Saat bertemu teman-teman di kampus, saya dipanggil uni oleh mereka untuk menghargai bahwa saya berasal dari Minangkabau, Sumatera Barat. Dalam percakapan pun, sesekali teman-teman menggunakan kata rancak untuk menyatakan bahwa hal yang sedang saya bicarakan merupakan sesuatu yang baik.
“Rancak, Uni,” ujarnya.
Kata uni dan rancak memang kata yang paling sering didengar oleh orang-orang yang berasal dari luar Minangkabau. Hal ini tak lepas dari upaya masyarakat Minangkabau mengenalkan kata ini kepada wisatawan yang datang berkunjung ke Sumatera Barat. Saya jadi ingat ketika ada tamu yang datang ke Padang, kami sering menggunakan kata rancak untuk menunjukkan bahwa sesuatu yang mereka pakai atau sesuatu yang mereka beli sangat bagus.
“Rancak bana,” ujar kami.
Itulah sebabnya tuturan rancak bana yang bermakna ‘bagus sekali’ semakin dikenal oleh masyarakat lain di luar Sumatera Barat. Lama-kelamaan kata uni dan rancak diserap menjadi kosakata bahasa Indonesia. Dalam KBBI, kita dapat menemukan kata uni dan rancak sebagai kata yang berasal dari Minangkabau melalui label Mk. Kata uni merupakan kata yang bermakna ‘kakak perempuan’, sedangkan kata rancak merupakan kata yang bermakna ‘bagus; elok; cantik’ dan ‘giat; cepat; dinamis; gembira (tentang lagu, musik, tarian, dan sebagainya)’.
Situasi tutur ini sesungguhnya tidak hanya dialami oleh masyarakat Minangkabau dan para tamu yang datang ke Sumatera Barat. Masyarakat Indonesia yang berasal dari berbagai suku bangsa mana pun, ketika berkunjung ke daerah lain, akan menyerap satu, dua, atau beberapa kata khas dari daerah tersebut. Misalnya, ketika datang ke Medan, kita akan sering mendengar atau akan sering menggunakan kata horas sebagai kata seru untuk menyatakan selamat. Dalam KBBI, kata horas sudah dijelaskan sebagai kata yang berasal dari Batak.
Ketika berkunjung ke Bali, kita akan menyapa laki-laki di sana dengan beli; ketika berkunjung ke Bandung, bertemu dengan orang-orang Sunda, kita akan menyapa kakak laki-laki dengan akang; dan ketika berkunjung ke Sumatera Barat, orang-orang akan memanggil uda kepada laki-laki yang ada di sana. Kepada masyarakat Jawa, kami akan menggunakan mas untuk menyapa setiap laki-laki yang ada ditemui. Namun, kata mas dalam KBBI tidak dilabeli sebagai kosakata yan berasal dari bahasa Jawa, sedangkan kata beli dilabeli sebagai kosakata yang berasal dari bahasa Bali, akang dilabeli sebagai kosakata yang berasal dari Sunda, dan uda dilabeli sebagai kosakata yang berasal dari Minangkabau.
Hal yang sama juga saya temukan di Yogyakarta. Ketika saya baru sampai di Yogyakarta, saya pun mencari tahu kosakata khas yang dipakai oleh masyarakat. Kata yang sering dipakai masyarakat Yogyakarta adalah matur nuwun ‘terima kasih’, sampun ‘sudah’, dan njih ‘ya’. Namun sayangnya, ketiga bentuk ini belum masuk ke dalam KBBI. Meskipun demikian, ke depan kosakata tersebut diperkirakan akan diserap ke dalam bahasa Indonesia karena Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Republik Indonesia saat ini tengah berupaya untuk memperkaya kosakata bahasa Indonesia dari berbagai bahasa daerah.
Jika dilihat KBBI sebagai kamus bahasa Indonesia, jumlah kata yang diserap belum sebanyak kosakata dalam kamus-kamus lain. Pada tahun 2016, Badan Bahasa mencatat bahwa lema dalam KBBI masih sangat sedikit jika dibandingkan dengan Oxford English Dictionary (OED). Pada saat itu, OED memuat 600.000 lema sejak disusun tahun 1830-an, sedangkan KBBI baru disusun sejak tahun 1982. Perbedaan waktu dalam penyusunan kata yang mencapai satu abad menyebabkan lema yang terdapat dalam KBBI belum sebanyak lema yang terdapat dalam OED. Meskipun demikian, Badan Bahasa sejak 2016 sudah menargetkan akan mencapat 200.000 lema dalam KBBI. Per Desember 2024 ini, Kepala Badan Bahasa Republik Indonesia, Endang Aminudin Aziz menyatakan bahwa akan mencapai target tersebut karena telah melakukan berbagai upaya, seperti penggunaan korpus AI untuk mengumpulkan kosakata bahasa Indonesia dari berbagai sumber, termasuk dari bahasa daerah.
Upaya memperkaya kosakata bahasa Indonesia ini telah dilakukan sejak awal penyusunan KBBI. J. S. Badudu (1984, 1986, 1995) dan Macdonal & Darjowidjojo (1967) menjelaskan bahwa hampir setiap saat muncul kosakata baru dalam bahasa Indonesia, baik dari bahasa daerah maupun dari bahasa asing. Amran Halim (1976) menjelaskan bahwa penerimaan masyarakat terhadap kosakata baru tersebut menjadi salah satu cara yang dipakai oleh Badan Bahasa untuk memperkaya bahasa dengan memungut unsur-unsur baru dari berbagai sumber tersebut.
Pada awal penyusunan kamus bahasa Indonesia, J. S. Badudu (1986) menjelaskan bahwa sejumlah kosakata bahasa daerah diserap ke dalam bahasa Indonesia, seperti awet, becus, buhul, bobot, cemooh, gagasan, ganyang, gembleng, heboh, lumayan, macet, melempem, mendingan, padi, semarak, seret, sumber, dan tebu. Kehadiran kosakata ini berkenaan dengan orientasi pengembangan bahasa Indonesia yang diutamakan berasal dari bahasa daerah sehingga bahasa daerah memperkaya perbendaharaan bahasa Indonesia.
Jika dilihat sejak awal penyusunan KBBI, sejumlah kosakata dari bahasa daerah telah diserap ke dalam bahasa Indonesia. Pada KBBI I, belum ada informasi bahasa daerah apa yang diserap ke dalam bahasa Indonesia. Namun, pada KBBI II, terdapat sumber kosakata dari lima bahasa daerah, yaitu Bali, Batak, Jawa, Minangkabau, dan Sunda. Jumlah ini terus bertambah ke dalam KBBI III menjadi 11 bahasa daerah. Pada KBBI IV, sebanyak 76 bahasa daerah menyumbang kata ke dalam bahasa Indonesia, tetapi berkurang pada KBBI V menjadi 75 bahasa daerah dengan adanya perubahan. Ada sumber bahasa yang hilang, seperti Bebaso, Lematang, Papua Bagian Utara, dan Pulo; ada juga bahasa yang muncul sebagai sumber baru, seperti Amungkal, Gorontalo, Nias, dan Wakatobi.
Peningkatan sangat tajam terdapat pada KBBI Edisi VI. Saat ini sudah terdapat 232 bahasa daerah dalam bahasa Indonesia. Meningkatnya kunjungan wisatawan dan promosi budaya dari berbagai daerah menyebabkan kosakata tersebut diserap ke dalam bahasa Indonesia. Misalnya, sebanyak 339 kosakata bahasa Mentawai telah tercatat dalam KBBI; 2 kosakata dari bahasa Bajo, dan 195 kosakata dari bahasa Rote. Mentawai, Bajo, dan Rote merupakan daerah yang memiliki alam dan pantai yang bagus di Indonesia. Penyerapan kata dari bahasa daerah tersebut sangat berpotensi karena kunjungan masyarakat ke daerah tersebut terus meningkat.
Dalam KBBI, kosakata dari bahasa daerah tersebut berkenaan dengan alam, hasil alam, dan kearifan lokal masyarakat. Misalnya, dari bahasa Mentawai, terdapat kata allepet yang bermakna ‘tanaman berkayu, bentuk daunnya lonjong agak bulat, daunnya berwarna merah, kuning-hijau atau merah-kuning, tinggi mencapai 3 m, bisa digunakan sebagai tanaman hias dan obat’. Mentawai yang merupakan wilayah kepulauan memiliki hutan dan alam yang masih asri dan terpelihara. Masyarakat masih memanfaatkan tanaman yang tumbuh sebagai obat-obatan dan tanaman hias. Hal ini memicu masyarakat yang datang untuk mengenal obat-obatan dan tanaman hias tersebut.
Tidak hanya Mentawai, Labuan Bajo juga dikenal dengan pantai dan alam yang sangat indah. Hal ini menyebabkan masyarakat mengenal kosakata dari kondisi alam tersebut. Ada dua kata dari bahasa bajo yang sudah masuk ke dalam KBBI, yaitu anjol ‘gulungan ombak’ dan bakas ‘tulang ikan’. Sementara itu, bahasa Rote menawarkan banyak hal tentang kearifan lokal masyarakat, seperti menenun. Terdapat kata aibunak yang bermakna ‘motif berbentuk bunga pada tenun ikat khas Rote’. Tenun ini yang kemudian menjadi salah satu cenderamata yang dicari oleh pengunjung.
Sebagai penutur bahasa Indonesia yang memiliki kekayaan dari berbagai bahasa daerah, kita patut berbangga telah masuk 232 kosakata bahasa daerah ke dalam KBBI. Jumlah ini sebenarnya belum mencerminkan 718 bahasa daerah di Indonesia. Namun, upaya yang dilakukan oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Indonesia yang memperkaya kosakata bahasa Indonesia dari bahasa daerah telah ikut membantu mengenalkan bahasa dan kebudayaan yang ada di Indonesia. Hal ini patut membuat kita bangga bahwa Indonesia memiliki keragaman budaya yang tercermin melalui bahasa daerah yang menjadi kosakata bahasa Indonesia saat ini. Identitas bahasa daerah dalam KBBI kelak akan menjadi pengingat betapa kayanya sumber bahasa Indonesia dari berbagai bahasa daerah.