Oleh: Ria Febrina
(Dosen Program Studi Sastra Indonesia Universitas Andalas dan Mahasiswa Program Doktor Ilmu-Ilmu Humaniora Universitas Gadjah Mada)
Setelah tiga tahun tinggal di Yogyakarta dan berulang kali ke Malioboro, ada satu gedung yang menjadi perhatian saya. Istana Kepresidenan Yogyakarta. Masuk ke sana tidak semudah mengunjungi Museum Vredeburg atau Museum Sonobudoyo. Tidak ada jadwal berkunjung rutin. Kunjungan ke Istana Kepresidenan Yogyakarta ini harus terjadwal dan hanya diizinkan dalam agenda-agenda tertentu. Misalnya, melalui iven Jogja Museum Expo 2024 (JME 2024) yang dilaksanakan pada 23 Juli s.d. 5 Agustus 2024 kemarin.
Dinas Kebudayaan DI Yogyakarta menggelar JME 2024 untuk mengenalkan berbagai museum yang ada di Yogyakarta. Ada 42 museum yang dapat dikunjungi di Yogyakarta, seperti Kagungan Dalem Museum Keraton Yogyakarta, Museum Sonobudoyo, Museum Benteng Vredeburg, Museum Wayang Kekayon, Museum Tani Jawa Indonesia, Museum Pusat TNI AU Dirgantara Mandala, Museum Universitas Gadjah Mada, Museum Gumuk Pasir, Museum Batik dan Sulaman Yogyakarta, Museum Affandi, Museum Memorial Jenderal Besar H. M. Soeharto, dan Museum Gunungapi Merapi. Selain mengenalkan museum-museum tersebut melalui tur daring museum, juga terdapat kegiatan lain, seperti pameran koleksi, wicara kuratorial, seminar internasional, mabar minecraft, lokakarya, bincang ringan museum, dan tur Istana Kepresidenan Yogyakarta.
Di antara agenda tersebut, tentu tur Istana Kepresidenan Yogyakarta yang paling menyita perhatian. Sejak awal dibuka, konon katanya sejak pukul 06.00 WIB pagi, sudah ada yang mengantre di depan Gedung Saraswati, Museum Sonobudoyo, untuk mendapatkan tiket kunjungan ke Istana Kepresidenan Yogyakarta. Padahal, panitia penyelenggara baru membuka pameran pada pukul 09.00 WIB. Antrean tersebut disebabkan oleh kuota pengunjung yang dibatasi sebanyak 60 orang dengan pembagian melalui dua sesi, yaitu sesi 1 (pukul 10.00 s.d. 11.30 WIB) dan sesi 2 (pukul 13.00 s.d. 14.30 WIB).
Kuota yang terbatas menyebabkan orang-orang rela antre mengular dari depan Gedung Saraswati hingga depan Gedung BNI 46, Titik Nol Yogyakarta. Saat itu saya termasuk pengunjung yang beruntung karena tidak mengantre panjang. Saya datang pada hari kedua, tepatnya pada pukul 08.30 WIB. Saat itu orang-orang belum banyak mengetahui tur ini dan para selebgram Yogyakarta belum mempopulerkan tur ini di berbagai media sosial mereka, seperti Instagram dan Tiktok. Setelah kunjungan saya, konon antrean bisa mencapai 100 orang, padahal waktu masih menunjukkan pukul 07.00 pagi.
Minat pengunjung yang tinggi sebenarnya tidak hanya pada tur Istana Kepresidenan Yogyakarta. Hampir semua iven kebudayaan di Yogyakarta menarik perhatian pengunjung. Para pengunjung yang rata-rata terdiri atas pelajar dan mahasiswa dari luar Kota Yogyakarta, serta wisatawan yang tengah berkunjung, tidak ingin melewatkan semua iven kebudayaan tersebut. Mereka siap untuk war ticket, yakni istilah yang dipakai untuk mendapatkan kesempatan mengikuti iven kebudayaan dengan berebut tiket, termasuk untuk tiket berbayar.
Tulisan ini dapat menjadi referensi mengenai kunjungan ke Istana Kepresidenan Yogyakarta. Dalam kunjungan, panitia membawa kami ke dua lokasi, yakni Istana Kepresidenan Yogyakarta dan Museum Istana Kepresidenan Yogyakarta. Kali ini saya akan fokus menceritakan kunjungan ke Istana Kepresidenan Yogyakarta. Istana Kepresidenan Yogyakarta dulu menjadi tempat tinggal Presiden Soekarno dan keluarga ketika Yogyakarta menjadi Ibu Kota Republik Indonesia pada 6 Januari 1946. Kini Istana Kepresidenan Yogyakarta yang terletak di ujung Jalan Ahmad Yani ini—dulu Jalan Malioboro—berfungsi sebagai tempat penerimaan tamu negara atau tempat tinggal Presiden Republik Indonesia saat berkunjung ke Yogyakarta.
Istana Kepresiden Yogyakarta ini merupakan salah satu dari sekian banyak Istana Kepresidenan Republik Indonesia. Istana kepresidenan lainnya yang ada di Indonesia adalah Istana Negara yang menjadi kantor Presiden Republik Indonesia di Jakarta, Istana Merdeka yang merupakan kediaman resmi Presiden Indonesia di Jakarta, Istana Bogor, Istana Cipanas, dan Istana Tampaksiring di Bali. Setelah kepindahan ibu kota ke IKN, ada dua Istana Kepresidenan Indonesia lagi, yaitu Istana Garuda dan Istana Negara. Istana Negara akan menjadi kediaman resmi Presiden Indonesia di IKN, sedangkan Istana Garuda yang terletak tepat di belakang Istana Negara IKN akan menjadi Kantor Presiden Republik Indonesia.
Mendapat kesempatan berkunjung ke Istana Kepresidenan Yogyakarta ini tentu membuat saya tidak melewatkan setiap cerita sejarah yang ada di dalamnya. Istana Kepresidenan Yogyakarta merupakan saksi sejarah revolusi kemerdekaan Republik Indonesia. Ada tiga fase perkembangan Istana Kepresidenan Yogyakarta, yaitu masa pendudukan Belanda, masa pendudukan Jepang, dan masa Pemerintahan Republik Indonesia. Pada masa pendudukan Belanda, Istana Kepresiden Yogyakarta menjadi tempat tinggal residen yang dikenal dengan Gedung Karisedanan.
Ada beberapa peristiwa penting terkait gedung tersebut. Pembangunan gedung sebagai tempat tinggal residen sempat terhenti pada 1825—1830 karena terjadi Perang Diponegoro. Setelah perang berakhir, pembangunan dilanjutkan kembali dan selesai pada 22 Desember 1832 pada masa residen ke-25, Frans Gerrarus Valck. Pada masa residen ke-37, Adolphe Jean Hubert Desire Bosch, bangunan rusak karena terjadi gempa bumi tektonik di Yogyakarta. Gedung Karesidenan yang hancur karena gempa dipugar kembali dan selesai pada 1869 dengan menjadi bangunan seperti sekarang.
Pada masa pendudukan Jepang, Istana Kepresidenan Yogyakarta digunakan sebagai Tyookan Kantai atau kediaman bagi pemimpin Jepang. Namun, pendudukan Jepang di Indonesia tidak berlangsung lama (1942—1945). Para pejuang berhasil menurunkan bendera nasional Jepang dari tiang yang berada di atap gedung dan menggantinya dengan bendera merah putih. Setelah itu, Gedung Karisedanan digunakan oleh Pemerintahan Republik Indonesia.
Pada 29 Oktober 1945, gedung dipakai sebagai Kantor Komite Nasional Indonesia Provinsi DIY. Namun, Pemerintah Indonesia menghadapi situasi yang makin gawat dengan sekutu. Presiden dan para pejabat tinggi hijrah dari Jakarta ke Yogyakarta pada 4 Januari 1946. Pada saat itulah, Ibu Kota RI pindah ke Yogyakarta dan Presiden Republik Indonesia menggunakan Istana Kepresidenan Yogyakarta sebagai jantung kegiatan kenegaraan. Petugas diplomatik dari dalam dan luar negeri, militer, dan sipil datang dan pergi menjalankan tugas dari gedung ini.
Peristiwa penting yang terjadi di gedung ini di antaranya pelantikan Jenderal Sudirman sebagai Panglima Besar, serta menjadi saksi Jenderal Sudirman melapor kepada Presiden Soekarno sebelum pergi gerilya. Tepatnya di sayap kanan Ruang Garuda—yang kini dinamakan dengan Ruang Sudirman—Presiden Sokearno memeluk Jenderal Sudirman yang memilih berjuang dengan bergerilya, sedangkan Presiden Soekarno memilih berjuang dengan diplomasi. Kini Ruang Sudirman di sayap kanan dan Ruang Diponegoro di sayap kiri Ruang Garuda menjadi ruang duduk atau ruang tunggu bagi tamu-tamu negara pada acara tertentu.
Saat berada di depan tiga ruang ini, kami hanya diizinkan melihat dari luar. Di Ruang Garuda, kami melihat foto para Presiden Republik Indonesia, serta foto para pahlawan. Di ruangan ini terdapat kamar Presiden Republik Indonesia dan keluarga untuk menginap saat berkunjung ke Yogyakarta. Meskipun tidak diizinkan masuk, kami diberi kesempatan berfoto di tangga yang terletak persis di depan Ruang Garuda. Di tangga tersebut terdapat karpet yang memuat nama dan posisi Presiden Republik Indonesia kala berfoto bersama para menteri.
Ruang Garuda, Ruang Sudirman, dan Ruang Diponegoro merupakan ruang yang berada di Gedung Utama Istana Kepresidenan Yogyakarta. Selain Gedung Utama, juga ada sejumlah wisma yang menjadi akomodasi bagi rombongan tamu negara yang bermalam di Istana Kepresidenan Yogyakarta. Ada Wisma Negara, Wisma Indrapasta, Wisma Sawojajar, Wisma Bumiretawu, dan Wisma Saptapratala. Selain itu, juga ada Gedung Senisono yang dulu pernah menjadi tempat hiburan bagi masyarakat Belanda dengan suasana seperti kafe pada masa kini. Saat ini Gedung Senisono menjadi gedung auditorium, Museum Benda-benda Seni Kepresidenan, dan perpustakaan.
Menikmati kisah dan cerita sejarah secara langsung melalui pemandu di Istana Kepresidenan Yogyakarta menjadi pengalaman berharga bagi saya. Setidaknya Pemerintah Yogyakarta dan Rumah Tangga Kepresidenan Yogyakarta di bawah Kementerian Sekretaris Negara Republik Indonesia tidak menutup secara eksklusif Istana Kepresidenan Yogyakarta ini. Melalui Kegiatan Istana untuk Rakyat (Istura), masyarakat diberi kesempatan menyaksikan gedung yang menjadi saksi penting sejarah Republik Indonesia. Bahkan, kunjungan kami melalui JME 2024 ini menjadi daftar kunjungan tambahan karena sebelum ini siswa sekolah (TK, SD, SMP), para guru, dan kelompok masyarakat sudah berkunjung secara terjadwal. Istana Kepresidenan Yogyakarta ternyata dibuka untuk umum melalui sejumlah prosedur yang telah ditetapkan.
Discussion about this post