Oleh: Ria Febrina
(Dosen Program Studi Sastra Indonesia Universitas Andalas dan Mahasiswa Program Doktor Ilmu-Ilmu Humaniora Universitas Gadjah Mada)
Yogyakarta kaya iven budaya. Karena rajin menyimak akun-akun Instagram Yogyakarta, seperti @wonderfuljogja, @jogjainfo, @jogja.istimewa, @jogjaku, dan @jogja, saya bisa mengikuti iven-iven yang diadakan di Yogyakarta. Kalau dikilas balik, iven-iven tersebut sambung-menyambung sehingga rasanya hampir setiap hari ada saja kegiatan yang bisa diikuti. Ada pameran, kirab, pasar kangen, pasar malam, pertunjukan seni, hingga kunjungan ke Gedung Agung atau Istana Kepresidenan Yogyakarta.
Iven-iven di Yogyakarta diselenggarakan secara gratis. Oleh karena itu, secapek-capeknya mengerjakan disertasi atau sesibuk-sibuknya berkegiatan di kampus, saya selalu menyempatkan waktu menikmati puluhan kegiatan tersebut. Salah satu kesempatan yang tidak saya lewatkan adalah membuat bakpia yang langsung didampingi oleh para koki dari Bakpia Menuk.
Dalam Festival “Do Dolan Ning Teras” atau “Mari Berkunjung ke Teras (Malioboro)”, saya diberi kesempatan menjadi peserta “Workshop Pembuatan Bakpia”. Sesuai dengan tema festival, saya sebagai peserta hadir di Teras Malioboro 1 yang menjadi pusat perbelanjaan cendera mata khas Yogyakarta. Festival yang dibiayai dengan Dana Keistimewaan Yogyakarta ini memang ingin memberikan suasana berbelanja yang berbeda di Teras Malioboro. Dulu para pedagang Teras Malioboro 1 berjualan di sepanjang Jalan Malioboro. Kini mereka diberi fasilitas, seperti berjualan di sebuah plaza. Namun, kata para pedagang, bukannya omzet meningkat, mereka justru mengalami penurunan omzet. Oleh karena itu, untuk menghidupkan geliat berbelanja di Teras Malioboro, festival ini dihadirkan.
Festival ini diadakan di bulan Juli 2024 dan bertepatan dengan masa libur sekolah. Karena bertepatan dengan hari libur, diadakan workshop seru dan asyik untuk orang tua dan anak. Ada tiga jenis workshop. Workshop pertama merupakan pembuatan bakpia yang dapat diikuti oleh remaja, mahasiswa, dan ibu-ibu. Pada workshop kedua, diberi kesempatan mengikuti workshop membuat aksesori dari manik-manik; serta pada workshop ketiga, diadakan kesempatan mengikuti workshop membuat mainan dari bambu.
Dari ketiga workshop tersebut, saya dengan semangat mengikuti “Workshop Pembuatan Bakpia”. Selama ini saya hanya mencoba aneka bakpia yang ada di Yogyakarta, baik yang terkenal dengan merek Kurnia Sari, Bakpia Pathok 25, Bakpia Pathok 75, Tugu, Mutiara, Juwara Satoe, Bakpia Sakura Mochi, dan Bakpiaku; juga bakpia yang terkenal dengan aneka jenis yang terdiri atas bakpia kukus, bakpia basah, dan bakpia kering. Bakpia kukus merupakan bakpia yang secara struktur mirip dengan roti sandwich coklat bermerek Sari Roti. Namun, bakpia kukus tidak selembut roti sandwich tersebut. Saat ini Bakpia Tugu dan Bakpia BW (Bakpia Wong Jogja) menjadi produsen yang memproduksi bakpia ini. Kita bisa menikmati dua jenis bakpia kukus ini, yakni bakpia putih (orisinal) atau bakpia coklat (brownies). Isi bakpia kukus ini juga bervariasi, seperti coklat, keju, dan bluberi.
Sementara itu, bakpia basah merupakan jenis bakpia tradisional. Bakpiaku, Juwara Satoe, Bakpia Pathok 25, Bakpia Pathok 75, Kurnia Sari, Bakpia Sakura Mochi, dan Mutiara merupakan merek terlaris dan produk favorit yang dinikmati wisatawan. Sementara itu, bakpia kering merupakan bakpia jenis baru yang mampu bertahan hingga berbulan-bulan. Jawara Satoe merupakan satu-satunya produsen yang menciptakan bakpia ini. Wisatawan yang datang dari Pulau Sumatera, yang membutuhkan waktu 3—4 hari melakukan perjalanan darat ke Yogyakarta, sangat direkomendasikan membeli bakpia kering ini meskipun bakpia yang paling enak adalah bakpia basah.
Di dekat rumah saya, di Kecamatan Wirobrajan, banyak rumah produksi bakpia. Produksi bakpia-bakpia tersebut menjadi industri rumah tangga. Namun, saya tentu tidak mungkin mencari tahu resepnya tiba-tiba. Bagaimana cara membuat bakpia? Mudahkah? Sulitkah? Saya tidak bisa memintanya. Namun, karena saya pernah melihat video singkat pembuatan bakpia di salah satu gerai, saya menyimpulkan cara membuat bakpia itu sulit. Butuh alat produksi yang canggih, biaya produksi yang mahal, dan resep yang rumit.
Ternyata apa yang saya pikirkan itu salah. Dalam “Workshop Pembuatan Bakpia” Do Dolanan Ning Teras, saya belajar langsung dari Bu Atik dan Mas Roni. Mereka merupakan produsen Bakpia Menuk. Sejujurnya, saya baru mengenal bakpia ini, terutama setelah mengikuti workshop. Awal mula saya datang, melihat tidak ada oven yang biasa dipakai untuk membuat bakpia, saya dan adik saya—yang juga menjadi peserta, berasumsi bahwa kegiatan ini hanya seminar. Kami akan disuguhkan bahan setengah jadi sehingga tidak akan menikmati prosesnya sejak awal.
Setelah Mas Akbar, pewara, memberi kesempatan kepada Bu Atik dan Mas Roni, saya kemudian menyaksikan bahwa kegiatan ini benar-benar menjadi salah satu workshop terbaik yang pernah saya ikuti. Bu Atik mempraktikkan tahap-tahap produksi bakpia basah, sedangkan Mas Roni menjelaskan bagaimana tahap demi tahap dilakukan. Kami mendengar penjelasan bahan-bahan yang dipakai dan menyimak cara membuat kulit dan isi bakpia.
Saat itu kami akan membuat bakpia rasa kacang hijau. Oleh karena itu, Bu Atik menunjukkan satu bungkus kacang hijau berwarna kuning yang sudah dipisahkan dari kulitnya yang berwarna hijau. Kacang hijau tersebut diaduk (digoreng) menggunakan mentega dan gula. Proses mengaduk juga cukup lama sampai kacang hijau hancur dan menyatu seperti adonan kue. Setelah itu, kami disuguhkan satu kantong olahan kacang hijau tersebut di meja workshop, serta bahan-bahan untuk membuat kuliat luar dan kulit dalam. Bahan untuk membuat kulit luar bakpia terdiri atas tepung terigu protein sedang dan air gula, sedangkan bahan untuk membuat kulit dalam bakpia terdiri atas tepung terigu protein sedang dan mentega. Masing-masing bahan untuk membuat kulit bakpia tersebut diaduk menggunakan tangan sampai berbentuk kalis, hingga bisa dibentuk dan digulung.
Bahan-bahan yang diberikan sudah ditimbang untuk menghasilkan 30 buah bakpia basah. Karena tidak pernah melihat produksi langsung, pada awalnya kami tidak menghabiskan bahan pembuatan bakpia. Setelah bertanya kepada Bu Atik, kami baru menyadari bahwa semua bahan sudah ditakar sehingga semua harus dipakai. Beliau pun memberikan contoh cara mengolah yang benar. Kami yang salah mengolah kulit luar bakpia, akhirnya menuangkan semua air gula ke dalam adonan hingga adonan menjadi basah. Bu Atik tidak menjadikan produk yang kami olah menjadi produk yang gagal. Bu Atik meminta kami terus mengaduk adonan dan menunjukkan posisi tangan yang benar. Alhamdulillah, setelah terus berupaya, adonan kulit luar bakpia berhasil seperti adonan yang ditunjukkan oleh Bu Atik.
Ada tujuh orang perempuan di meja kami. Setelah adonan selesai dibuat, masing-masing orang berupaya membuat bakpia. Bu Atik menjelaskan dengan cara membagi dulu adonan menjadi 5gram (bahan kulit luar) dan 4 gram (bahan kulit dalam), lalu adonan tersebut dipipihkan dengan bagian pinggir telapak tangan. Adonan dipipihkan dan digulung-gulung seperti roti gulung.
Setelah masing-masing adonan digulung, Bu Atik menunjukkan cara membuat kulit bakpia dengan mencampurkan bahan kulit luar dan kulit dalam. Kedua bahan ditumpuk menjadi satu, kemudian dipipihkan lagi dengan menggunakan bagian pinggir telapak tangan. Adonan yang dipipihkan juga digulung beberapa kali hingga kedua bahan kulit menyatu. Setelah itu, olahan kacang hijau tadi yang sudah ditakar, diletakkan di atas bahan kulit, lalu ditutup, seperti membungkus dimsum. Setelah itu, bahan bakpia diletakkan ke dalam cetakan besi atau cetakan yang terbuat dari paralon yag dipotong. Tinggi cetakan sekitar 4 cm. Adonan yang sudah masuk ke dalam cetakan, dipipihkan sampai membentuk bakpia.
Setelah sampai ke tahap ini, bakpia seharusnya dipanggang menggunakan oven. Namun, karena alat produksi tidak dapat dibawa ke Teras Malioboro, Bu Atik menunjukkan cara tradisional dengan memanggang bakpia di atas teflon. Secara bergantian, saya dan beberapa orang peserta memanggang kedua sisi bakpia di atas teflon agar matang sempurna. Setelah mengikuti instruksi, kami menyaksikan bakpia yang kami panggang selama 10 menit tersebut berhasil menjadi bakpia yang biasa kami lihat dalam kotak-kotak bakpia. Peserta workshop dari kelompok saya sungguh senang karena akhirnya berhasil membuat bakpia.
Karena bakpia sudah jadi, Bu Atik meminta kami mencicipi rasa bakpia yang dibuat agar nanti dapat dibandingkan dengan bakpia yang dibuat secara khusus oleh para koki Bakpia Menuk. Saya sangat suka dengan resep Bakpia Menuk ini. Rasanya mirip dengan bakpia basah yang terkenal di Yogyakarta. Bahkan, karena panas dan lembut, bagi saya bakpia ini terasa lebih enak. Rasanya juga sama enaknya dengan bakpia yang dibuat oleh para koki dari Bakpia Menuk.
Karena berhasil membuat bakpia sendiri, jiwa bisnis saya sebagai orang Minang langsung tumbuh. Apalagi, panitia sempat bertanya, apakah kami sudah mempunyai usaha? Karena selama ini saya hanya studi, pertanyaan ini pun menjadi pilihan, “Boleh juga jika bakpia ini diproduksi di kota kami, di Kota Padang nanti”. Terwujud atau tidak, yang paling penting, kini saya punya kue andalan saat Lebaran atau saat kangen Jogja. Kangen saya akan terobati dengan membuat bakpia sendiri.
Workshop membuat bakpia ini menjadi salah satu kenangan terbaik saya di Yogyakarta, serta dapat menjadi salah satu rekomendasi kepada pihak-pihak pengelola wisata agar rutin mengadakan kegiatan ini. Saya ingin orang-orang lain mempunyai kenangan yang sama dengan saya. Kenangan belajar membuat bakpia. Program ini juga dapat menjadi bukti bahwa destinasi wisata Yogyakarta tidak selalu wisata alam, candi, museum, pasar tradisional, dan wahana bermain. Praktik membuat bakpia bisa menjadi salah satu destinasi yang diinginkan wisatawan, seperti halnya praktik membatik yang sudah populer akhir-akhir ini di Yogyakarta.
Discussion about this post