Oleh: Ria Febrina
(Dosen Prodi Sastra Indonesia FIB Universitas Andalas dan Mahasiswa Program Doktor Ilmu-Ilmu Humaniora Universitas Gadjah Mada)
Entah kenapa, beberapa hari ini saya dan keluarga membicarakan Kota Bandung. Barangkali karena orang tua ingin ke sana, akhirnya kami membicarakan kota kembang ini. Bandung dalam ingatan saya terekam berangka tahun 2006. Saya mengunjungi Bandung bersama teman putih abu-abu. Kala itu kami melakukan studi banding ke Universitas Padjajaran, lalu menikmati waktu berjalan di Kawasan Dago. Kala itulah pertama kali saya menikmati betapa syahdunya berjalan sembari melirik makanan, pakaian, dan cenderamata yang bertebaran di tepi jalan. Udara yang sejuk, membuat perjalanan tidak terasa melelahkan. Banyaknya cenderamata, juga membuat saya suka dengan kota ini.
Namun, siapa sangka. Tujuh belas tahun kemudian, saya ke Bandung lagi. Saya kembali bersama teman yang dulu sama-sama bersegaram putih abu-abu. Satu orang sudah menetap di Jakarta, satu orang masih di Kota Padang. Hari itu keduanya sedang berada di Jakarta. Mungkin sudah takdir, tiba-tiba kartu ATM Bank Nagari saya terblokir. Padahal, saya sedang berada di Yogyakarta.Karena gaji bulanan masuk ke bank ini, mau tidak mau saya harus segera mengurusnya. Sayangnya, kantor cabang Bank Nagari di Pulau Jawa hanya berada di Jakarta dan di Bandung. Saya pun menceritakan ini kepada mereka. Karena sejak SMA kami memang suka melakukan hal-hal di luar rencana, kami pun tiba-tiba berpikir, “Ini jalannya untuk bertemu”.
Kami sepakat membuat agenda, mengurus kartu ATM sembari jalan-jalan. Sebenarnya kami bisa mengunjungi Bank Nagari di Kota Jakarta, tetapi kami memilih mengurus kartu ATM di Bank Nagari Kota Bandung karena ingin kembali ke sana setelah 17 tahun tidak pergi bersama-sama ke kota itu.
“Tunggu ya, Hanum hubungi mitra dulu. Semoga kita bisa menginap sembari membuat konten di Bandung.”
Teman saya merupakan seorang influencer yang setiap hari memang berkeliling Indonesia untuk mempromosikan destinasi wisata. Mengulas perjalanan ke hotel, tempat makan, museum, dan galeri; menceritakan perjalanan naik bus, kereta api, dan pesawat; serta mencicipi sejumlah kuliner Nusantara, memang sudah menjadi tugasnya. Berkat pekerjaannya ini, kami pun mendapatkan penginapan gratis. Satu hari menginap di tengah kota dan satu hari menginap di sebuah apartemen dekat stasiun. Itulah ceritanya, akhirnya kami ke Bandung (lagi).
Selama perjalanan, kami tidak henti-hentinya menertawakan ide ini. Sejak di bangku SMA, kami memang suka berkelana. Dulu kami pernah menyusuri jalanan di Kota Padang hanya dengan berjalan kaki. Saya masih ingat kala kami berjalan dari Jalan Proklamasi, tepatnya dari gedung lama Padang Ekspres; lalu lurus ke Pasar Raya Padang, ke Masjid Muhammadiyah; hingga berbelok ke Jalan Ambacang. Kami berjalan sampai Pantai Padang. Tanpa rencana. Kami membiarkan kaki melangkah hingga berhenti di bagian belakang Taman Budaya Sumatera Barat. Orang Padang pasti tahu betapa jauhnya perjalanan tersebut. Kini kami malah melakukan perjalanan yang lebih jauh, tapi tidak dengan berjalan kaki. Kami mengendarai mobil dari Jakarta ke Bandung sembari mengingat satu per satu kisah-kisah yang kami utas sejak SMA.
Tiba di Jalan Braga
Perjalanan kami ke Bandung akhirnya dimulai setelah saya mendapatkan kartu ATM yang baru. Destinasi pertama yang kami kunjungi adalah Jalan Braga. Sebuah jalan di pusat Kota Bandung yang mampu memikat orang-orang untuk datang ke kota ini. Pesona Jalan Braga mirip dengan pesona Malioboro di Yogyakarta dan Kajoetangan di Malang. Namun, amat sayang jika kita hanya berjalan-jalan di sini. Jalan Braga punya banyak kisah sejarah. Akan lebih menyenangkan berjalan-jalan sembari menikmati kisahnya.
Jalan Braga pada tempo dulu disebut dengan Pedatiweg. Weg dalam bahasa Belanda berarti ‘jalan’. Dengan demikian, Pedatiweg bermakna Jalan Pedati. Dulu jalan ini merupakan sebuah jalan becek berlumpur yang dilewati oleh pedati pengangkut kopi. Pedati tersebut mengangkut kopi hasil tanam paksa pada masa Hindia Belanda (1831—1879). Kopi yang berasal dari tanah Priangan dikirim ke Koffie Pakhuis ‘gudang kopi’ untuk dikemas. Jalan Braga ini menjadi jalan penghubung antara gudang kopi milik Andreas de Wilde (sekarang Balai Kota Bandung) dengan Jalan Raya Pos (sekarang Jalan Asia Afrika).
Pada tahun 1882, nama Pedatiweg berganti menjadi Bragaweg, tepatnya setelah jalan diberi batu kali dan lampu minyak untuk penerangan jalan. Konon katanya nama Braga diambil dari nama seorang penulis naskah drama yang bernama Theorila Braga. Nama Braga dipakai karena di kawasan ini pernah bermarkas sebuah perkumpulan drama yang didirikan oleh orang Belanda yang bernama Peter Sijthot.
Namun, bagi orang Sunda, Braga diambil dari kata Baraga yang bermakna jalan di tepi sungai. Secara geografis, Jalan Braga memang terletak di tepi Sungai Cikapundung. Sementara itu, penulis sejarah, Haryoto Kunto menjelaskan bahwa nama Braga diambil dari kata ngabaraga yang bermakna memamerkan tubuh, nampang, atau mejeng.
Setelah Jalan Braga diperbaiki, kawasan ini menjadi ramai. Sebuah warenhuis atau toko kelontong didirikan. Namanya De Vries. Setelah itu, orang-orang Belanda pun membangun kedai kopi, butik, bioskop, restoran, hotel, dan bank. Sekitar tahun 1920-an, jalan ini pun menjadi pusat fashion. Barang-barang berkelas, seperti pakaian, arloji, dan mobil keluaran terbaru dijual di sini. Pakaian misalnya, mengikuti model fashion dari Kota Paris, jam tangan merupakan buatan Swiss, dan mobil merupakan produk Eropa.
Dalam buku Wajah Bandoeng Tempo Doeloe, Haryoto Kunto (1984) menceritakan bahwa kawasan ini menjadi pusat perbelanjaan untuk warga Eropa dan orang-orang yang berduit, seperti pengusaha perkebunan teh. Jalanan ini kemudian menjadi kompleks pertokoan Eropa paling terkemuka di Hindia Belanda atau yang disebut dengan De meest Eropeesche winkelstraat van Indie.
Selain berbelanja, para tokoh elite biasanya bersantai, berdiskusi, dan menikmati seni di sejumlah bangunan megah di jalan ini. Gedung-gedung indah, seperti Gedung Concordia (sekarang Gedung Merdeka), Hotel Savoy Homann, dan Grand Hotel Preanger merupakan saksi bisu kemegahan arsitektur pada masa tersebut. Tidak ingin melewatkan kisah jalan tersebut, kami pun mengambil rekaman di Jalan Braga ini. Kami membawa pulang sebuah video di traffic light yang menunjukkan keanggunan berjalan bak seorang peragawati jalanan.
Melintasi Museum KAA dan Monumen Solidaritas Asia Afrika
Setelah mengambil foto di beberapa spot di Jalan Braga, kami pun menuju Alun-alun Bandung. Tak lengkap rasanya ke sebuah kota kalau tidak singgah ke alun-alun. Meskipun cuma sejenak, kita bisa menikmati keramahan warga kota, serta keramaian orang-orang yang datang.
Ketika menuju Alun-alun Bandung, kami sedang berada di Gedung Merdeka. Di Gedung Merdeka ini para pemimpin dari negara-negara Asia dan Afrika pernah berkumpul. Mereka membahas masalah-masalah dunia dan memperjuangkan kemerdekaan serta perdamaian dalam sebuah peristiwa bersejarah yang kita kenal dengan Konferensi Asia Afrika (KAA).
Gedung Merdeka itulah yang dulu dikenal sebagai tempat berkumpul para elite Eropa. Dahulu bernama Societeit Concordia karena memang tujuannya untuk de bevordering van gezellig verkeer atau meningkatkan hubungan kalangan Eropa di Bandung. Societeit Concordia saat itu berfungsi sebagai gedung dansa atau tempat hiburan para sosialita kaya di Bandung dan sekitarnya. Di akhir pekan, pemilik atau karyawan perkebunan, pejabat, dan pengusaha kaya menikmati pertunjukan seni, tarian, dan makan malam di gedung ini.
Kini gedung yang berdiri di persimpangan Jalan Braga dan Jalan Asia Afrika tersebut menjadi Museum Konferensi Asia-Afrika. Di museum ini, memorabilia Konferensi Asia Afrika tersimpan dalam sejumlah koleksi foto, artefak, dan dokumentasi dalam ruang pameran, perpustakaan, dan ruang audiovisual. Sayang, kami tidak dapat menyaksikan koleksi tersebut. Meskipun demikian, kami tetap mengabadikan momen di luar gedung, lalu terus melangkah hingga menemukan Monumen Solidaritas Asia Afrika.
Monumen Solidaritas Asia Afrika merupakan sebuah monumen yang dibangun setelah perayaan 60 tahun Kongres Asia Afrika. Di monumen ini terukir nama-nama 29 negara Asia Afrika yang mengikuti konferensi. Monumen yang dirancang oleh seniman terkenal Indonesia ini menjadi simbolik persatuan dan perdamaian antara bangsa-bangsa Asia dan Afrika.
Desain monumen yang berwarna hitam dengan nama-nama negara terukir di dinding, serta sebuah globe di atasnya membuat kami ikut mengabadikan momen berdiri di depan monumen. Dari sisi ini, kami juga menikmati sebuah tulisan yang berisi “Bumi Pasundan lahir ketika Tuhan sedang tersenyum”. Sebuah tulisan dari fenomenolog, psikolog, budayawan Belanda yang bernama M.A.W. Brouwer. Tulisannya yang tajam, sarkastik, dan humoris sering muncul di berbagai media masa di Indonesia pada era 70-an sampai 80-an.
Kala menikmati tulisan tersebut, langit sore sudah mulai tampak. Cuaca sudah terasa agak dingin. Orang-orang juga sudah berlalu lalang. Kami pun memutuskan melanjutkan perjalanan ke Alun-alun Bandung. Kami ingin rehat sejenak setelah lelah berjalan dari Jalan Braga. Setiba di sana, saya dan kedua sahabat memilih duduk di pinggir alun-alun atau tepatnya di depan Masjid Raya Bandung. Saya menatap lama ke arah Alun-alun Kota Bandung yang terasa begitu berbeda dengan Alun-alun Kidul Yogyakarta.
Di Alun-alun Kota Bandung, orang-orang bisa duduk sembari bercengkrama dengan anggota keluarga. Mereka duduk di atas rumput sintetis yang menghampar luas tanpa khawatir tubuh kotor. Saya melihat anak-anak berlari, remaja berfoto, dan orang-orang rebahan. Sebuah pemandangan yang syahdu, menutup hari pertama kami di Kota Bandung. Kami bercengkrama sembari menikmati langit Kota Bandung yang biru, kemudian menguning, hingga berubah menjadi kelam sembari membahas 17 tahun sudah waktu kami lalui bersama.
Discussion about this post