Oleh: Hardisman
(Dokter, Pemerhati Masalah Sosial Kemasyarakatan,
dan Profesor di Fakultas Kedokteran Universitas Andalas)
Waktu telah berganti, masa telah beralih, dan zaman pun telah berubah. Pengalaman masa kecil yang dilalui anak-anak masa kini tidaklah sama dengan Pelajaran yang dialami oleh orang tuanya di masa lalu. Apalagi jika dibandingkan dengan zaman kakek dan neneknya. Pada saat ini, setiap orang dengan mudahnya mendapatkan informasi di jaringan internet. Kalau hanya sekadar ingin tahu, internet jauh lebih menyediakan informasi, bahkan yang lebih cepat dan lengkap dari apa yang tersedia dan diberikan di sekolah.
Akses informasi tanpa batas tentunya juga mudah diakses oleh anak-anak. Tidak jarang pula, kemampuan anak-anak menggunakan perangkat elektronik untuk mencari dan mendapatkan informasi jauh lebih cepat dibandingkan dengan orang dewasa. Akses informasi melalui internet tidak lagi terbatas dengan pelajaran dan laptop, tetapi juga dapat dilakukan dengan berbagai gadget (gawai). Gadget hadir sebagai piranti atau alat yang dilengkapi dengan teknologi canggih dengan bentuk dan ukuran lebih praktis sehingga mudah dibawa. Gadget dulunya hanya telepon yang berfungsi sebagai alat komunikasi verbal yang saat ini sudah bertransformasi menjadi telepon seluler atau handphone (HP) yang lebih pratis dengan fitur teknologi lengkap. Saat ini, gadget menjadi gadget perangkat utama yang dimiliki oleh semua orang.
Gadget Bermata Dua
Penggunaan gadget atau ponsel oleh sebagian besar masyarakat sudah masuk dalam kategori yang tidak sehat. Fitur internet dan segala aplikasi turunannya, seperti media sosial, aplikasi sharing video online, dan game online pada sebagian orang tidak lagi menjadi sebuah hiburan dalam waktu luang. Akan tetapi, sudah menggangu aktivitas penting harian, pekerjaan, bahkan juga hubungan sosial dan hubungan dalam keluarga.
Media sosial yang sejatinya adalah ajang untuk berinteraksi dengan teman dan sahabat jauh yang tidak dapat bertatap muka langsung, kini menjadi ‘alat’ yang memisahkan jarak orang-orang yang berdekatan. Saat penggunanya keasyikan sendiri menikmati video di dunia maya atau game online, mereka kurang peduli terhadap lingkungan sekitar. Tidak jarang kita saksikan orang berkumpul pada tempat yang sama yang semula tujuannya untuk berinteraksi, namun masing-masing lebih sibuk dengan gadget. Kondisi ini menunjukkan kecendrungan autistik.
Secara psikoneurologi, penggunaan gadget dengan segala fitur dan aplikasinya tidak dapat dikalahkan dan digantikan oleh buku atau permainan-permaianan lama yang terkesan kuno dan tidak menarik. Adanya ketidaknyamanan atau kebosanan dalam diri seseorang (boredom) menjadi pemicu awal untuk penggunaan fitur gadget terus-menerus. Ketika seseorang menggunakan sebuah aplikasi atau game, boredom tersebut terobati. Selanjutnya, dalam aplikais tersebut ada reward pada game atau video yang lebih menarik lagi, atau adanya like dan comment ketika sharing sesuatu. Reward yang tak berkesudahan akan membuat seseorang betah untuk berlama-lama menggunakan aplikasi tersebut, lalu lagi dan lagi. Jika penggunaan gadget dengan berbagai aplikasi sudah tidak lagi dapat dikontrol, kondisi tersebut termasuk ke dalam tahapan kecanduan.
Kecenderungan perilaku tersebut tentu akan lebih parah jika sudah masuk dalam tahapan kecanduan gadget (gadget addiction). Kecanduan gadget merupakan kondisi ketika seserorang sudah menggunakan gadget berlebihan yang berdampak terhadap Kesehatan, baik fisik atau mental dan sudah mengganggu fungsi dan pekerjaan hariannya (wellbeing). Keadaan seperti ini, menurut Indrakanti dkk. dari UC Berkeley sudah mengenai semua orang di dunia tanpa batas usia, baik anak-anak hingga dewasa.
Kecanduan gadget juga berkembang menjadi gangguan psikologis baru yang disebut ‘Nomphobia’. Pada kondisi ini seseorang sudah takut berlebihan, bahkan menjadi irrasional jika jauh atau tidak memegang gadget atau Hp. Penelitian Rao dkk. di salah satu wilayah di India menyebutkan bahwa 1 dari 3 mahasiswa mengalami kondisi Nomophobia. Mungkin saja, masyarakat kita belum terdeteksi kecanduan gadget ataupun Nomophobia. Akan tetapi, sudah mengarah kepada keduanya.
Dampak kecanduan gadget sudah dirasakan pada kesehatan fisik ataupun mental dalam kondisi sedang hingga berat. Ganguan kesehatan mental pada anak dapat dilihat dari kurang konsentrasi dan daya tangkap terhadap pelajaran hingga perilaku agresif tidak terduga yang membutuhkan penanganan lanjut. Gangguan kesehatan fisik juga dapat muncul sakit kepala, nyeri tengkuk, insomnia, dan gangguan penglihatan, mulai dari sedang hingga berat.
Kita Harus Bagaimana?
“Gadget ibarat pedang bermata dua”. Jika digunakan secara bijak, ia adalah alat untuk mencari dan mendapatkan informasi pendukung pengetahuan dan pendidikan. Akan tetapi, jika digunakan secara berlebihan dan pada saat yang tidak tepat, ia akan menimbulkan dampak negatif, salah satunya adalah masalah kesehatan.
Pencegahan terhadap timbulnya masalah kesehatan yang lebih berat terkait penggunaan gadget tdak lain adalah dengan cara mengurangi penggunaannya. Bagi orang yang sudah dewasa, perlu menyadari dan mendisiplinkan diri untuk menggunakan gadget secara bijak.
Menciptakan masyarakat yang sehat paripurna masa depan, salah satunya adalah dengan mencegah terjadinya kecanduan gadget. Secara sosial, masyarakat perlu kembali menggiatkan olahraga atau aktivitas bersama di luar ruangan (outdoor). Setiap kelompok masyarakat perlu kembali mengaktifkan berbagai permainan, menggiatkan kembali membaca buku, dan interaksi sosial secara langsung (face to face).
Untuk membentuk anak yang sehat dan bugar di masa depan, orang tua perlu bijak dalam memberikan gadget pada anak. Anak hanya diberikan gadget pada usia membutuhkan dan penggunaannya dapat dikontrol oleh orang tua. Jangan malah orang tua melakukan sebaliknya dengan memberikan gadget pada anak sebagai alat untuk menenangkan anak pada usia dini.
Selanjutnya, pada masa anak-anak hingga remaja awal, sangat perlu pembatasan penggunaan gadget. Anak-anak dapat diberikan schedule atau waktu maksimal penggunaan gadget sehingga sejak awal anak-anak sudah menyadari dan mampu menempatkan penggunaan gadget sebagai ‘wadah rekreasi’ yang bermanfaat setelah urusan sekolah dan tugas utama lain diselesaikan.
Jauh yang lebih penting dari itu, orang tua harus menjadi contoh dan keteladanan dalam hal penggunaan gadget. Orang tua harus pertama kali yang pandai memosisikan gadget sebagai alat bantu kebutuhan dan menggunakannanya dengan bijak. Ketika orang tua mengarahkan dan menasihati anaknya, mereka telah melakukannya terlebih dahulu. Di samping itu, orang tua punya waktu yang berkualitas untuk berdiskusi dan bercengkerama dengan anak-anak. Orang tua di rumah adalah tempat bercerita, bukan tempat saling diam dan sibuk dengan gadget masing-masing. Tidak lupa pula, ada waktu untuk aktivitas bersama, seperti jalan pagi, olahraga, atau kegiatan-kegiatan bersama lainnya. Jika ini dapat diterapkan pada setiap keluarga, hal itu dapat mengurangi gangguan kesehatan mental masa depan dan munculnya penyakit degeneratif, otot, tulang, dan sendi yang lebih berat. Semoga.