Oleh: Ronidin
(Dosen Sastra Indonesia FIB Universitas Andalas)
Bila di Minangkabau kita menganal lapau, di Yogyakarta ada angkringan. Fungsinya sama, tempat untuk mengisi perut dan mengobrol. Bila di Minangkabau dikenal ota lapau, di Yogyakarta dikenal obrolan angkringan. Kedua tempat ini egalitarian. Semua bisa makan di sini dan bisa berbicara apa saja sepuasnya. Di sini tidak ada perbedaan kelas sosial. Semua sama. Si miskin maupun si kaya sama-sama berderai ota-nya di kedua tempat ini.
Di Yogyakarta angkringan lebih populer dari pada di tempat asalnya. Ada yang menyebut asalnya dari Solo, ada pula dari Klaten. Konon Eyang Karso dari Klaten dan Mbak Wirso dari Solo yang memperkenalkan angkringan ini. Mulanya dengan gerobak pikul, lalu beralih ke gerobak dorong, lalu ke meja besar, dan kini angkringan seperti kafe moderen. Yang dijual di angkringan adalah minuman dan makanan tradisional yang murah meriah, masakan kampung. Menu paling favorit di angkringan Yogyakarta ialah nasi kucing, yaitu nasi bungkus porsi kecil yang dibungkus dengan daun pisang, di dalamnya selain nasi ada lauk teri, telur iris, tempe, kadang timun, dan sambal. Satu porsi dijual murah meriah, dua sampai empat ribu Rupiah. Untuk bisa kenyang senormalnya diperlukan dua sampai 3 bungkus.
Angkringan lebih populer di Yogyakarta karena banyak mahasiswa yang berbelanja di sana karena harga makanan dan minumannya yang murah. Selain mengisi perut mereka juga dapat mengobrol berbagai hal mengenai perkulihan di sana. Tapi itu dulu, kini tidak lagi. Kini mahasiswa telah berpindah ke angkringan moderen atau kafe. Gaya hidup mahasiswa sekarang telah berganti. Kafe-kafe yang ada tidak pernah sepi dari pelanggan mahasiswa. Di sana mereka mengisi perut dan mengobrol. Juga mencari wifi gratis. Akan tetapi, walaupun gaya hidup mahasiswa di Yogja berubah, angkringan tradisional tidak kehilangan pelanggannya karena ia telah menjadi bagian dari tradisi. Warga Yogja tetap ke angkringan sehingga cerek pemanas air tetap terus berasap. Minuman tradisional penghangat tubuh terutama di malam hari tetap bisa dinikmati di sana. Trotoar dan gerbang-gerbang pemukiman tetap dijejaki oleh gerobak angkringan. Obrolan masih menggebyar dari sana.
Menurut Hanna, teman saya yang juga dosen muda di FIB UGM, orang Yogyakarta masih sering berkumpul di angkringan dan di pos kamling RT/RW masing-masing. Warga asli Yogyakarta jarang terlihat di tempat-tempat umum atau tempat wisata di Yogyakarta. Mereka lebih senang di rumah dan atau di lingkungan terdekat mereka. Mereka akan keluar beramai-ramai kalau ada acara-acara tertentu yang sifatnya komunal yang diprakarsai oleh peguyuban tertentu atau kesultanan Yogyakarta.
Bila Dunsanak ke Yogyakarta, di sepanjang adaptasi di sini, Dunsanak akan sering mendengar orang Yogyakarta mengucapkan kata njeh. Bila di-Indonesia-kan artinya iya. Kata njeh satu dari sekian kata yang sering muncul dari mulut orang Yogyakarta. Sepertinya kata ini sudah menjadi ikon yang menandai bahwa warga Yogyakarta masih setia dengan bahasa asli mereka, bahasa Jawa. Dunsanak jangan kaget ketika di Yogyakarta karena umumnya warga lokal berbincang dengan bahasa Jawa. Hanya ketika berhadapan dengan orang luar Yogyakarta mereka menggunakan bahasa Indonesia, itu pun kadang bercampur dengan bahasa Jawa. Saya pernah dibuat bingung oleh pegawai Damri di bandara Kulonprogo karena mereka berbahasa Jawa pada saya. Saya iya-iyakan saja apa yang dikatakannya.
Bahasa Jawa merupakan bahasa resmi di Yogyakarta yang ditetapkan melalui Perda Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 2 Tahun 2021. Tidak ditetapkan melalui Perda pun orang Yogyakarta tetap dengan bahasa Jawa. Bila kita ke pasar-pasar tradisional di Yogyakarta, kita akan mendengarkan percakapan bahasa Jawa dari banyak pedagang di sana. Bahkan Mbah-Mbah sepuh yang berdagang di pasar ataubekerja di pasar-pasar itu ada yang tidak bisa berbahasa Indonesia. Di satu sisi ini menggembirakan demi menjaga keutuhan bahasa daerah, khususnya bahasa Jawa, tetapi di sisi yang lain, ranah publik Yogyakarta juga memerlukan interaksi dengan nonbahasa Jawa karena tidak semua orang yang datang ke Yogyakarta bisa berbahasa Jawa.
Bahasa Jawa adalah salah satu bahasa daerah di Indonesia yang penuturnya masih stabil. Bahasa Jawa dituturkan secara umum di Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur dan daerah-daerah transmigrasi di Lampung dan sebagainya. Berdasarkan sensus tahun 2000, penutur bahasa Jawa ada pada kisaran 84,3 juta jiwa. 73 persen orang Jawa masih menuturkan bahasa Jawa dalam komunikasi keseharian mereka, sedangkan 27 persen lainnya telah beralih ke bahasa lainnya seperti bahasa Indonesia dan bahasa asing. Intinya, bahasa Jawa masih menjadi bahasa utama warga Yogyakarta. Itu hal yang istimewa di tengah pluralisnya kehidupan di Yogyakarta karena hampir semua etnis/suku berhimpun di sini.
Jika Dunsanak membawa anak yang masih belia dan kemudian sehari-hari berinteraksi dengan teman-teman lokalnya di Yogyakarta, dijamin anak Dunsanak itu akan mampu berbahasa Jawa dalam waktu yang singkat. Anak saya yang masih usia TK ketika berinteraksi dengan teman-temannya dapat berkomunikasi dengan bahasa Jawa dalam kurun waktu hanya enam bulan sejak kedatangannya. Sehari-hari mereka bermain di lingkungan tempat kami tinggal dengan berbahasa Jawa.
Di luar terjadinya darurat sampah di Yogyakarta karena TPA Piyungan di Bantul telah over kapasitas, Yogyakarta dikenal sebagai kawasan yang bersih. Bila kita berjalan-jalan ke kawasan-kawasan perumahan di tingkat RT/RW maka kita akan menemukan lingkungan yang bersih dari sampah. Jalan-jalan bersih dari tumpukan sampah. Begitu pula tempat-tempat umum seperti sekolah, pasar, masjid, rumah sakit, dan tempat-tempat wisata. Warga secara bersama-sama menjaga kebersihan lingkungan mereka. Lingkungan di sekitar kontrakan kami di Jetisharjo, Kelurahan Cokrodiningratan terlihat bersih sepanjang hari karena sampah-sampahnya dikelola dengan baik. Ada kesadaran dari warganya untuk membuang sampah pada tempatnya.
Selain itu, gorong-gorong air juga masih berfungsi dengan baik. Terjaga dari tumpukan sampah. Bila hujan, air tidak memenuhi badan jalan karena bisa mengalir ke gorong-gorong melalui pori-pori ada di pinggir jalan. Ini sesuatu yang berbeda dengan di tempat lain. Di banyak tempat di kota-kota di Indonesia, hujan sebentar saja air sudah menggenangi badan jalan. Air tidak lancar ke gorong-gorong karena tertimbun sampah. Sejauh pengamatan saya, di Yogyakarta gorong-gorong dan drainasenya berfungsi baik. Ini sesuatu yang istimewa di tengah kota yang pluralis di mana berbagai kepala dan kebiasaan bercampur aduk ada di sini. Ini membuktikan bahwa local genius warga Yogyakarta masih kokoh menghadapi berbagai akulturasi budaya yang masuk ke Yogyakarta.
Begitulah, Yogyakarta memang istimewa. Tidak hanya nama dan sistem pemerintahannya, tetapi juga kebiasaan warganya. Tidak mengherankan bila kemudian Yogyakarta menjadi salah satu kota di Jawa yang paling banyak dibicarakan dan paling banyak dikunjungi. Keistimewaan-keistimewaan Yogyakarta itu mengundang banyak orang untuk datang, untuk sekedar berwisata atau untuk mencari hidup. Ditambah lagi di kota kesultanan Mataram ini juga terdapat universitas-universitas istimewa yang memanggil-manggil anak-anak muda dari seluruh nusantara untuk datang belajar ke Yogyakarta. Sekali lagi, Yogyakarta tidak hanya istimewa karena namanya, tetapi juga karena tradisinya. Wallahualam bissawab.
Yogyakarta 03/08/2023
Discussion about this post