Padang, Scientia.id – Lembaga Women Crisis Center (WCC) Nurani Perempuan jatah sedikitnya 10 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak yang mereka tangani dari Januari hingga Mei 2025. Meski jumlah itu terkesan kecil, Direktur WCC Nurani Perempuan, Rahmi Meri Yenti, menegaskan bahwa kasus kekerasan yang terjadi sesungguhnya jauh lebih banyak.
“Sepuluh kasus itu yang tercatat di Nurani Perempuan. Tapi sebenarnya lembaga layanan itu kan banyak, tidak hanya kami. Misalnya ke kantor polisi, itu jumlahnya bisa jauh lebih tinggi,” ungkap Meri saat diwawancarai Scientia.id di Kantor Nurani Perempuan, Rabu (21/5).
Menurut Meri, peningkatan pelaporan bukan berarti jumlah kekerasan meningkat, melainkan adanya peningkatan kesadaran masyarakat untuk berani melapor.
“Kekerasan itu seperti gunung es. Banyak yang belum terungkap. Tapi saat korban mulai paham hak-haknya dan berani speak up, pelaporan pun meningkat,” tambah Meri.
WCC Nurani Perempuan memberikan pendampingan sesuai dengan kebutuhan korban, baik itu pemulihan psikologis, layanan medis, maupun penyediaan rumah aman. Namun, dalam prosesnya lembaga ini menghadapi sejumlah tantangan besar.
“Tantangan utama kami adalah keterbatasan biaya. Untuk mendampingi satu kasus saja kami perlu dana, transportasi, kebutuhan di rumah aman sampai biaya konsultasi ke psikolog atau psikiater,” jelas Meri.
Selain anggaran, keterbatasan sumber daya manusia juga menjadi hambatan. Banyaknya kasus tidak sebanding dengan jumlah pendamping, sehingga proses penanganan menjadi tidak optimal.
“Idealnya, pendampingan itu intens. Tapi karena tenaga kami terbatas, ada korban yang sempat tak terpantau karena kami harus dampingi kasus lain di luar kota,” lanjut Meri.
Meri juga menyoroti kesulitan ketika menangani kasus di luar kota Padang. Kunjungan ke daerah membutuhkan waktu dan biaya tambahan, dan jika hanya dilakukan dalam sehari, penanganannya menjadi kurang maksimal.
Di akhir pernyataan, Meri menyampaikan harapannya kepada masyarakat agar memiliki kepedulian yang tidak memperburuk kondisi korban kekerasan.
“Harapannya, masyarakat jangan ikut mengucilkan atau menambah-nambah persoalan. Berikan dukungan kepada korban, jangan malah menyalahkan mereka. Satu stigma yang muncul bisa menyebar dan menyakiti korban, terutama anak-anak. Kalau ini terjadi dilingkungan kita, jangan dipergunjingkan atau digosipkan. Beri dia kekuatan dan dukungan agar merasa bahwa masyarakat berpihak padanya,” tegas Meri. (tmi)