Lastry Monika
(Kolumnis Rubrik Renyah)
Ketika berada di Sekolah Menengah Atas (SMA) seorang guru laki-laki memberi khotbah kepada kami para siswi sebelum pelajaran usai. Khotbah itu menyoal bagaimana di masa depan kami harus menjadi perempuan seutuhnya karena insting keibuan telah menyertai kami sedari lahir.
Beliau bilang, kami belum akan menjadi perempuan seutuhnya bila kelak tidak melahirkan secara normal. Guru tersebut berpikir bahwa perempuan yang melahirkan secara caesar adalah perempuan egois yang tidak ingin daerah kewanitaannya mengalami perubahan.
Selain berkhotbah soal proses persalinan yang baginya menentukan utuh atau tidaknya seorang perempuan, guru itu juga membahas soal proses menyusui. Ia berkata bahwa perempuan yang tidak menyusui bayinya hanyalah didasarkan keengganan karena tidak ingin payudaranya berubah bentuk. Hal ini bagi guru tersebut dianggap menyalahi kodrat perempuan.
Ketika itu kami tidak memberi respons apapun selain membenarkan khotbah guru tersebut. Beberapa tahun kemudian barulah di antara kami menyadari bahwa proses persalinan harus dilakukan dengan mempertimbangkan keselamatan ibu dan bayi yang dikandungnya.
Barangkali tidak hanya satu atau dua kali kita menemukan kasus meninggalnya seorang ibu atau bayi karena pihak keluarga bersikeras untuk lahiran normal. Pertengahan tahun ini salah satu kasus viral ialah bayi yang berujung meninggal karena keluarga suami ngotot ibu hamil melahirkan secara normal. Seorang bidan bernama Laelatul Badriah mengunggah kejadian tersebut di akun TikTok miliknya. Rupanya di tahun-tahun yang katanya semakin maju ini, persoalan lahiran normal atau tidak masih diposisikan sebagai persoalan yang menentukan nilai keperempuanan seseorang.
Persoalan melahirkan dan menyusui juga seringkali dikaitkan dengan insting keibuan. Kedua hal itu seolah menjadi proses yang mau tidak mau harus dijalani oleh seorang perempuan. Insting untuk menjadi ibu dan mengasuh dianggap bawaan yang terkait dengan kondisi biologisnya. Padahal, seperti dikatakan Lianawati lewat tulisannya yang berjudul “Ibu dan Kesakitan-Kesakitannya”, hanya karena perempuan memiliki rahim tidak membuat perempuan terlahir untuk harus menjadi ibu.
Perempuan yang suka di rumah, suka beres-beres, pandai memasak, dan suka anak kecil akan mendapat label bahwa ia memiliki jiwa keibuan. Perempuan dikatakan memiliki insting untuk mengasuh secara natural. Mengutip penelitian sosiobiologi yang dilakukan oleh Sarah Bluffer Hrdy dan Chterine Dulac, rupanya insting mengasuh tidak hanya ada pada perempuan, melainkan juga ada pada laki-laki. Namun, insting tersebut tidak dapat aktif begitu saja tanpa dipengaruhi oleh faktor lingkungan sosial. Sayangnya, sebagian besar lingkungan sosial hanya memperuntukkan insting tersebut aktif pada perempuan.
Menjadi ibu bukanlah peran alami dan kemampuan bawaan. Akan tetapi, menjadi ibu adalah sebuah proses belajar yang cara dan rentang waktunya akan berbeda di antara setiap perempuan. Menjadi ibu mungkin saja adalah bayangan yang amat indah bagi sebagian orang, namun tidak bagi sebagian lainnya. Tidak perlu ada penghakiman untuk pilihan tersebut sebab menjadi ibu bukanlah perkara mudah. Memiliki pertimbangan yang matang jauh lebih penting ketimbang hanya karena orang lain menjadi ibu kita juga harus menjadi ibu.
Discussion about this post