Oleh : Riza Andesca Putra
(Dosen Departemen Pembangunan dan Bisnis Peternakan Unand & Mahasiswa Program Doktor Penyuluhan dan Komunikasi Pembangunan UGM)
Sektor pertanian memegang peranan yang sangat penting dan strategis dalam pembangunan nasional. Minimal terdapat dua kontribusi besar sektor pertanian, yaitu sebagai penyedia bahan pangan dan penyedia lapangan pekerjaan bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Terpenuhinya pangan secara kuantitas dan kualitas merupakan hal yang sangat penting dan sebagai landasan bagi pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dalam jangka panjang. Bahkan ketersediaan pangan masuk sebagai salah satu komponen yang mesti dipenuhi guna menjaga kedaulatan bangsa.
Kontribusi sebagai penyedia lapangan pekerjaan juga begitu penting. Terdapat 28,21% dari angkatan kerja Indonesia berusaha di sektor pertanian (https://databoks.katadata.co.id/,2023). Ini merupakan angka tertinggi dari total 17 sektor penyerap tenaga kerja yang ada di Indonesia. Begitu pentingnya keberadaan sektor pertanian dalam pembangunan nasional, menghendaki sektor ini mesti mendapatkan perhatian lebih. Semua elemen bangsa mesti terlibat. Tidak hanya pemerintah, namun swasta, masyarakat serta perguruan tinggi mesti berkontribusi sesuai karakter masing-masing. Tidak hanya dari pusat, namun daerah juga mesti terlibat aktif.
Salah satu strategi dalam menyukseskan pembangunan pertanian tersebut adalah dengan penyuluhan. Dalam Bahasa Indonesia istilah penyuluhan berasal dari kata dasar ”Suluh” yang berarti pemberi terang di tengah kegelapan. Menurut Zakaria (2006), penyuluhan pertanian adalah upaya pemberdayaan petani dan nelayan beserta keluarganya malalui peningkatan pengetahuan, keterampilan, sikap dan kemandirian agar mereka mau dan mampu, sanggup dan berswadaya memperbaiki/meningkatkan daya saing usahanya, kesejahteraan sendiri serta masyarakatnya.
Dalam UU RI No. 16, tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan, Dan Kehutanan (SP3K) Tahun 2006 disebutkan bahwa penyuluhan pertanian adalah suatu proses pembelajaran bagi pelaku utama (pelaku kegiatan pertanian) serta pelaku usaha agar mereka mau dan mampu menolong dan mengorganisasikan dirinya dalam mengakses informasi pasar, teknologi, permodalan, dan sumberdaya lainnya, sebagai upaya untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi usaha, pendapatan, dan kesejahteraan, serta meningkatkan kesadaran dalam pelestarian fungsi lingkungan hidup.
Penyuluhan pertanian telah memiliki sejarah yang cukup panjang dalam pembangunan pertanian nasional. Mulai dari sebelum kemerdekaan, pasca kemerdekaan, orde lama, orde baru, reformasi dan kekinian. Artikel ini mencoba mengupas isu-isu penyuluhan pertanian pada masa orde baru hingga sekarang. Berbagai isu pun beredar dan jadi pembahasan pihak-pihak terkait, seperti : orientasi produksi, farmer first, desentralisasi, privatisasi penyuluhan dan yang terbaru pemanfaatan teknologi informasi komunikasi dalam penyuluhan.
Isu orientasi produksi sangat lekat pada penyuluhan pertanian Indonesia pada masa awal orde baru. Karena pada masa ini Indonesia dikenal dunia sebagai pengimpor beras terbesar yang mencapai lebih dari satu juta ton per tahun (Rusli, 1989). Oleh karena itu, pemerintah berusaha untuk menggenjot produksi dengan serius yang dikenal dengan istilah revolusi hijau. Penyuluhan pada periode ini digunakan sebagai salah satu alat produksi pertanian atau fokus pada alih teknologi untuk meningkatkan produktivitas pertanian (terutama beras).
Berbagai macam program pertanian dilaksanakan oleh pemerintah dengan support anggaran yang besar. Program-program tersebut diantaranya: Demonstrasi Massal Swasembada Beras (Demas SSB), Bimbingan Massal (Bimas), Intensifikasi Khusus (Insus), Supra Insus dan sebagainya. Melalui berbagai program tersebut, diintroduksikan berbagai teknologi pertanian modern (benih unggul, pupuk buatan, irigasi dan lain-lain) dan ditumbuhkan kesatuan petani untuk bercocok tanam secara baik dan bergabung dalam kelompok tani untuk mempermudah komunikasi antar petani dan pembinaannya (BPLPP, 1978; Tim Faperta IPB, 1992). Model pembangunan pertanian pada periode ini menghantarkan Indonesia mencapai swasembada beras pada tahun 1984.
Namun cara ini memunculkan perdebatan dan meninggalkan masalah lain. Revolusi hijau dilakukan sentralistik membuat daerah kehilangan kreatifitas karena sengat tergantung dengan instruksi pusat. Fokus perhatian kepada alih teknologi dan peningkatan produktivitas pertanian, membuat perhatian kepada pengembangan manusia (petani) menjadi terabaikan. Kemandirian daerah, kemandirian dan keberdayaan petani, menjadi suatu yang mahal. Selain itu, alokasi anggaran yang sangat besar pada masa ini, membuat pemerintah “kehabisan bensin” dalam menyuplai anggaran pada tahun-tahun berikutnya.
Kemudian, setelah masa revolusi hijau berakhir, pembangunan pertanian kembali ke kodratnya. Tidak ada lagi support anggaran dan sumberdaya yang melimpah. Entah karena kesadaran substansial atau karena keterbatasan anggaran, digunakan pendekatan baru dalam pembangunan pertanian, yaitu farmer first. Pendekatan farmer first dipopulerkan oleh Robert Chambers. Pendekatan ini mendahulukan atau memprioritaskan petani (manusia) dalam proses pembangunan. Kata kunci dari farmer first adalah pemberdayaan petani, upaya menjadikan petani lebih memiliki daya sehingga mereka mampu mengelola dan mengembangkan kehidupan atau usaha mereka sendiri.
Salah satu kegiatan penyuluhan melalui pendekatan farmer first yang terkenal adalah sekolah lapangan atau sekolah lapang (SL). Kegiatan SL ini tergolong lumayan berhasil dalam upaya pemberdayaan petani. Bahkan sampai saat ini, SL masih dilakukan oleh sebagian penyuluh. Namun, karena keterbatasan anggaran dan kendala-kendala lainnya, kegiatan penyuluhan pertanian pun belum bisa dilakukan secara maksimal.
Bersambung…
Discussion about this post