Oleh: Nani Kusrini
(Jurusan Pendidikan Bahasa Prancis Universitas Lampung)
Komunikasi merupakan proses dinamis untuk menyampaikan dan menerima pesan antara dua pihak atau lebih. Efektivitas peristiwa berbahasa ini tidak hanya ditentukan oleh keberhasilan penyampaian pesan, tetapi juga oleh faktor kontekstual dan sosial. Interaksi verbal ini pada kenyataannya bersifat kompleks. Dell Hymes (1972) secara komprehensif mengelaborasi kompleksitas ini melalui model SPEAKING, sebuah kerangka kerja untuk menganalisis peristiwa tutur dalam sosiolinguistik. Secara ringkas, akronim ini menunjukkan bahwa cara seseorang mengekrepsikan dirinya berbeda-beda yang dipengaruhi oleh orang (audiens) yang diajak berbicara, dimana, tentang apa, melalui modalitas apa, dan sebagainya. Faktor-faktor ini selanjutnya berimplikasi pada pilihan variasi bahasa yang digunakan.
Salah satu dimensi terpenting dari variasi linguistik ini adalah keformalan yang sering pula disebut register atau gaya (style). Keformalan umumnya diartikan sebagai tingkat kesesuaian penggunaan bahasa dengan norma-norma sosial yang berlaku dalam suatu situasi komunikasi. Penutur bahasa Indonesia misalnya, mampu membedakan suatu tuturan formal atau tidak secara intuitif. Namun, konsep keformalan tidak sesederhana yang dibayangkan karena dipengaruhi oleh banyak parameter.
Sebagian besar bahasa formal dicirikan oleh perhatian khusus pada suatu struktur atau bentuk tuturan. Keformalan juga didefinisikan sebagai penggunaan bahasa yang bersifat presisi, menghindari ambiguitas (ambiguity) dan ketidakjelasan (fuzziness), bersifat terpisah (detached) atau kurang tergantung pada konteks (less context-dependent), tidak bersifat pribadi (impersonal), objektif, dan eksplisit (Heylighen & Dewaele, 1999). Selain cenderung kaku, bahasa formal juga menuntut pemrosesan informasi yang lebih kompleks (cognitive load). Hal ini berbeda dengan ragam informal yang memiliki bentuk lebih ringan, fleksibel, langsung, lebih subjektif, kurang akurat, dan kurang informatif. Martin Joos (1976), dalam bukunya the Five Clocks menjelaskan bahwa gaya bahasa formal umumnya digunakan dalam situasi komunikasi yang cenderung satu arah dan latar belakang pemahaman bersama (shared knowledge) yang terbatas antara penutur dan audiens. Contoh penggunaan bahasa formal dapat ditemukan pada upacara kenegaraan, rapat, pidato, surat resmi, teks hukum, atau karya ilmiah.
Keformalan dipengaruhi oleh faktor situasional dan norma sosial sehingga bentuknya bervariasi antarbahasa, sesuai dengan konvensi yang berlaku. Perbedaan tersebut dapat dilihat misalnya saat berpidato. Dalam masyarakat Indonesia, pembukaan pidato atau rapat cenderung lebih panjang karena selain digunakan untuk membangun koneksi dengan audiens, pembukaan pidato ini juga berfungsi sebagai bentuk kesopanan dan rasa hormat. Sebaliknya, pada masyarakat Prancis, pembukaan pidato lebih singkat dan langsung menuju inti pembahasan. Dalam hal ini, kejelasan, argumentasi, dan efektivitas komunikasi lebih diutamakan.
Penjelasan di atas menunjukkan bahwa pengertian atau penciri keformalan tidak selalu merujuk pada konteks sosial semata tetapi juga dapat dilihat dari unsur-unsur kebahasaan. Tingkat keformalan dapat dilihat antara lain melalui penggunaan kontraksi (singkatan), kosakata slang, struktur sintaksis yang sederhana, atau adjektiva tertentu. Beberapa berusaha mengkuantifikasi keformalan dengan merujuk pada proporsi keeksplisitan bahasa, densitas leksikal, rasio antara jumlah nomina dan verba, nomina dan pronominal dan lain-lain. Salah satu metode pengukuran keformalan yang paling terkenal adalah F-score dari Heylighen dan Dewaele (1999), yang didasarkan pada frekuensi kelas kata. Kelas kata yang bersifat deiksis seperti pronomina, kalimat eksklamatif, interjeksi, konjungsi, verba, dan adverbia umumnya terkait dengan ketidakformalan. Sebaliknya, nomina, frase preposisional, adjektiva, artikula, kalimat panjang, serta kosakata yang sulit dan luas cenderung menumjukkan keformalan.
Kategori leksikal merupakan penciri keformalan yang paling sering dijumpai misalnya kata uang dan menyampaikan yang merupakan bentuk formal dari duit dan bilang dalam bahasa Indonesia. Dalam bahasa Prancis kosakata yang menunjukkan keformalan antara lain pronomina vous (Anda) yang merupakan bentuk formal dari tu (kamu), verba souhaiter atau désirer (formal) dibandingkan vouloir (kurang formal), atau kata sapaan bonjour (formal) dan salut (kurang formal). Dari sisi sintaksis, bahasa formal umumnya dicirikan dengan struktur kalimat yang lebih panjang dan kompleks. Contohnya frase formal dalam bahasa Indonesia seperti “Dalam rangka meningkatkan efisiensi operasional […]” dapat digantikan dengan “Biar efisien, […] untuk konteks informal. Dalam bahasa Prancis, selain struktur yang lebih panjang, beberapa pola konstruksi kalimat tertentu lebih sering dijumpai dalam komunikasi formal antara lain penambahan adverbia qu’est-ce que dalam kalimat tanya, penggunaan inversi atau membalikkan urutan susunan kalimat misal “Peux-tu m’aider?” yang lebih formal dibandingkan “Tu peux m’aider?” serta penggunaan modus conditionnel misalnya vous pourriez (formal) untuk vous pouvez (kurang formal).
Selain unsur leksikal dan sintaksis, tingkat keformalan juga bisa tercermin dari aspek fonologis. Untuk menghindari ambiguitas, pelafalan dalam situasi formal tidak secepat ketika berbicara dengan teman. Terdapat perhatian yang lebih pada produksi bunyi dalam bentuk kata dan kalimat. Pengubahan modulasi suara juga dapat mempengaruhi ujaran secara keseluruhan. Dalam ragam formal, intonasi cenderung datar karena tidak memuat unsur emotif. Di samping itu, pelafalan dibuat sedekat mungkin sesuai dengan standar bahasa tersebut. Hesitasi (keragu-raguan) jarang dijumpai dalam komunikasi komunikasi formal dibandingkan dalam percakapan informal. Selain perhatian pada unsur fonologis tersebut, bahasa Prancis juga memiliki beberapa ciri fonologis yang lebih sering digunakan dalam komunikasi formal yaitu liaison fakultatif dan schwa.
Setiap bahasa memiliki sistem bunyi masing-masing. Oleh karena itu, karakteristik bunyi segmental atau prosodi pun bervariasi. Bahasa Prancis yang merupakan rumpun bahasa Roman menekankan harmonisasi bunyi dalam pelafalannya. Empat sampai lima kata dapat dilafalkan terhubung sehingga terdengar seperti satu sehingga terkadang membuat batas diantaranya sulit untuk diidentifikasi. Dalam bahasa yang termasuk salah satu bahasa resmi dalam banyak organisasi dan perayaan internasional ini, salah satu fenomena yang menonjol adalah liaison. Istilah ini didefinisikan sebagai pelafalan konsonan senyap (silent consonant) pada akhir suatu kata ketika dihubungkan dengan kata berikutnya yang berawalan vokal. Meskipun menjadi bagian dari komunikasi lisan dari penutur aslinya, tidak semua urutan kata dapat disambung dengan liaison. Ada yang wajib disambung (liaison obligatoire), opsional (liaison facultative), dan terlarang (liaison interdite). Menariknya, liaison fakultatif yang dicirikan dengan urutan kata dengan kategori tertentu seperti verba + nomina/preposisi (contohnya: il est‿italien, j’habite‿à Lampung, c’est‿un acteur), nomina jamak + adjektiva (les étudiants‿arabes), atau preposisi/adverbia polisilabel + kata yang mengikuti (simplement‿et brievement, pendant‿un an) lebih banyak dijumpai dalam konteks formal.
Pelafalan schwa /ə/ khususnya pada akhir kosakata bahasa Prancis juga cenderung lebih sering dijumpai dalam komunikasi formal. Dalam percakapan sehari-hari yang identik dengan tempo yang lebih cepat, schwa seringkali tidak dilafalkan. Sebaliknya pada komunikasi formal seperti pidato atau pembacaan puisi, vokal yang diproduksi di tengah rongga mulut ini cenderung lebih sering digunakan misalnya pada kata maintenant, parle atau je.
Pada akhirnya, bahasa tidak hanya sekedar untuk menyampaikan informasi, tetapi juga cerminan dari konteks sosial dan hubungan antarindividu. Keformalan yang bersifat multidimensional juga termanifestasi dalam dimensi fonologis yang menawarkan perspektif unik tentang variasi bahasa. Kemampuan penutur untuk beradaptasi dan memilih register yang tepat menjadi esensial untuk mencapai komunikasi yang efektif.