
Kali ini, mari kita membaca ulasan yang sederhana tentang hegemoni dalam perspektif analisis wacana kritis. Dalam Kamus Merriam-Webster hegemoni didefinisikan sebagai influence or authority over others: domination atau pengaruh/otoritas atas orang lain, seperti pengaruh sosial, budaya, ideologi, atau ekonomi yang diberikan oleh kelompok dominan. Artikel berjudul “The Hegemony of Inclusion:A Corpus-Based Critical Discourse Analysis of Deixis in Education Policy” yang ditulis oleh Mulderrig pada tahun 2012 dari School of English Literature, Language and Linguistics, University of Sheffield, United Kingdom. Artikel tersebut menggunakan korpus analisis wacana kritis dengan teori ekonomi politik untuk menafsirkan data dan konteks historis untuk mendalami hubungan pendidikan, negara, dan ekonomi.
Metode linguistik korpus digabungkan dengan analisis wacana kritis Fairclough (2003, 2006). Hal itu memperlihatkan semantik lebih fleksibel dari deiksis persona (kata ganti orang) yang dieksploitasi dengan sangat sistematis untuk mengklaim konsensus yang diperdebatkan secara politik. Artikel yang dimuat Discourse & Society Journal tersebut menyajikan analisis historis kritis terhadap wacana kebijakan pendidikan di Inggris dari tahun 1972 hingga selanjutnya. Dalam artikel tersebut dijelaskan bahwa kata ganti we merupakan alat retorika penting pada masa Partai Buruh Baru (New Labour) sebagai bentuk hegemoni untuk melegitimasi kebijakan melalui gagasan ‘konsensus’ neoliberal tentang konteks pendidikan. Pada saat yang sama, orang-orang juga mengartikulasikan ‘politik inklusi’. Jadi,topik kata ganti sering menjadi pembahasan dalam laman klinik bahasa, tetapi kali ini kata ganti “we” menjadi pembahasan yang mendalam seperti tema artikel Mulderrig di atas. Deiksis atau kata ganti “we” merupakan printilan kecil-kecil dari bahasa yang berkontribusi besar dalam melegitimasi kekuasaan, dominasi, dan hegemoni.
Dalam perdebatan politik dan kekuasaan, pemerintah merepresentasikan dirinya, Keputusan, kebijakan, dan hubungannya dengan pemangku kepentingan lain dengan kata ganti “we”. Hal paling fundamental dari AWK adalah segala hal berdasarkan sifat wacana sosial dan melihat bahasa sebagai semiotika sosial (Halliday, 1978). Artinya, teks-teks kebijakan tidak hadir dalam ruang hampa sosial, tetapi memiliki kompleksitas, perubahan historis, dan saling berkaitan secara konstitutif dengan konteks sosial.
Kata ganti we secara referensial kompleks; maknanya tidak dapat dipulihkan tanpa mengacu pada konteks pembicaraan (Levinson, 1983). Secara signifikan, teks kebijakan terbuka luas untuk direkontekstualisasi (Fairclough dan Wodak, 2008) dan ‘dikemas ulang’ untuk beragam audiens, membuat pengambilan kembali makna yang bergantung pada konteksnya. Kata ganti kepemilikan kelas tertutup ekspresi deiktik, seperti I, you, here, yesterday tidak dikodekan secara intrinsik maknanya, tetapi bergantung pada konteks ucapan. Dalam konteks tatap muka, titik tumpu dari ekspresi deiktik adalah posisi pembicara dan hanya dapat berhasil diinterpretasikan dengan mengacu pada posisi tersebut (O’Keefe et al., 2011). Titik tumpu dalam deiksis dikenal sebagai ‘pusat deiktik’ atau ‘origo’ (Bühler, 1934 & 1982).
Secara tradisional, model deiksis, pembicara atau penulis terletak di pusat deiktik dan makna ditafsirkan dalam kaitannya dengan titik referensi. Oleh karena itu, segi tiga utama dimensi semantik deiksis ditandai oleh pembicara/penulis (orang), waktu pengucapan (waktu), dan lokasi pembicara di tempat pengucapan (jarak). Contoh prototipe dari masing-masing dimensi adalah kata ganti orang (I, you), demonstratif (ini, itu) dan keterangan waktu atau tempat (sekarang, di sini, dan di sana).
Sistem deiksis menciptakan perbedaan mendasar dalam teks: self versus the others dan near versus far (baik secara temporal dan spasial). Entitas yang demikian dapat diidentifikasi sebagai ‘proksimal’ atau ‘distal’ dalam kaitannya dengan origo (misalnya I adalah proksimal dan you adalah distal). Dalam kasus inklusif we, pembicara dan penerima terikat bersama, bersama-sama berlabuh ke pusat deiktik. Ikatan tata bahasa ini menjelaskan mengapa inklusif we digunakan untuk membangun solidaritas dan ikatan sosial dengan menciptakan makna bahwa orang-orang berada ‘dalam sebuah kelompok’ yang jelas.
Ekslusif we memiliki efek sebaliknya dan tidak termasuk penerima dari pusat deiktik. Bentuk inklusif digunakan dalam teks kebijakan sebagai ‘we publik’. We mendapat tempat dalam dunia wacana pembuatan kebijakan dan ruang akuntabilitasnya. Contohnya permintaan maaf tertulis Salman Rusdi atas kesusahan yang disebabkan olehnya. ‘Satanic Verses’ dikeluarkan setelah fatwa Iran tentangnya diucapkan: ‘hidup sebagai yang kita lakukan di dunia dengan begitu banyak kepercayaan.’ Pengalaman ini berfungsi untuk mengingatkan bahwa manusia harus sadar akan kepekaan manusia lain. Jika kita ingin menafsirkan we secara eksklusif, tanggung jawab atas proposisi tersebut dipersempit ke Salman Rusdi, tetapi melebar ke fatwa jika itu inklusif.
Perbedaan signifikan dari deiksis “we” opsi eksklusif dan inklusif adalah we ekslusif lebih banyak minta maaf dan yang inklusif lebih banyak menuduh. Distribusi fungsional dari “we”, inklusif we dan ekslusif we: tata kelola lindung nilai, lindung nilai, ambivalen we dan keharusan kebijakan, ketidakjelasan strategis, dan urutan tekstual “we”. Strategi inklusi dianggap selaras dengan politik. Konsep inklusi adalah kunci untuk mengembangkan ‘Neoliberalisme dengan hati’, kapitalisme pasar bebas yang kompetitif secara global yang tidak ditantang secara serius, tetapi dimitigasi melalui kebijakan sosial yang sangat fokus pada pendidikan dan perolehan keterampilan untuk ‘kelayakan kerja’ dalam pengetahuan ekonomi yang cepat berubah. Fenomena penggunaan kata ganti “we” dengan makna “kami/kita” mengacu pada beberapa negara maju liberal dalam beberapa dekade terakhir di mana aktivasi individu, otonomi, partisipasi, dan tanggung jawab (terhadap diri sendiri dan orang lain) menjadi sentral kesejahteraan sosial ekonomi. Demikian peran hegemoni dieksis “we” dalam wacana kebijakan Pendidikan di Inggris dan dapat menginspirasi bagi penyusunan wacana kebijakan di Indonesia.