dianggap sebagai “strategi konten” bisa berbalik menjadi petaka bagi pelakunya.
Bacaruik-caruik di media sosial tak bisa dibiarkan. Jika dibiarkan ia akan menjadi kebiasaan. Dan bila kebiasaan dibiarkan ia akan menjadi budaya. Tentu, kita tidak mau budaya Minang nantinya adalah pacaruik. Kita harus menyadari jika kita membiarkan atau menormalisasi konten-konten caruik ini, maka standar kesopanan anak-anak dan remaja Minang akan semakin terkikis.
Masyarakat Minang dikenal menjunjung tinggi sopan santun, dengan pepatah petitih yang penuh kelembutan berbahasa. Aksi bacaruik di ruang digital jelas bertolak belakang dengan martabat budaya itu. Jika terus dibiarkan, wajah generasi muda Minang di mata dunia akan terdistorsi menjadi kasar dan emosional.
Selain itu, kata-kata kotor dalam duel live sering kali merembet menjadi hinaan terhadap keluarga, latar belakang, bahkan suku tertentu. Potensi konflik horizontal di dunia nyata harus diwaspadai.
Lalu, Apa yang Bisa Kita Lakukan?
Masalah ini harus mulai kita selesaikan Bersama. Jangan sampai generasi muda Ranah Minang dikenal sebagai generasi pacaruik oleh daerah lain. Butuh Langkah kolektif dari semua pihak.
Dari lingkungan keluarga, orang tua harus mulai mengontrol dan mendampingi apa yang lakukan anak-anaknya. Jika sedari dini orang tua mengingatkan, mengawasi dan memberikan masukan serta nasihat kepada anak-anaknya, hal ini bisa dicegah sedini mungkin.
Orang tua perlu aktif memahami dunia digital anak, mendampingi, dan menanamkan kesadaran bahwa popularitas instan tak sebanding dengan harga diri dan martabat keluarga. Sedangkan untuk konten kreator yang sudah dibilang “berumur” harusnya sadar bahwa apa yang mereka lakukan tak layak untuk diikuti dan dilakukan.
Tokoh adat dan agama juga harus mengambil peran. Kekuatan adat dan agama di Minangkabau sangat besar. Dua pilar ini harus dihidupkan kembali sebagai benteng moral. Mereka bisa ambil bagian lewat dakwah digital, konten alternatif yang menyejukkan, dan pengingat bahwa kato nan ampek adalah cermin jati diri.
Keterlibatan pemerintah dan lembaga pendidikan juga sangat perlu. Literasi digital harus diintegrasikan lebih intensif dalam kurikulum dan program pembinaan pemuda. Pemerintah daerah, sekolah, dan komunitas bisa menggagas pelatihan kreatif: bagaimana membuat konten menarik tanpa perlu bacaruik.
Pemerintah dan sekolah juga bisa terus mensosialisasikan dampak yang akan ditimbulkan dari konten-konten caruik tersebut.
Dan yang juga tak kalah penting adalah tanggung jawab Platform Digital itu sendiri. TikTok dan media sosial lainnya tidak boleh berdiam diri. Mereka memiliki algoritma dan kebijakan untuk membatasi konten toksik dan caruik ini. Jika bacaruik bisa viral, maka konten positif juga harus didorong agar sama menariknya dengan dukungan fitur dan promosi dari platform. Atau platform membuat kebijakan algoritma yang tegas, jika ada konten kreator yang bacaruik langsung dibanned.
Pada ujungnya, bacaruik di media sosial hanyalah gejala dari masalah yang lebih dalam: krisis ekspresi dan pencarian identitas generasi muda di tengah gempuran era digital. Kita bisa memilih tutup mata, membiarkan kata-kata kotor menjadi citra baru pemuda Minang, atau bergerak bersama mengembalikan marwah budaya Ranah Minang.
Baca Juga: Islamisasi Versus Deislamisasi Bahasa
Karena pada hakikatnya, setiap kata adalah martabat. Minangkabau yang dihargai karena kelembutan tutur dan falsafah hidupnya, tentu tak pantas direduksi menjadi teriakan makian di layar ponsel. Dunia digital bukanlah alasan untuk melepas kesopanan. Sebab, dalam setiap kata yang kita ucapkan, di situlah harga diri dan jati diri kita dipertaruhkan.
Penulis