Oleh: Ronidin
(Dosen Sastra Indonesia FIB Universitas Andalas)
Terpasah di Bulaksumur saya bersyukur. Tempat itu menjadi bagian dari sejarah hidup saya. Sebagian dari umur saya dihabiskan di sana. Di kawasan itu dunia saya berpendar. Ilmu bertambah. Pengalaman bertambah. Tak sedikit kenangan terukir di sana. Tentu saja bukan hanya saya, sudah tidak terhitung anak UGM yang seperti saya. Mereka merancang hidup dan masa depan di Bulaksumur. Begitulah, di Bulaksumur UGM berdiri kokoh, mencetak generasi emas masa depan bangsa.
Sepanjang menuntut ilmu di Bulaksumur, ada penasaran saya yang belum terjawab hingga kini. Setiap saya berjalan di sepanjang kawasan Bulaksumur tersebut, saya selalu mencari-cari di mana kira-kira lokasi sumur yang dibangun di zaman Belanda untuk menjadi sumber air perkebunan tebu di kawasan itu. Ada yang menyebut lokasinya di sekitar Fakultas Kehutanan UGM di timur Rektorat UGM. Ada juga yang menyebut lokasi sumur itu berada di antara Fakultas Pertanian dengan lembah UGM. Kalaupun saya bertemu sumber air yang terus mengalir dan membentuk kolam yang tidak pernah kering, itu ada di musala apung di gedung lengkung UGM. Mungkinkah di situ tempat sumur itu? Entahlah. Tidak ada yang pasti di mana persisnya lokasi sumur itu. Satu yang pasti bahwa di tempat-tempat itu kini berdiri gedung-gedung besar untuk perkuliahan. Bisa jadi sumur itu tertimbun di bawah gedung-gedung itu, atau tertimbun di hutan percobaan di sekitar Fakultas Kehutanan, atau di Lembah yang sekarang jadi tempat parkir dan kawasan relaksasi, atau di musala apung gedung Lengkung.
Penasaran saya mencari lokasi sumur tersebut berkaitan dengan latar belakang alias asal usul nama Bulaksumur. Menurut berbagai sumber yang pernah saya baca, Bulaksumur berasal dari kata “bulak” dan “sumur”. Kata “bulak” berarti jalan panjang yang diapit oleh persawahan (perkebunan), sedangkan kata “sumur” berarti sumber air buatan dengan cara menggali tanah. Gabungan kedua kata itulah yang menjadi Bulaksumur. Kononnya di kawasan bulak itu dibangun sebuah sumur besar berdiameter 7,5 m dengan kedalaman 11 m yang diharapkan dapat berguna sebagai sumber air perkebunan tebu di kawasan tersebut. Setelah sumur selesai dikerjakan dan kemudian diresmikan, semua yang berkepentingan dan terlibat di sana bersepakat memberi nama tempat itu Bulaksumur. Sekarang Bulaksumur menjadi alamat resmi kampus UGM.
Bila sumur yang menjadi bagian dari Bulaksumur sudah tidak ditemukan, jalan panjang yang disebut sebagai bulak masih ada. Jalan tersebut adalah jalan raya (utama) yang membelah dua kampus UGM antara bagian timur dan bagian barat. Di timur jalan berderet-deret dari gerbang utama masuk UGM, Graha Saba Pramana, Perpustakaan, Rektorat UGM, dan hutan Fakultas Kehutanan. Di bagian barat jalan ada Fakultas Geografi, Farmasi, dan Kesehatan Masyarakat. Jalan itu merupakan pangkal ke Jalan Kaliurang (Jakal). Jalan itu akan ramai oleh pedagang makanan di kiri-kanannya bila senja sudah menjelang. Banyak mahasiswa UGM makan malam di sana. Jalan itu di pusat UGM, tidak bisa ditutup karena akses tercepat dari Jalan C Simajuntak ke utara (Kaliurang).
Bagi saya, belajar di Bulaksumur menyenangkan. Walaupun wilayah itu dapat dikatakan sebagai pusat kota yang padat dan sibuk, tetapi suasana di sekitarnya nyaman. Ada banyak pohon yang masih terawat baik di sekitarnya. Di bawah pohon-pohon itu dibangun selasar-selasar untuk berdiskusi, untuk membaca, dan untuk bersantai selepas kuliah di ruangan. Juga ada kantin-kantin untuk kebutuhan perut. Musala dan masjid sebagai pusat kegiatan keislaman ada di setiap fakultas. Juga ada masjid kampus UGM tanpa dinding yang nyaman dan sejuk. Fasilitas mahasiswa berkegiatan ekstrakurikuler ada di masing-masing fakultas dan di Lembah UGM. Perpustakaan yang berdiri di antara Graha Saba Pramana dan Rekorat UGM dirindangi oleh pohon-pohon besar yang membuat nyaman.
Selain itu semua, UGM juga menyediakan hotel atau tempat penginapan yang reprsentatif. Universty Club (UC) adalah tempat menginap setara hotel bintang 3 yang ada di kawasan Bulaksumur, di dalam kampus UGM. Lalu ada pula hotel MM UGM yang representatif yang juga masih dalam kawasan UGM. Banyak tamu dari luar yang jika berkunjung ke UGM, bahkan ke Yogyakarta menginap di kedua tempat tersebut. Jadi, suasana di Bulaksumur tidak sesumpek bila kita membayangkan suasana di tengah kota yang ramai. Belajar, berdiskusi, berseminar, dan berkegiatan akademik lainnya di area kampus Bulaksumur selalu menyenangkan. Kondisi ini di topang pula oleh keadaan di kawasan penyangga UGM di kawasan sekitar kampus yang aman dan nyaman. Kalau pun ada sesuatu yang mengganggu kenyamanan di dalam lingkungan kampus, itu lebih pada kondisi insidentil, seperti misalnya pengerjaan proyek ini dan itu yang bising dan tidak tuntas-tuntas.
Sebagai mahasiswa yang belajar di UGM, dalam suasana Bulaksumur yang seperti inilah saya menghabiskan waktu dari Senin hingga Jumat. Ada pula mahasiswa yang berkegiatan di hari Sabtu, bahkan Minggu. Itu menyenangkan hati. Kadang juga membuat kening berkerut kalau ada deadline tugas yang harus segera dikumpulkan. Suasana di Bulaksumur seperti ini agaknya menjadi pengalaman akademik yang memberi kemudahan bagi mahasiswa untuk menyelesaikan studinya. Aktivitas yang dilakukan selain kuliah di kelas adalah ke perpustakaan, menghadiri seminar atau diskusi ilmiah, bimbingan dengan dosen pembimbing, kongkow-kongkow di selasar-selasar yang ada, makan-makan di kantin atau kafe di sekitar kampus, berselancar mencari bahan referensi dengan wifi kampus yang terbuka untuk mahasiswa, dan sebagainya. Ada pula mahasiswa yang ke kampus hanya untuk mengembalikan atau memperpanjang buku yang dipinjam di perpustakaan karena takut denda jatuh tempo. Selepas itu pulang kembali ke kosan.
Senin hingga Jumat di Bulaksumur menjadi perjalanan hidup yang tidak akan terlupakan. Berbagai peristiwa dialami di masa itu. Ada mahasiswa yang mulus-mulus saja langkahnya. Ada yang tersendat. Ada pula yang di antara keduanya, tetapi yang terpenting, lembaran hidup di Bulaksumur merupakan perjalanan akademik yang menggairahkan. Tidak banyak yang berkesempatan menikmati suasana Bulaksumur seperti yang dikatakan di atas. Banyak dari anak bangsa yang bermimpi ke Bulaksumur, tetapi tidak diizinkan yang Maha Kuasa. Perjalanan akademik di Bulaksumur adalah anugerah Ilahi yang perlu dipertanggungjawabkan dengan kesuksesan akademik pula. Maka amat celakalah mereka yang ke Bulaksumur hanya untuk menghabiskan umur semata, tidak sampai pada cita-cita yang diimpikan.
Demikianlah, belajar di Bulaksumur bagi saya sesuatu yang spesial walaupun ada yang mengatakan bahwa Bulaksumur itu angker. Angker yang dimaksud itu bisa jadi bukan dalam suasana akademik karena suasana akademik di Bulaksumur sangat memanusiakan. Civitas akademika Bulaksumur pada umumnya memberikan pelayanan yang terbaik bagi para pembelajar. Bisa jadi angker yang dimaksud itu merupakan suasana di luar logika yang sengaja diciptakan untuk tujuan tertentu. Misalnya ada yang menyebut bahwa di bawah-bawah pohon di sekitar kawasan lembah ada makhluk lain yang akan menampakkan diri pada waktu tertentu. Di bawah pohon beringin besar di depan Fakultas Teknik, di utara Rumah Sakit Sarjito sering terdengar suara-suara aneh yang menggidikkan bulu roma. Begitu pula lolongan aneh di hutan Fakultas Kehutanan yang akan muncul pada waktu-waktu tertentu.
Menurut saya, itu ada mitos Bulaksumur yang diciptakan untuk menakut-nakuti. Sebagai pemeluk agama yang teguh, kita meyakini bahwa memang ada makhluk lain di luar manusia. Akan tetapi, makhluk-makhluk itu tentunya bekerja atas kehendak Allah. Dan tidak mungkin Allah akan mencelakakan hamba-Nya yang sedang sungguh-sungguh menuntut ilmu di sekitar kawasan Bulaksumur, UGM, Yogyakarta. Wallahualam bissawab.
Discussion about this post