Senin, 16/6/25 | 02:57 WIB
  • Dapur Redaksi
  • Disclaimer
  • Pedoman Pemberitaan Media Siber
  • Tentang Kami
Scientia Indonesia
  • TERAS
  • EKONOMI
  • HUKUM
  • POLITIK
  • DAERAH
  • EDUKASI
  • DESTINASI
  • LITERASI
    • ARTIKEL
    • CERPEN
    • KLINIK BAHASA
    • KREATIKA
    • PUISI
  • RENYAH
  • TIPS
No Result
View All Result
  • TERAS
  • EKONOMI
  • HUKUM
  • POLITIK
  • DAERAH
  • EDUKASI
  • DESTINASI
  • LITERASI
    • ARTIKEL
    • CERPEN
    • KLINIK BAHASA
    • KREATIKA
    • PUISI
  • RENYAH
  • TIPS
No Result
View All Result
Scientia Indonesia
No Result
View All Result
  • TERAS
  • EKONOMI
  • HUKUM
  • POLITIK
  • DAERAH
  • EDUKASI
  • DESTINASI
  • LITERASI
  • RENYAH
  • TIPS
Home LITERASI ARTIKEL

Eksotisme dalam Wacana Pariwisata

Minggu, 30/6/24 | 07:07 WIB

Oleh: Arina Isti’anah
(Dosen Sastra Inggris, Universitas Sanata Dharma)

 

Kata eksotis sudah terdengar familiar di telinga kita. Berbagai wacana juga kerap menggunakan kata eksotis untuk mengasosiasikan alam dengan keindahannya, terutama yang ditemukan pada wilayah tropis seperti Indonesia. Eksotisme, menurut Said, merupakan wacana yang secara politis digunakan oleh rezim kolonial untuk menamai wilayah dan komunitas yang secara geo-kultural jauh dari Eropa atau Barat (Setiawan, 2023). Dengan kata lain, eksotisme acapkali digunakan untuk melabeli Timur atau non-Barat.

BACAJUGA

Metafora “Paradise” dalam Wacana Pariwisata

Frasa tentang Iklim dalam Situs Web Greenpeace

Minggu, 15/6/25 | 09:39 WIB
Metafora “Paradise” dalam Wacana Pariwisata

Dari Gunung Sinai ke Masjid Al Aqsa: Strategi Branding Promosi Hijab

Minggu, 04/5/25 | 06:41 WIB

Dalam wacana pariwisata, beberapa penelitian menyebutkan bahwa promosi destinasi pariwisata memanfaatkan pandangan Barat tentang eksotisme tersebut. Penggunaan kata eksotis atau exotic dalam bahasa Inggris tidak lain bertujuan untuk memenuhi pandangan dan selera Barat terhadap wilayah non-Barat. Destinasi wisata yang eksotis ditandai dengan beberapa ciri geografis, seperti pantai tropis, hutan lebat, pantai yang belum terjamah, hutan perawan, dan surga tropis. Pelabelan tujuan wisata berbasis alam seperti pantai dan hutan dengan adjektiva yang merujuk pada sifat terpencil, tropis, dan belum terjamah merupakan ciri khas eksotisme.

Dalam konteks pariwisata Indonesia yang dipromosikan melalui situs web Indonesia.travel, penggunaan metafora, seperti gem, pristine, dan paradise merupakan contoh lain dari eksotisme. Metafora tersebut digunakan untuk mengonseptualisasi keindahan alam dan budaya Indonesia yang tidak ditemukan di Barat. Ciri khas lain dari eksotisme adalah komoditas alam dalam pariwisata yang menjual kekayaan, keterpencilan, dan kelangkaan sumber dayanya, termasuk flora dan fauna. Sebagai contoh, frasa pristine beaches memproyeksikan pantai-pantai di Indonesia yang masih perawan, belum terjamah oleh orang, dan siap untuk menyambut eksplorasi turis Barat.

Namun demikian, eksotisme tidak selalu mendapatkan kritik positif dari para peneliti. Dalam kaca mata pos-kolonial, eksotisme justru dianggap melanggengkan kolonialisme. Wilayah yang ditawarkan sebagai pristine paradise justru ditemukan di wilayah yang kurang maju infrastruktur dan ekonominya.

Aktivitas yang berasosiasi dengan eksplorasi merupakan salah satu ciri khas kolonialisme spasial (Devine, 2017). Contoh pristine paradise di atas justru mereproduksi keinginan kapitalisme yang menempatkan alam sebagai objek konsumsi dan eksplorasi. Namun demikian, pariwisata Indonesia justru mereproduksi keinginan kapitalisme tersebut dalam promosinya. Jika ditilik dan dibandingkan dengan wacana promosi pariwisata secara umum, pristine paradise menjadai ciri khas promosi pariwisata di wilayah Timur, seperti yang ditemukan di wilayah Asia Pasifik lain (Jaworska, 2017).

Contoh lain dari ciri khas fitur linguistik yang menandai eksotisme adalah adjektiva hidden dan isolated seperti yang ditemukan dalam frasa hidden gem dan isolated island. Reproduksi dan repetisi isolated dan hidden dalam promosi pariwisata justru semakin memperkuat keyakinan sosial bahwa alam yang tersembunyi dan terpencil merupakan aspek berharga yang secara moneter menguntungkan manusia atau penyelenggara pariwisata. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa alam diperlakukan sebagai komoditas dalam wacana pariwisata.

Halaman 1 dari 2
12Next
Tags: #eksotimse#wacana pariwisataArina Isti'anah
ShareTweetShareSend
Berita Sebelum

Cerpen “Angkasa” Karya Bramstya Argadewa Bima Ryandie dan Ulasannya oleh Azwar

Berita Sesudah

Istilah “Magrib” dan “Orang Gila Mana” di Media Sosial

Berita Terkait

Salah Kaprah Penggunaan In dan Out di Ruang Publik

Salah Kaprah Penggunaan In dan Out di Ruang Publik

Minggu, 15/6/25 | 10:52 WIB

Oleh: Mita Handayani (Mahasiswa Magister Linguistik FIB Universitas Andalas)   Cassirer (dalam Lenk, 2020) mengatakan bahwa manusia adalah animal symbolicum,...

Metafora “Paradise” dalam Wacana Pariwisata

Frasa tentang Iklim dalam Situs Web Greenpeace

Minggu, 15/6/25 | 09:39 WIB

Oleh: Arina Isti’anah (Dosen Sastra Inggris, Universitas Sanata Dharma) Baru-baru ini kita disadarkan oleh fenomena kerusakan alam Raja Ampat yang...

Beban Tidak Kasat Mata Anak Perempuan Pertama

Beban Tidak Kasat Mata Anak Perempuan Pertama

Minggu, 08/6/25 | 08:17 WIB

Ilustrasi: Meta AI Oleh: Ratu Julia Putri (Mahasiswa MKWK Bahasa Indonesia 32 & Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Andalas)   “Kamu...

Epigram 60: Perayaan Ulang Tahun Terakhir Joko Pinurbo

Epigram 60: Perayaan Ulang Tahun Terakhir Joko Pinurbo

Minggu, 01/6/25 | 11:46 WIB

Oleh: Ghina Rufa’uda (Mahasiswa Prodi Sastra Indonesia dan Bergiat di Labor Penulisan Kreatif FIB Universitas Andalas)   Rekeningku hanya tempat...

Pesan Moral dalam Cerpen “Robohnya Surau Kami”

Pesan Moral dalam Cerpen “Robohnya Surau Kami”

Minggu, 01/6/25 | 11:18 WIB

Oleh: Sufrika Sari (Mahasiswi Prodi Sejarah dan Bergiat di Labor Penulisan Kreatif FIB Universitas Andalas) Kesalehan lahiriah bukanlah jaminan seseorang...

Literature Review Artikel “Power in the Discourse of West Sumatra Regional Regulation Number 7 of 2018 concerning Nagari”

Literature Review Artikel “Power in the Discourse of West Sumatra Regional Regulation Number 7 of 2018 concerning Nagari”

Minggu, 25/5/25 | 14:40 WIB

Oleh: Raisa Tanjia Ayesha Noori (Mahasiswa S2 Linguistik Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas) Peraturan Daerah (Perda) sering kali dianggap sebagai...

Berita Sesudah
Petinju dan Peninju; Manakah yang Benar?

Istilah “Magrib” dan “Orang Gila Mana” di Media Sosial

Discussion about this post

POPULER

  • Salah Kaprah Penggunaan In dan Out di Ruang Publik

    Salah Kaprah Penggunaan In dan Out di Ruang Publik

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Magister Ilmu Komunikasi FISIP UPNVJ Raih Akreditasi Baik Sekali dari BAN-PT

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Pasangan Kata “Bukan” dan “Tidak” dalam Bahasa Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Puan Maharani Apresiasi Meta Dukung Indonesia Berantas Judi Online

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Warga Koto Padang Dharmasraya Swadaya Perbaiki Jembatan Gantung yang Ambruk

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Aliansi OKP se-Dharmasraya Minta Polres Dharmasraya Tingkatkan Pengawasan Keamanan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Frasa tentang Iklim dalam Situs Web Greenpeace

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
Scientia Indonesia

PT. SCIENTIA INSAN CITA INDONESIA 2024

Navigate Site

  • Dapur Redaksi
  • Disclaimer
  • Pedoman Pemberitaan Media Siber
  • Tentang Kami

Follow Us

No Result
View All Result
  • TERAS
  • EKONOMI
  • HUKUM
  • POLITIK
  • DAERAH
  • EDUKASI
  • DESTINASI
  • LITERASI
    • ARTIKEL
    • CERPEN
    • KLINIK BAHASA
    • KREATIKA
    • PUISI
  • RENYAH
  • TIPS

PT. SCIENTIA INSAN CITA INDONESIA 2024