Oleh: Ria Febrina
(Dosen Program Studi Sastra Indonesia Universitas Andalas dan Mahasiswa Program Doktor Ilmu-Ilmu Humaniora Universitas Gadjah Mada )
Mikul Dhuwur Mendhem Jero
‘Mengangkat kebaikan seseorang setinggi-tingginya dan menyembunyikan keburukan seseorang sedalam-dalamnya’
Setidaknya filosofi yang pernah dipopulerkan oleh Presiden Kedua Republik Indonesia, Presiden Soeharto ini, dikutip juga oleh Kepala Museum Memorial Jenderal Besar H. M. Soeharto, Gatot Nugroho saat mengenalkan museum ini kepada para wartawan. Saya membaca filosofi tersebut di beberapa berita ketika mencari informasi lengkap tentang museum ini.
Setelah mengunjungi secara langsung Museum Memorial Jenderal Besar H. M. Soeharto beberapa hari lalu, saya sepakat dengan filosofi ini. Saat itu saya berkunjung bersama beberapa orang teman dari Kota Padang. Kami merupakan keluarga besar Universitas Andalas karena terdiri dari dosen, alumni (yang juga sudah menjadi dosen di salah satu universitas di Kota Padang), serta juga tenaga kependidikan. Kami merasakan kunjungan dengan aia mato jatuah ka dalam ‘air mata jatuh ke dalam’. Betapa sedih saat memasuki kawasan parkir, halaman, hingga ruangan dalam museum. Kawasan parkir sungguh tidak terawat; tidak ada mobil atau motor yang parkir saat itu; toilet umum juga berlumut; halaman sepi dari pengunjung; serta benda-benda milik Presiden Kedua Republik Indonesia ini penuh dengan debu. Debu yang tebal, seperti tidak dibersihkan berminggu-minggu.
Saya misalnya, merasakan suasana yang berbeda ketika memasuki museum ini jika dibandingkan dengan museum-museum lain yang pernah saya kunjungi di Yogyakarta, seperti Museum Vredeburg, Museum Sonobudoyo, serta Museum Ullen Sentalu. Apalagi, sebelum kami mengunjungi Museum Memorial Jenderal Besar H. M. Soeharto, kami baru saja mengunjungi Museum Ullen Sentalu. Secara historis, kedua museum ini memiliki kesamaan, sama-sama museum yang didirikan secara pribadi. Namun, melihat kedua museum ini, siapa pun akan menggunakan dikotomi siang-malam yang menunjukkan makna ‘terawat dan tidak terawat’. Padahal, Presiden Soeharto merupakan pemimpin bangsa, sosok pahlawan yang telah membawa nama baik Indonesia selama 32 tahun. Terlepas dari persoalan yang terjadi pada akhir pemerintahan beliau, tentu sangat tidak baik menghilangkan jasa dan peran beliau dalam memimpin Indonesia. Kita perlu mengenang kebaikan beliau sebanyak-banyaknya.
Beranjak dari filosofi itu, saya mencoba menghayati setiap sudut museum ini. Dari jalan raya, tepatnya di Jalan Nulis–Puluhan, Kemusuk Lor, Argomulyo, Bantul, Yogyakarta, kita akan melihat sebuah bangunan besar dengan cat berwarna putih biru. Di depan gerbang masuk, kita akan melihat sebuah papan nama yang cukup besar bertuliskan Museum Memorial Jenderal Besar H. M. Soeharto. Nama museum tersebut ditulis dengan latar berwarna merah—meskipun warnanya sudah mulai pudar. Salah seorang teman saya dengan bangga berfoto di bawah papan nama tersebut karena jauh-jauh dari Padang bisa sampai ke museum ini. Kebanggaan beliau memang tampak jelas karena masa kecil dan masa remaja beliau dijalani di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto. Selain itu, beliau juga memiliki museum di Kota Pariaman, Sumatera Barat. Mendapat kesempatan ke museum ini, menjadi kebanggaan tersendiri. Apalagi, sejak awal beliau sudah berpesan kepada saya, “Ingin berkeliling ke museum-museum di Yogyakarta”.
Dari gerbang ini, saya arahkan mata ke halaman museum. Saya menyaksikan patung besar Presiden Soeharto setinggi tiga meter. Patung yang terbuat dari perunggu tersebut dibuat oleh seorang seniman dari Kasihan, Bantul, Yogyakarta yang bernama Edhi Sunarso. Di sebelah patung Presiden Soeharto, terdapat prasasti peresmian museum berupa batu besar. Sementara itu, di belakang patung terdapat joglo yang biasa dipakai untuk menyambut kedatangan tamu museum.
Presiden Soeharto merupakan anak seorang petani. Sebagai seorang anak desa, beliau luar biasa ditugaskan memimpin negeri ini. Perjuangan beliau kemudian membuat adik tirinya, Probosutedjo mendirikan museum ini. Museum ini dididirikan di atas lahan seluas 3.620 meter—lahan milik sang Kakek Buyut Notosudiro—sebagai wujud cinta kasih beliau kepada kakaknya. Probosutedjo membangun museum ini pada pertengahan tahun 2012 dan meresmikan museum ini pada hari lahir Pak Harto, tepatnya pada 8 Juni 2013. Untuk menunjukkan perjuangan Pak Harto sebagai seorang anak petani, beliau menghadirkan patung dua orang anak sedang berusaha menaiki seekor kerbau di sebuah sawah. Di belakang patung itu, tertulis Soeharto Ngguyang Kebo yang mencerminkan sosok Pak Harto masa kecil yang tumbuh sebagai anak petani.
Setiap sudut di area museum ini didesain begitu bermakna. Di sebelah kiri joglo, kita akan menemukan gedung yang memuat berbagai peristiwa penting dalam kehidupan Pak Harto. Di belakang joglo, terdapat rumah kakek Pak Harto. Pak Budi, penjaga museum yang menemani kami berkeliling menjelaskan bahwa rumah tersebut boleh menjadi rumah singgah atau penginapan bagi tamu yang datang dari luar kota yang kemalaman. Di dalamnya masih terdapat beberapa benda-benda peninggalan keluarga Pak Harto, seperti pakaian, perabotan, alat musik, hingga sepeda Onthel.
Di sebelah kanan rumah ini, terdapat petilasan Kemusuk yang merupakan tempat kelahiran dan rumah masa kecil Pak Harto. Rumah tersebut sudah dihancurkan dan diganti dengan sebuah joglo yang agak lebih kecil dari joglo utama. Di bagian depan joglo, terdapat bekas fondasi rumah Pak Harto. Di bagian belakang, terdapat sebuah sumur tua dengan air yang jernih. Pak Budi juga mengisahkan bahwa sumur tersebut hanya memiliki kedalaman 5 meter, tetapi air dalam sumur tersebut tidak pernah kering. Sumur tersebut dinilai memiliki air yang melimpah dan juga air yang sangat jernih bila dibandingkan dengan beberapa sumur terdekat. Bak mencerminkan perjuangan baik Pak Harto selama hidupnya, menjadi mata air untuk masyarakat Indonesia.
Di antara bangunan-bangunan tersebut, tentu yang perlu dikunjungi adalah Museum Memorial Jenderal Besar H. M. Soeharto. Museum memorial ini berada di sisi kiri joglo. Di setiap sudut bangunan terdapat patung dan foto Pak Harto. Di teras museum misalnya, kita akan melihat foto Pak Harto beserta istri, Bu Tin (Siti Hartinah), dan keenam anak-anak beliau, yaitu Siti Hardijanti Rukmana (Mbak Tutut), Sigit Harjojudanto, Bambang Trihatmodjo, Siti Hediati Hariyadi (Titiek Soeharto), Hutomo Mandala Putra (Tommy Soeharto), dan Siti Hutami Endang Adiningsih.
Selain foto keluarga, kita juga akan menemukan silsilah keluarga Pak Harto. Pak Harto merupakan anak dari Kertosudiro dan Sukirah. Setelah Pak Harto lahir, orang tua beliau bercerai dan ibu Pak Harto menikah dengan Atmopawiro. Dari pernikahan ibu Pak Harto dengan ayah tiri Atmopawiro ini, Pak Harto memiliki tujuh orang adik. Probosutedjo yang mendirikan museum memorial ini merupakan salah seorang adik tiri Pak Harto.
Di samping foto keluarga dan foto silsilah tersebut, terdapat sebuah foto yang memuat tanda tangan Presiden Keenam Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono. Tanda tangan tersebut merupakan simbolis kunjungan beliau sebagai presiden ke Museum Memoriam Jenderal Besar H. M. Soeharto.
Dari teras ini, kita dapat terus berjalan ke arah kiri menuju pintu masuk museum. Saat berada depan pintu yang terbuka secara otomatis, kita akan menyaksikan instalasi film perjalanan Pak Harto. Instalasi ini didesain seperti rol film. Dengan permainan cahaya, tempat ini setidaknya membuat kita jatuh cinta dengan lorong waktu yang dihadirkan. Di instalasi ini terdapat foto-foto perjuangan Pak Harto selama 32 tahun masa kepemimpinan beliau.
Lanjut lagi ke arah dalam, kita akan menemukan informasi-informasi di beberapa selasar. Di Selasar A, kita akan menyaksikan audio, foto, dan video kehidupan Pak Harto yang diambil dari data-data arsip nasional. Di Selasar B, kita akan menemukan informasi seputar keterlibatan Pak Harto dalam Serangan Umum 1 Maret 1949. Dibalik keterlibatan ini, ada kisah mengharukan dan membahagiakan yang dialami Pak Harto.
Dari arsip nasional, tercatat bahwa ada lima serangan umum terhadap agresi militer. Serangan Umum 1 Maret 1949 merupakan serangan umum kelima. Pada serangan umum ke-3, tepatnya pada 23 Januari 1949, Pak Harto sebagai Letkol Soeharto pada masa itu menerima kabar bahwa istrinya, Bu Tien melahirkan bayi pertama di Margoyasan, yaitu seorang anak perempuan yang dikenal sebagai Mbak Tutut. Kelahiran anak pertama ini menambah semangat Pak Harto untuk berjuang.
Pada awal Februari 1949, menurut H. Probosutedjo, Pak Harto dipertemukan dengan Ibu Tien Soeharto dan Mbak Tutut oleh Hendro Budjono, Kepala Rumah Tangga Keraton. Pertemuan dilaksanakan di Rumah Hendro Budjono di Kompleks Keraton. Seorang gerilyawan menjemput Ibu Tien Soeharto di rumahnya Margoyasan dan membawa ke rumah Hendro Budjono dengan andong. Sementara itu, Pak Harto menuju rumah Hendro Budjono menyamar sebagai pria priyayi dengan mengenakan kain batik, surjan, dan blangkon agar tidak terendus oleh Belanda.
Penyamaran Pak Harto ini juga dikisahkan oleh Pak Budi, penjaga museum, bahwa pada masa itu, Belanda sangat marah kepada Pak Harto. Pak Harto dicari dan diburu ke seluruh kampung. Pada masa itu, anak laki-laki dan laki-laki dewasa banyak terbunuh. Salah seorang yang terbunuh adalah kakek kandung dari Bapak Budi. Kisah-kisah tersebut kemudian ditulis juga oleh Mayor Jenderal TNI (Purn) Lukman R. Boer dalam buku yang berjudul Kemusuk Bersimbah Darah. Kepada kami, Pak Budi memberikan satu eksemplar buku tersebut sembari mengisahkan bahwa pada saat itu Pak Harto terpaksa menyamar dan bergerilya, berhati-hati melindungi diri dari bangsa Belanda. Kisah Pak Harto menemui Bu Tien dan Mbak Tutut ini juga tentu tidak akan pernah kita ketahui jika adik Pak Harto, Probosutedjo, tidak mengisahkan peristiwa pada masa itu dan menambahkannya ke dalam data arsip nasional yang dipajang di museum ini.
Arsip museum lainnya yang bisa kita lihat di selasar ini adalah surat perintah siasat Panglima Besar Angkatan Perang RI, Letjen Soedirman tanggal 10 Juni 1948; surat perintah kilat Panglima Besar Jenderal Soedriman tanggal 19 Desember 1949; diorama suasana penyerangan di kawasan Hotel Tugu, Yogyakarta; dan nama-nama pahlawan yang gugur dalam wilayah Wehrkreise III (Clash Ke-2 tahun 1948—1949) beserta tanggal gugur sebagai pahlawan bangsa. Nama-nama mereka dipajang dalam papan yang cukup besar. Sebuah arsip yang tidak ditayangkan di berbagai museum lain di Indonesia.
Dari Selasar B, kita dapat melanjutkan perjalanan ke Selasar C dan akan menemukan informasi seputar Trikora. Di antaranya kita akan melihat Diorama Operasi Trikora Pembebasan Irian Barat; Operasi Trikora (19 Desember 1961—15 Agustus 1962) yang menunjukkan penampilan Pak Harto di medan perang; foto dan informasi mengenai penyerahan Irian Barat dari Untea kepada Pemerintah Republik Indonesia tanggal 1 Mei 1963; serta Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) di Irian Barat tahun 1969.
Dari Selasar C, kita dapat melanjutkan perjalanan ke Selasar D yang memuat kisah mengenai Gerakan 30 S/PKI yang sangat menyedihkan. Kita akan menemukan foto dan informasi mengenai Pemberontakan G-30 S/PKI; foto kekejaman PKI kepada rakyat dalam Peristiwa Madiun 1948; aksi-aksi PKI menjelang Peristiwa G-30 S/PKI tahun 1965; foto markas gerombolan G-30 S/PKI di Desa Lubang Buaya yang menjadi tempat penemuan jenazah korban kekejaman; surat Pak Harto kepada Presiden Soekarno sebagai Mayjen Soeharto karena berhasil menghentikan pertumpahan darah bersama rekan-rekan lainnya; serta foto penemuan jenazah enam jenderal dan satu perwira pertama TNI-AD setelah diangkat dari sumur maut. Ketujuh jenazah tersebut merupakan jenazah Jenderal A. Yani, Jenderal R. Soeprapto, Jenderal S. Parman, Jenderal M. T. Haryono, Jenderal D. I. Panjaitan, Jenderal Soetojo Siswomihardjo, dan Piere A. Tendean.
Membaca informasi dan menyaksikan foto-foto yang menjadi arsip nasional itu tentu saja membuat saya bergidik ngeri dan sedih membayangkan perjuangan para pahlawan Indonesia. Lalu, saya segera berpindah ke Selasar E yang menceritakan masa pembangunan Soeharto. Salah satunya yang saya ingat adalah Repelita atau Rencana Pembangunan Lima Tahun dengan menerapkan pembangunan terpusat untuk ekonomi makro dan perkebunan yang ada di Indonesia.
Dulu semasa SD, informasi mengenai Repelita ini berulang-ulang kali saya baca di RPUL (Rangkuman Pengetahuan Umum Lengkap). Masih ingat juga dengan jelas, ke mana-mana saya dan teman-teman membawa RPUL ini. Berselisih di koridor sekolah membuat kami kemudian saling bertanya. Tidak hanya tentang Repelita, tetapi juga tentang siapa nama presiden dan wakil presiden, serta nama-nama menteri. Tidak ada satu orang pun yang tidak tahu informasi tersebut pada saat itu. Satu kondisi yang amat berbeda jika secara acak kita menanyakan nama wakil presiden kepada anak-anak usia sekolah hari ini. Banyak dari mereka yang tidak tahu siapa nama Wakil Presiden Indonesia. Betapa mirisnya.
Perbincangan tentang Repelita dan bagaimana masa kecil kami dulu mengenal nama-nama presiden, wakil presiden, dan para menteri menjadi penutup perjalanan saya di Museum Memoralia Pak Harto. Namun, saya kembali sedih sebelum meninggalkan ruangan ini. Di ujung dinding pintu keluar, saya menyaksikan berita mengenai wafatnya Presiden Republik Indonesia, Presiden Soeharto. Di pintu keluar pun, saya juga melihat serangkaian foto meninggalnya Presiden Soeharto, beserta foto berurai air mata beberapa orang rakyat Indonesia yang kehilangan salah seorang sosok presiden terbaik bangsa ini. Meskipun saya masih berusia belia saat meninggalnya Pak Harto, setidaknya saya pernah merasakan kehangatan beliau sebagai seorang Presiden Republik Indonesia.
Selamat jalan, Presiden Soeharto. Bagi saya, museum ini setidaknya menjadi pengingat bahwa Indonesia memiliki seorang pemimpin bangsa yang berkharisma. Ke depan, tentunya saya berharap Museum Memoralia Jenderal Besar H. M. Soeharto ini didesain semakin modern layaknya saya memasuki Museum Vredeburg. Museum ini merupakan bagian dari museum sejarah Indonesia. Sebagai pemimpin bangsa, perjuangan baik Pak Harto patut dikenang dan dihargai sepanjang masa.
Discussion about this post