Senin, 14/7/25 | 06:02 WIB
  • Dapur Redaksi
  • Disclaimer
  • Pedoman Pemberitaan Media Siber
  • Tentang Kami
Scientia Indonesia
  • TERAS
  • EKONOMI
  • HUKUM
  • POLITIK
  • DAERAH
  • EDUKASI
  • DESTINASI
  • LITERASI
    • ARTIKEL
    • CERPEN
    • KLINIK BAHASA
    • KREATIKA
    • PUISI
  • RENYAH
  • TIPS
No Result
View All Result
  • TERAS
  • EKONOMI
  • HUKUM
  • POLITIK
  • DAERAH
  • EDUKASI
  • DESTINASI
  • LITERASI
    • ARTIKEL
    • CERPEN
    • KLINIK BAHASA
    • KREATIKA
    • PUISI
  • RENYAH
  • TIPS
No Result
View All Result
Scientia Indonesia
No Result
View All Result
  • TERAS
  • EKONOMI
  • HUKUM
  • POLITIK
  • DAERAH
  • EDUKASI
  • DESTINASI
  • LITERASI
  • RENYAH
  • TIPS
Home LITERASI KLINIK BAHASA

Hegemoni Deiksis “We” dalam Perspektif Analisis Wacana Kritis

Minggu, 13/7/25 | 22:55 WIB
Oleh: Elly Delfia (Dosen Prodi Sastra Indonesia dan S2 Linguistik FIB Universitas Andalas)

Kali ini, mari kita membaca ulasan yang sederhana tentang hegemoni dalam perspektif analisis wacana kritis. Dalam Kamus Merriam-Webster hegemoni didefinisikan sebagai influence or authority over others: domination atau pengaruh/otoritas atas orang lain, seperti pengaruh sosial, budaya, ideologi, atau ekonomi yang diberikan oleh kelompok dominan. Artikel berjudul “The Hegemony of Inclusion:A Corpus-Based Critical Discourse Analysis of Deixis in Education Policy” yang ditulis oleh Mulderrig pada tahun 2012 dari School of English Literature, Language and Linguistics, University of Sheffield, United Kingdom. Artikel tersebut menggunakan korpus analisis wacana kritis dengan teori ekonomi politik untuk menafsirkan data dan konteks historis untuk mendalami hubungan pendidikan, negara, dan ekonomi.

Metode linguistik korpus digabungkan dengan analisis wacana kritis Fairclough (2003, 2006). Hal itu memperlihatkan semantik lebih fleksibel dari deiksis persona (kata ganti orang) yang dieksploitasi dengan sangat sistematis untuk mengklaim konsensus yang diperdebatkan secara politik. Artikel yang dimuat Discourse & Society Journal tersebut menyajikan analisis historis kritis terhadap wacana kebijakan pendidikan di Inggris dari tahun 1972 hingga selanjutnya. Dalam artikel tersebut dijelaskan bahwa kata ganti we merupakan alat retorika penting pada masa Partai Buruh Baru (New Labour) sebagai bentuk hegemoni untuk melegitimasi kebijakan melalui gagasan ‘konsensus’ neoliberal tentang konteks pendidikan. Pada saat yang sama, orang-orang juga mengartikulasikan ‘politik inklusi’. Jadi,topik kata ganti sering menjadi pembahasan dalam laman klinik bahasa, tetapi kali ini kata ganti “we” menjadi pembahasan yang mendalam seperti tema artikel Mulderrig di atas. Deiksis atau kata ganti “we” merupakan printilan kecil-kecil dari bahasa yang berkontribusi besar dalam melegitimasi kekuasaan, dominasi, dan hegemoni.

Dalam perdebatan politik dan kekuasaan, pemerintah merepresentasikan dirinya, Keputusan, kebijakan, dan hubungannya dengan pemangku kepentingan lain dengan kata ganti “we”. Hal paling fundamental dari AWK adalah segala hal berdasarkan sifat wacana sosial dan melihat bahasa sebagai semiotika sosial (Halliday, 1978).  Artinya, teks-teks kebijakan tidak hadir dalam ruang hampa sosial, tetapi memiliki kompleksitas, perubahan historis, dan saling berkaitan secara konstitutif dengan konteks sosial.

Kata ganti we secara referensial kompleks; maknanya tidak dapat dipulihkan tanpa mengacu pada konteks pembicaraan (Levinson, 1983). Secara signifikan, teks kebijakan terbuka luas untuk direkontekstualisasi (Fairclough dan Wodak, 2008) dan ‘dikemas ulang’ untuk beragam audiens, membuat pengambilan kembali makna yang bergantung pada konteksnya. Kata ganti kepemilikan kelas tertutup ekspresi deiktik, seperti I, you, here, yesterday tidak dikodekan secara intrinsik maknanya, tetapi bergantung pada konteks ucapan. Dalam konteks tatap muka, titik tumpu dari ekspresi deiktik adalah posisi pembicara dan hanya dapat berhasil diinterpretasikan dengan mengacu pada posisi tersebut (O’Keefe et al., 2011).  Titik tumpu dalam deiksis dikenal sebagai ‘pusat deiktik’ atau ‘origo’ (Bühler, 1934 & 1982).

BACAJUGA

Struktur Kalimat Peraturan Perundang-undangan

Syarat Sebuah Paragraf yang Ideal

Minggu, 22/6/25 | 20:22 WIB
Struktur Kalimat Peraturan Perundang-undangan

Struktur Kalimat Peraturan Perundang-undangan

Minggu, 25/5/25 | 17:21 WIB

Secara tradisional, model deiksis, pembicara atau penulis terletak di pusat deiktik dan makna ditafsirkan dalam kaitannya dengan titik referensi. Oleh karena itu, segi tiga utama dimensi semantik deiksis ditandai oleh pembicara/penulis (orang), waktu pengucapan (waktu), dan lokasi pembicara di tempat pengucapan (jarak). Contoh prototipe dari masing-masing dimensi adalah kata ganti orang (I, you), demonstratif (ini, itu) dan keterangan waktu atau tempat (sekarang, di sini, dan di sana).

Sistem deiksis menciptakan perbedaan mendasar dalam teks: self versus the others dan near versus far (baik secara temporal dan spasial). Entitas yang demikian dapat diidentifikasi sebagai ‘proksimal’ atau ‘distal’ dalam kaitannya dengan origo (misalnya I adalah proksimal dan you adalah distal). Dalam kasus inklusif we, pembicara dan penerima terikat bersama, bersama-sama berlabuh ke pusat deiktik. Ikatan tata bahasa ini menjelaskan mengapa inklusif we digunakan untuk membangun solidaritas dan ikatan sosial dengan menciptakan makna bahwa orang-orang berada ‘dalam sebuah kelompok’ yang jelas.

Ekslusif we memiliki efek sebaliknya dan tidak termasuk penerima dari pusat deiktik. Bentuk inklusif digunakan dalam teks kebijakan sebagai ‘we publik’. We mendapat tempat dalam dunia wacana pembuatan kebijakan dan ruang akuntabilitasnya. Contohnya permintaan maaf tertulis Salman Rusdi atas kesusahan yang disebabkan olehnya. ‘Satanic Verses’ dikeluarkan setelah fatwa Iran tentangnya diucapkan: ‘hidup sebagai yang kita lakukan di dunia dengan begitu banyak kepercayaan.’ Pengalaman ini berfungsi untuk mengingatkan bahwa manusia harus sadar akan kepekaan manusia lain. Jika kita ingin menafsirkan we secara eksklusif, tanggung jawab atas proposisi tersebut dipersempit ke Salman Rusdi, tetapi melebar ke fatwa jika itu inklusif.

Perbedaan signifikan dari deiksis “we” opsi eksklusif dan inklusif adalah we ekslusif lebih banyak minta maaf dan yang inklusif lebih banyak menuduh. Distribusi fungsional dari “we”, inklusif we dan ekslusif we: tata kelola lindung nilai, lindung nilai, ambivalen we dan keharusan kebijakan, ketidakjelasan strategis, dan urutan tekstual “we”. Strategi inklusi dianggap selaras dengan politik. Konsep inklusi adalah kunci untuk mengembangkan ‘Neoliberalisme dengan hati’, kapitalisme pasar bebas yang kompetitif secara global yang tidak ditantang secara serius, tetapi dimitigasi melalui kebijakan sosial yang sangat fokus pada pendidikan dan perolehan keterampilan untuk ‘kelayakan kerja’ dalam pengetahuan ekonomi yang cepat berubah. Fenomena penggunaan kata ganti “we” dengan makna “kami/kita” mengacu pada beberapa negara maju liberal dalam beberapa dekade terakhir di mana aktivasi individu, otonomi, partisipasi, dan tanggung jawab (terhadap diri sendiri dan orang lain) menjadi sentral kesejahteraan sosial ekonomi. Demikian peran hegemoni dieksis “we” dalam wacana kebijakan Pendidikan di Inggris dan dapat menginspirasi bagi penyusunan wacana kebijakan di Indonesia.

Tags: #Elly Delfia
ShareTweetShareSend
Berita Sebelum

Perayaan HUT Koperasi ke-78 di Bukittinggi, Bung Hatta Kembali Jadi Inspirasi

Berita Terkait

Serba-serbi Kritik Sosial Habis Lebaran

Perempuan Indonesia Tidak Mengenal Mekap

Minggu, 06/7/25 | 10:35 WIB

Oleh: Dr. Ria Febrina, S.S., M.Hum. (Dosen Prodi Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas) Layakkah ini dijadikan kesimpulan? Perempuan...

Perbedaan Kata “kepada”, “untuk”, dan “bagi”

Persoalan Kata Hidup dan Mati

Minggu, 29/6/25 | 08:02 WIB

Oleh: Reno Wulan Sari (Dosen Tamu di Busan University of Foreign Studies) Kata hidup dan mati termasuk dua kata yang...

Struktur Kalimat Peraturan Perundang-undangan

Syarat Sebuah Paragraf yang Ideal

Minggu, 22/6/25 | 20:22 WIB

Oleh: Elly Delfia (Dosen Prodi Sastra Indonesia dan S2 Linguistik FIB Universitas Andalas) Mengenal syarat paragraf yang ideal dalam membuat...

Serba-serbi Kritik Sosial Habis Lebaran

Dialek-dialek Bahasa Minangkabau yang (akan) Mulai Hilang

Minggu, 08/6/25 | 07:19 WIB

Oleh: Dr. Ria Febrina, S.S., M.Hum. (Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas) Selasa lalu (3 Mei 2025) mahasiswa Sastra Indonesia...

Perbedaan Kata “kepada”, “untuk”, dan “bagi”

Perbedaan Kata “Agak”, “Sedikit”, “Cukup”, dan “Lumayan”

Minggu, 01/6/25 | 11:00 WIB

Oleh: Reno Wulan Sari (Dosen Tamu Busan University of Foreign Studies, Korea Selatan) Edisi Klinik Bahasa Scientia kali ini akan...

Struktur Kalimat Peraturan Perundang-undangan

Struktur Kalimat Peraturan Perundang-undangan

Minggu, 25/5/25 | 17:21 WIB

Oleh: Elly Delfia (Dosen Prodi Sastra Indonesia dan S2 Linguistik Universitas Andalas) Kali ini kita akan membahas tentang bahasa hukum,...

POPULER

  • Afrina Hanum

    Sumbang 12 untuk Puti Bungsu Minangkabau

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Efisiensi di Negeri Petro Dolar: Jalan Penuh Lubang, Jembatan Reyot Vs Mobil Dinas Baru yang Lukai Rasa Keadilan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • 100 Hari Kerja Wali Kota Padang Capai Kepuasan 80 Persen

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Forum Mahasiswa Dharmasraya Soroti Konflik Perusahaan dengan Masyarakat, Desak Bupati Bertindak Tegas

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Penggunaan Kata Ganti Engkau, Kau, Dia, dan Ia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Pesan Moral dalam Cerpen “Robohnya Surau Kami”

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Psikologi Kekuasaan dalam Cerpen “Seekor Beras dan Sebutir Anjing”

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
Scientia Indonesia

PT. SCIENTIA INSAN CITA INDONESIA 2024

Navigate Site

  • Dapur Redaksi
  • Disclaimer
  • Pedoman Pemberitaan Media Siber
  • Tentang Kami

Follow Us

No Result
View All Result
  • TERAS
  • EKONOMI
  • HUKUM
  • POLITIK
  • DAERAH
  • EDUKASI
  • DESTINASI
  • LITERASI
    • ARTIKEL
    • CERPEN
    • KLINIK BAHASA
    • KREATIKA
    • PUISI
  • RENYAH
  • TIPS

PT. SCIENTIA INSAN CITA INDONESIA 2024