Oleh: Ria Febrina
(Dosen Prodi Sastra Indonesia Universitas Andalas dan Mahasiswa Program Doktor Ilmu-Ilmu Humaniora Universitas Gadjah Mada)
Yogyakarta memang selalu menyuguhkan jamuan yang istimewa. Kali ini saya diajak teman yang datang dari Jakarta untuk ikut menikmati fasilitas yang disediakan oleh Pemerintah Kota Yogyakarta. Merasakan keseruan menaiki Bus Jogja Heritage Track yang tiap hari selalu berseliweran di jantung Kota Yogyakarta.
Ada dua bus yang disediakan, yakni bus Malioboro yang berwarna merah dan bus Kraton berwarna kuning. Kedua bus ini selalu beriringan dari Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menuju tiga rute yang ditetapkan. Pertama, rute Sangkan Paraning Dumadi menuju Tugu, Kraton, dan Panggung Krapyak yang dijadwalkan pukul 09.00 WIB; kedua, rute Paraning Dumadi menuju Tugu Jogja dan Kraton yang dijadwalkan pukul 11.00 WIB; dan ketiga, rute The Legacy menuju Kraton, Pura Pakualaman, dan Kota Baru yang dijadwalkan pukul 14.00 WIB. Sebenarnya ada lagi rute baru yang bernama Colonial Heritage, tetapi kalau kita buka website jogjaheritage.com, jadwalnya belum ada.
Kali ini teman saya dan saya sudah reservasi untuk menaiki bus dengan rute Paraning Dumadi. Kami berkesempatan menaiki bus kraton yang berwarna kuning. Dengan mengenakan baju batik sebagai syarat perjalanan, kami duduk bersama enam orang lainnya di dalam bus, yang ternyata mahasiswa pascasarjana UGM. Ada yang datang dari Sulawesi, dari Pulau Sumatera seperti kami, dan ada juga yang datang dari Pulau Jawa. Di dalam Bus Jogja Heritage Track ini, kami disuguhkan kisah kawasan Sumbu Filosofi Jogja. Kehadiran bus ini memang untuk mensosialisasikan kawasan tersebut kepada masyarakat. Apalagi, sejak 18 September 2023, Sumbu Filosofi Jogja sudah ditetapkan sebagai Situs Warisan Budaya Dunia oleh Unesco.
Dalam perjalanan kali ini, kami didampingi oleh Mbak Retno sebagai tour guide. Beliau menceritakan sejarah sumbu filosofi ini yang sesungguhnya adalah kisah tentang kerajaan Yogyakarta, yakni Kesultanan Ngayogyakarta, yang eksis sejak 1755. Kerajaan yang sudah berusia 267 tahun ini, sekarang dipimpin oleh Sultan Hamengku Buwono X.
Mbak Retno menceritakan bahwa sumbu filosofi sebenarnya kisah tentang Sultan Hamengki Buwono I kala mendesain Kota Yogyakarta. Pertama, beliau membangun Keraton di bagian tengah, lalu di bagian utara, dibangun sebuah monumen, yaitu Monumen Tugu Yogyakarta, serta di sebelah selatan, dibangun sebuah bangunan, yaitu Panggung Krapyak. Kalau dihubungkan ketiga bangunan ini dengan menarik garis lurus, terbentuklah Sumbu Filosofi.
Kenapa dinamakan Sumbu Filosofi? Ternyata di sepanjang area ini, terkandung makna filosofis. Ke dalam setiap bangunan, jalan, dan kampung, disematkan makna filosofis, yakni tentang konsep Islam Jawa, yaitu Sangkan Paraning Dumadi. Secara etimologis, sangkan bermakna ‘asal mula, asal-usul’, paraning bermakna ‘tujuan’, dan dumadi bermakna ‘kejadian’. Dengan demikian, Sangkan Paraning Dumadi bercerita tentang konsep daur hidup manusia, mulai dari asal mula dari mana, tujuan hidup di dunia seperti apa, dan bagaimana caranya kembali kepada Tuhan Sang Pencipta.
Bus Jogja Heritage Track ini menawarkan dua cara membaca sumbu filosofis. Pertama, membaca sumbu sisi selatan yang bercerita tentang konsep asal mula hidup manusia dengan cara membacanya dari Panggung Krapyak ke Keraton, serta kedua, dengan cara membacanya dari Tugu Yogyakarta ke Keraton, yang bercerita tentang perjalanan spiritual kembali kepada Tuhan yang dikenal dengan Sangkan Paraning Dumadi.
Perjalanan kami kali ini mengambil sisi utara. Kami pun mendengar kisah tentang perjalanan spiritual kembali kepada Tuhan. Kisah perjalanan ini diawali ketika kami tiba di Monumen Tugu Yogyakarta yang dikenal sebagai landmark Kota Yogyakarta yang ikonik. Tugu Yogyakarta yang asli dibangun pada masa Sultan Hamengku Buwono I dengan bentuk seperti yang berada di pojokan, yang bernama Tugu Golong Gilig. Golong artinya bulat seperti bentuk puncaknya, serta gilig artinya silinder atau tabung seperti bentuk badannya. Tinggi Tugu Golong Gilig ini mencapai 25 meter atau dua kali Tugu Yogyakarta yang sekarang. Namun, tugu ini hancur ketika terjadi gempa bumi pada tahun 1867.
Pada zaman Sultan Hamengku Buwono Ke-7, setelah situasi dirasa aman, pemerintah kembali membangun tugu pengganti. Namun sayangnya, tugu dibangun dengan bentuk yang baru. Arsiteknya kala itu adalah orang Belanda sehingga terciptalah tugu dengan bentuk yang sangat estetik seperti sekarang ini. Namun dibalik itu, tentu ada pertanyaan, kenapa bentuknya berubah? Perubahan terjadi karena merupakan strategi bangsa Belanda dalam menghadapi masyarakat Yogyakarta.
Dahulu Tugu Golong Gilig ini mengandung makna yang sangat luar biasa, yakni sebagai simbol manunggaling kawula Gusti atau sebagai simbol persatuan manusia dengan Sang Pencipta. Dalam artian kecil, bisa juga sebagai simbol rakyat dan raja. Kalau rakyat dan raja bersatu melawan Belanda, Belanda tentu akan menjadi repot. Oleh karena itu, diadakan upaya dari Belanda untuk merobohkan makna filosofis tersebut dengan mengganti bentuk tugu menjadi seperti sekarang, yang kemudian dinamakan dengan Tugu Pal Putih.
Setelah melintasi Tugu Yogyakarta, bus kami melaju ke arah selatan. Perjalanan dari Tugu Yogyakarta ke Keraton membentuk garis lurus yang mencerminkan perjalanan spiritual kembali kepada Tuhan dengan konsep Manunggaling Kawula Gusti atau kembali kepada Tuhan. Bagaimana cara kembali kepada Tuhan? Mbak Retno menggambarkan dengan empat ruas jalan. Pertama, dengan melewati ruas Jalan stasiun Tugu yang dinamakan dengan Margo Utomo yang bermakna margo ‘jalan’ dan utomo ‘keutamaan’ sehingga artinya Jalan Keutamaan. Kedua, melewati ruas Jalan Malioboro.
Bagi masyarakat Jawa, Malioboro menyimpan dua versi makna. Pertama, ada versi sejarah yang dikemukan oleh peneliti Prof. Peter Carey yang menyebutkan bahwa Malioboro berasal dari bahasa Sanskerta, yakni maliabara yang bermakna ‘jalan dengan untaian bunga’. Dahulu kala Sultan pulang dari perjalanan dinas atau perjalanan kenegeraan, dari Tugu Yogyakarta sampai Keraton, dihiasi dengan karangan bunga. Oleh karena itu, jalan ini disebut dengan maliabara.
Kedua, berkenaan dengan cara masyarakat Jawa yang tidak membaca [a] dengan [a], tidak juga dengan [o], tetapi dengan /ɔ/ seperti mengucapkan honocoroko. Secara filosofis, Malioboro terdiri atas dua kata, yaitu malio yang mengacu pada kata wali songo, yaitu sembilan orang yang menyebar agama Islam di Jawa, serta boro dari kata pengemboro ‘pengembara’. Maksudnya, setelah memilih jalan kebaikan, kita akan mengembara di dunia ini dengan tetap berpegangan pada ajaran agama, yaitu ajaran kebaikan. Sebenarnya agama yang dimaksud adalah agama masing-masing, tetapi karena ini ajaran Islam, masyarakat berpegang pada ajaran agama Islam.
Kenapa masyarakat harus berpegangan pada ajaran agama? Ternyata karena godaan di dunia itu banyak, yang menurut orang Jawa berkaitan dengan tiga hal, yaitu harta, tahta, dan wanita. Sultan Hamengku Buwono I mewujudkan godaan tersebut ke dalam bentuk bangunan yang dilewati oleh Bus Jogja Heritage Track ini. Pertama, pada bangunan yang berada di sebelah kiri, yang sering menjadi foto lokasi prewedding, yaitu Kantor Gubernur Yogyakarta. Pada zaman dahulu, gedung tersebut merupakan Gedung Kepatihan, yakni rumah seorang patih yang menjadi tangan kanan raja dalam melaksanakan pemerintahan. Gedung ini menjadi wujud godaan hidup yang pertama, yakni berkaitan dengan jabatan dan kekuasaan.
Kedua, berkaitan dengan harta. Sultan Hamengku Buwono I mewujudkannya dalam pusat perekonomian berupa pasar utama di kawasan ini, yaitu Pasar Beringharjo. Pada zaman dahulu, pasar ini dikenal dengan nama Pasar Gede. Bangunan ini merupakan wujud dua godaan sekaligus karena berkaitan dengan harta dan wanita. Tak lain tak bukan karena yang melaksanakan aktivitas di pasar adalah wanita.
Beringharjo sendiri berasal dari kata beringin harjo. Dulu sebelum didirikan bangunan permanen seperti sekarang ini, orang-orang berjualan di bawah pohon beringin. Pada zaman Sultan Hamengku Buwono Ke-8, kawasan tersebut diganti menjadi bangunan. Nama Beringharjo diberikan sebagai harapan Sultan agar para pedagang yang tadinya hanya berjualan di bawah pohon beringin akan mendapatkan keharjoan atau kesejahteraan.
Dalam sejarahnya, Malioboro sebenarnya hanya sampai Kantor Gubernur D. I. Yogyakarta. Dari Kantor Gubernur ke Pasar Beringharjo, jalannya bernama Margo Mulyo yang artinya Jalan Kemuliaan. Inilah yang dikenal dengan ruas jalan ketiga. Manusia yang tadi mengembara, berpegangan pada ajaran agama hingga sampai di jalan penuh kemuliaan ini.
Setelah itu, barulah kemudian dilanjutkan ke ruas jalan keempat, yaitu Jalan Pangurakan, yang terletak di depan Gedung BNI hingga Alun-alun Utara. Kata pangurakan ini ternyata berasal dari kata urak yang bermakna ‘usir’. Apa yang diusir? Jawabannya, segala hawa nafsu manusia yang bersifat negatif. Jalan ini menunjukkan bahwa manusia sudah mendekati gambaran bertemu dengan Tuhan. Dalam tata kota, disiratkan dengan bahwa rakyat sudah mendekati gambaran bertemu dengan raja.
Secara filosofis, jalan ini juga bermakna bahwa manusia harus bersih, suci, dan bertobat di ujung jalan pangurakan ini karena jalan ini merupakan gambaran sudah selesainya hidup di dunia. Dalam konsep Islam, manusia percaya bahwa suatu saat akan dibangkitkan dari kubur dan dikumpulkan di Padang Mahsyar. Gambaran ini diwujudkan berupa halaman depan Kraton Yogyakarta, yaitu Alun-alun Utara. Itulah mengapa Alun-alun Utara kini ditutup karena dianggap sebagai area yang sakral, di samping katanya dulu ada masyarakat yang menggunakan kawasan ini untuk aktivitas yang tidak baik.
Nah, kisah ini menjadi akhir sejarah yang kami nikmati dalam perjalanan menaiki Bus Jogja Heritage Track. Jika ingin mendengar sejarah lainnya, kami harus war ticket lagi untuk mendapatkan kesempatan menaiki rute lainnya, yakni ke Panggung Krapyak dan ke Pura Pakualaman. Meskipun sudah berakhir, kami tidak langsung kembali ke lokasi awal. Kami diizinkan turun dan berfoto bersama di Museum Sonobudoyo sebelum akhirnya kembali ke kantor Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta.
Teman-teman yang datang ke Yogyakarta, jangan lupa menikmati perjalanan keliling Yogyakarta dengan menaiki Bus Jogja Heritage Track ini ya! Siapa pun dengan usia minimal 15 tahun atau setara SMP, dapat menaiki bus ini dengan kuota maksimal 8 orang per bus. Reservasi mandiri biasanya dibuka pada H-3, mulai pukul 12.00 WIB. Ingat, ketika menaiki bus ini, kita diminta untuk mengenakan batik atau kemeja, serta harus bersepatu. Kita tidak diperkenankan mengenakan kaos, celana pendek, dan sandal. Namun, tidak ada biaya yang dipungut alias gratis ketika menikmati bus panoramik dengan jendela besar di sisi kanan dan sisi kiri. Sebagai penumpang, kita akan puas menyaksikan pemandangan luar Kota Yogyakarta. Jadi, kapan kamu akan reservasi?
Discussion about this post