Kalau main ke Lokananta, studio rekaman atau studio musik pertama di Indonesia, kita akan disajikan pameran tematik yang berjudul “Perjalanan Musik Populer Indonesia 1960—1969: Dari Ngak Ngik Nguk ke Deg Deg Plas”. Ngak ngik nguk dan deg deg plas merupakan permainan tiruan bunyi yang dalam kajian linguistik disebut dengan onomatope.
Onomatope merupakan kata yang berasal dari bahasa Yunani, yaitu dari onoma dan poieo yang berarti ‘menamai sebagaimana bunyinya’. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi VI, onomatope adalah ‘kata tiruan bunyi, misalnya kokok merupakan tiruan bunyi ayam, cicit merupakan tiruan bunyi tikus’. Onomatope dapat dibentuk dari bunyi binatang, bunyi benda-benda, atau bunyi yang dikeluarkan dari mulut manusia berupa suara yang bukan merupakan kata, seperti suara orang tertawa, menangis, dan mendengkur.
Lalu, ngak ngik nguk dan deg deg plas berasal dari suara apa? Ngak ngik nguk merupakan tiruan dari bunyi biola yang rusak, sedangkan deg deg plas merupakan tiruan bunyi dari alat musik drum. Makna onomatope tersebut tidak sesederhana bunyi yang ditirukan. Tidak hanya sekadar bunyi biola rusak, juga tidak hanya sekadar bunyi alat musik drum. Onomatope ngak ngik nguk atau ngak ngik ngok memiliki sejarah paling penting dalam perjalanan musik Indonesia sehingga dipakai sebagai judul pameran musik tematik di Lokananta.
Onomatope ngak ngik nguk atau ngak ngik ngok dipopulerkan oleh Presiden Pertama Republik Indonesia, Ir. Soekarno, dalam pidato yang berjudul “Penemuan Kembali Revolusi Kita”. Bung Karno menyampaikan pidato tersebut pada 17 Agustus 1959 dengan kutipan sebagai tersebut.
“… Kenapa di kalangan engkau banjak jang tidak menentang imperialisme kebudajaan? Kenapa di kalangan engkau banjak jang masih rock-‘n-roll-rock-‘n-rollan, dansi-dansian a la cha-cha-cha, musik-musikan a la ngak-ngik-ngek gila-gilaan, dan lain-lain sebagainja?”
Pada saat itu, musik barat, terutama musik rock and roll, seperti musik dari grup band populer Inggris, The Beatles sangat populer di Indonesia. Namun, Bung Karno melarang keras musik tersebut dinikmati oleh anak-anak muda Indonesia. Banyak razia dilakukan saat itu, mulai dari razia piringan hitam The Beatles, razia rambut gondrong, hingga razia celana jengki ketat ala personel The Beatles.
Para pedagang piringan hitam diminta menyerahkan semua piringan hitam yang berisi musik The Beatles dan musik ngak ngik ngok lainnya sampai batas waktu 22 Juli 1965. Piringan hitam yang terkumpul kemudian dibakar. Lalu, anak-anak muda yang meniru gaya rambut ala personel The Beatles ditangkap dan rambut gondrongnya dipotong paksa oleh pihak kepolisian. Tukang cukur dilarang melayani pelanggan yang ingin memotong rambut ala John Lennon dan kawan-kawan. Tidak sampai di situ, kelompok musik dalam negeri yang bernama Koes Bersaudara sekarang dikenal dengan Koes Plus ditangkap dan dipenjarakan karena gaya mereka dianggap meniru gaya The Beatles yang kebarat-baratan. Lagu-lagu Koes Plus yang bernuansa cinta juga dianggap melemahkan mental para remaja Indonesia.
Larangan dan razia tersebut bukan sekadar larangan tanpa makna. Pada saat itu, kenakalan remaja di negara-negara Eropa meningkat tajam. Musik gila-gilaan yang dibawakan The Beatles memicu terjadinya perampokan, pencurian, hingga pelecehan seksual. Liberalisme Barat dan anarkisme ala The Beatles dinilai Bung Karno dapat membahayakan kebudayaan nasional. Bung Karno tidak ingin kenakalan dan kejahatan tersebut membawa pengaruh sampai ke Indonesia.
Meskipun melarang musik The Beatles di Indonesia, pada saat itu sesungguhnya hubungan Bung Karno dengan para pemimpin dari negara-negara Eropa sangat baik. Namun, Bung Karno tidak takut menunjukkan penolakan tersebut hingga ke dunia internasional. Saat kunjungan Bung Karno ke Eropa, tepatnya pada 9 Juli 1965 di Athena,
Bung Karno menutup kedua telinga saat dijamu oleh tuan rumah dengan alunan musik dari Trio Grace. Surat kabar St Pietersburg Times menulis tentang reaksi Bung Karno tersebut dengan “However, he indicates that he doesn’t like it after all.”
Tidak hanya soal larangan menikmati musik dari Barat, Bung Karno juga meminta nama penyanyi dan nama grup band Indonesia yang saat itu menggunakan nama kebarat-baratan mengganti nama-nama mereka dengan nama-nama berbahasa Indonesia. Di antara musisi yang mengubah nama adalah Jack Lemmers menjadi Jack Lesmana, The Irama Cubana menjadi Teruna Ria, El Dolores Combo menjadi Dasa Ria dan Eka Djaya Combo, Gerly Sitompul menjadi Mawar Sitompul, Tender Foot menjadi Orkes Timur Fadjar, The Blue Band menjadi Riama, serta The Rhythm menjadi Puspa Nada.
Para musisi terpaksa mengganti nama kelompok musik mereka dengan sesuatu yang khas Indonesia agar tetap diperbolehkan melakukan pertunjukan di tempat umum dan lagu-lagu mereka tetap disiarkan di RRI. Saat itu RRI merupakan penjaga moral. RRI menganggap bahwa hiburan yang sehat dan membangun adalah hiburan yang berisi musik-musik yang memberikan ketenangan pikiran, kegembiraan, serta semangat revolusi yang harmonis dengan pemerintah.
Meskipun demikian, manifesto politik yang dipakai Bung Karno dalam musik Indonesia pada saat itu tidak membuat para musisi dibiarkan berkarya sendiri. Bung Karno malah membantu mempromosikan musik Indonesia ke luar negeri. Salah satunya diwujudkan melalu cendera mata yang dipakai saat Indonesia menjadi tuan rumah Asian Games pada tahun 1962. Pemerintah memberi mandat kepada Lokananta untuk memproduksi piringan hitam yang berisikan lagu-lagu daerah sebagai media promosi budaya nasional ke luar negeri.
Pada tahun 1964, Bung Karno memerintahkan Bing Slamet, Sam Saimun, Idris Sardi, Benny Waluyo, Andi Mulya, Achmad, Sariman, Didi Pattirane, serta satu kelompok karawitan Jawa dan Sunda untuk menjadi duta kesenian di acara New York World’s Fair di Amerika Serikat. Dalam acara yang berlangsung pada 18 Oktober 1964, pemerintah mendapatkan satu paviliun untuk mempromosikan Indonesia. Pada saat itu, musisi Indonesia membawakan lagu-lagu populer Barat yang diaransemen ulang menjadi keroncong dan berhasil mencuri decak kagum para pengunjung.
Namun, misi kebudayaan Bung Karno berubah kala pemerintahan orde lama berubah ke pemerintah orde baru oleh Presiden Soeharto. Para musisi pun memanfaatkan momen tersebut dengan memopulerkan kembali musik mereka. Para musisi, produser rekaman, dan promotor pementasan kembali berekspresi dan membuka diri dalam berkesenian. Mereka kembali menikmati tren musik populer Barat.
Setelah vakum selama beberapa tahun, pada tahun 1967, Koes Bersaudara mengganti beberapa personil, lalu nama Koes Bersaudara berganti dengan Koes Plus. Pada penutup dekade 1960, atau tepatnya 1969, Koes Plus melahirkan album yang berjudul Dheg Dheg Plas untuk menolak istilah musik barat dengan Ngak Ngik Ngok. Onomatope Dheg Dheg Plas dimunculkan untuk menunjukkan penerimaan terhadap musik Barat melalui menggunakan tiruan bunyi alat musik drum yang berasal dari Barat.
Kreativitas Koes Plus dalam bermusik menjadi penanda perubahan iklim bermusik saat itu yang kemudian kembali menjadi bebas dan terbuka. Koes Plus yang saat itu mulai tampil dengan lagu baru ciptaan sendiri dinilai sebagai salah satu fondasi tren musik populer di Indonesia. Musik barat yang awalnya dinilai buruk dengan onomatope ngak ngik ngok, kemudian diterima dengan baik melalui istilah dheg dheg plas yang dicetus oleh Koes Plus. Hal ini menunjukkan bahwa bahasa berperan dalam perkembangan politik bermusik di Indonesia. Ngak ngik nguk dan deg deg plas ternyata tidak hanya sekadar onomatope, tetapi ada kebijakan politik dalam bermusik di Indonesia di dalamnya.