Huruf e memiliki banyak ragam pelafalan (bunyi) dalam bahasa Indonesia. Secara umum, pelafalan huruf e memiliki tiga jenis, ada yang sangat lembut, biasa saja, dan cukup keras. Dalam ilmu bahasa (linguistik), huruf e memiliki tiga lambang fonetik (lambang untuk bunyi dari huruf) yang disesuaikan dengan cara pelafalannya, yaitu [e], [ə], dan [ɛ]. Lambang fonetik [e] digunakan untuk bunyi e yang biasa saja, seperti pada kata sore, belok, dan beli. Lambang fonetik [ə] untuk bunyi e yang lebih lembut atau lebih halus daripada sebelumnya, seperti pada kata emas (huruf e pada kata emas ini sangat berbeda dengan huruf e pada kata belok).
Lambang fonetik [ɛ] untuk bunyi e yang lebih keras, seperti dalam kata bebek, tempe, dan nenek. Untuk lebih jelasnya kita bisa mengeja kata yang memiliki bunyi e yang berbeda, yaitu bendera. Kata bendera ketika suku katanya dipisah menjadi ben-de-ra. Bunyi e yang pertama (ben, lebih halus) berbeda dengan yang kedua (de, lebih keras). Perbedaan bunyi e dalam bahasa Indonesia ada yang mengubah makna dan ada juga yang tidak. Bunyi e yang mengubah makna terdapat dalam kata yang ber-homograf. Homograf merupakan istilah yang digunakan untuk dua kata atau lebih yang memiliki huruf yang sama tetapi pelafalannya berbeda. Kita bisa melihat contohnya pada kata mental dan serang. Kata mental memiliki dua pelafalan e yang berbeda. Pelafalan mental dengan bunyi e yang lebih keras memiliki makna “bersangkutan dengan batin dan watak manusia, yang bukan bersifat badan atau tenaga; batin dan watak” di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Berbeda dengan itu, pelafalan kata mental dengan bunyi e yang lebih lembut memiliki makna “terpelanting; terpental”. Kata serang dengan bunyi e yang lebih keras memiliki makna “menyerang” sedangkan dengan bunyi e yang lebih lembut adalah nama ibu kota dari Provinsi Banten. Namun demikian, bunyi e juga memiliki ragam tersendiri dari beberapa daerah, terutama penduduk Pulau Sumatera. Biasanya, bunyi e yang dilafalkan oleh penduduk dari Sumatera, terutama Sumatera Utara terdengar lebih keras dari penduduk Indonesia lainnya.
Berdasarkan penjelasan ini, perbedaan bunyi huruf e juga berpengaruh dalam bentuk penulisannya. Ada banyak kata dalam bahasa Indonesia yang dianggap oleh penggunanya memiliki huruf e, ternyata tidak. Begitu pun sebaliknya. Ada kata yang dianggap tidak memiliki huruf e, ternyata ada. Oleh sebab itu, ada banyak persoalan yang berkaitan dengan huruf e. Pertama, huruf e yang sebenarnya tidak ada di dalam suatu kata, tetapi sering dianggap ada. Kedua, huruf e yang sebenarnya ada di dalam suatu kata, tetapi sering dianggap tidak ada. Ketiga, huruf e yang bunyinya saling menggantikan dengan huruf vokal lainnya, seperti a dan i. Berikut ini adalah penjelasannya.
Pertama, huruf e yang sebenarnya tidak ada di dalam suatu kata, tetapi sering dianggap ada. Kata-kata yang berhasil dirangkum adalah prangko (bukan perangko), putra (bukan putera), modern (bukan moderen), sastra (bukan sastera), dan samudra (bukan samudera). Akan tetapi, ada yang perlu kita perhatikan dalam hal penamaan atau nama diri, seperti putra. Kata putra yang tidak memiliki huruf e (bukan putera) adalah kata umum yang bermakna “anak laki-laki raja; anak kandung; anak laki-laki; khusus untuk laki-laki”. Contoh penggunaannya dalam kalimat bisa dibaca di bawah ini:
- Pertandingan selanjutnya adalah tunggal putra.
- Dia adalah putra dari Bapak Wijaya.
Dengan demikian, kata putera (memiliki huruf e) yang digunakan sebagai nama diri atau fungsinya adalah penamaan, tidak termasuk di dalam analisis ini. Nama diri memiliki hak otonom tersendiri bagi seseorang yang ingin memberikan nama terhadap anak atau sesuatu yang dimiliknya, seperti produk atau perusahaan. Hal ini juga berlaku untuk nama Pulau Sumatera atau provinsi yang ada di pulau tersebut. Di dalam KBBI, kata sumatera tidak memiliki huruf e (ditulis Sumatra) dengan makna “pulau di wilayah barat Indonesia, di sebelah utara berbatasan dengan Teluk Benggala, di sebelah timur dengan Selat Malaka, di sebelah selatan dengan Selat Sunda, dan di sebelah barat dengan Samudra Hindia”. Akan tetapi, di dalam penggunaan resmi di provinsi yang ada di pulau tersebut, kata sumatra memiliki huruf e (ditulis sumatera). Penggunaan nama ini bisa ditemukan di situs resmi, seperti Provinsi Sumatera Barat (https://www.sumbarprov.go.id/) dan Sumatera Utara (https://www.sumutprov.go.id/). Oleh sebab itu, penulisan kata Sumatera (ada e) bisa juga kita gunakan karena fungsinya sebagai nama diri.
Kedua, huruf e yang sebenarnya ada di dalam suatu kata, tetapi sering dianggap tidak ada. Kata-kata yang berhasil dirangkum adalah perilaku (bukan prilaku), merek (bukan merk), anugerah (bukan anugrah), tenteram (bukan tentram), peribahasa (bukan pribahasa), sandera (bukan sandra), serigala (bukan srigala), dan karier (bukan karir). Kata-kata yang dianggap tidak memiliki huruf e ini sebagain besarnya adalah huruf e yang posisinya ada di sebelum huruf r. Secara umum, kasus ini bisa terjadi karena banyaknya kosakata bahasa Indonesia yang memiliki gugus konsonan terkait huruf r. Gugus konsonan adalah dua konsonan yang diucapkan dalam satu suku kata secara bersamaan. Berikut ini adalah contoh gugus konsonan dan penggalan suku katanya:
- syarat (sya-rat), gugus konsonan dalam kata ini adalah huruf konsonan s dan y yang diucapkan bersamaan atau dalam satu suku kata sya.
- Khawatir (kha-wa-tir), gugus konsonan dalam kata ini adalah huruf k dan h yang diucapkan bersamaan atau dalam satu suku kata kha.
Ada banyak kata bahasa Indonesia yang memiliki gugus konsonan, termasuk huruf r, seperti:
- prakiraan (pra-ki-ra-an), gugus konsonan dalam kata ini adalah huruf p dan r dalam suku kata pra.
- prediksi (pre-dik-si)
- komprehensif (kom-pre-hen-sif)
- trauma (trau-ma)
- traktir (trak-tir)
- transportasi (trans-por-ta-si)
- transaksi (trans-ak-si)
- transfer (trans-fer)
- produk (pro-duk)
Sembilan contoh gugus konsonan ini seolah memberi pemahaman kepada pengguna bahasa Indonesia bahwa huruf e yang berposisi di sebelum huruf r sering dianggap tidak ada karena bunyinya bisa dihilangkan. Ketika bunyi e dihilangkan, huruf r setelah e itu dianggal sebagai satuan gugus konsonan dengan huruf sebelum e. Oleh sebab itu, kata-kata yang telah dituliskan sebelumnya dianggap tidak memiliki huruf e. Berikut adalah analisisnya:
- Kata perilaku (pe-ri-la-ku) dianggap berbunyi pri-la-ku (ketika huruf e hilang, huruf p dan r dianggap sebagai gugus konsonan). Kata ini dianggap memiliki sifat yang sama dengan contoh sembilan kata sebelumnya (prakiraan, prediksi, komprehensif, trauma, traktir, transportasi, transaksi, transfer, dan produk).
- Kata anugerah (a-nu-ge-rah) dianggap berbunyi a-nu-grah. (ketika huruf e hilang, huruf g dan r dianggap sebagai satuan gugus konsonan).
- Kata tenteram (ten-te-ram) dianggap berbunyi ten-tram.
- Kata peribahasa (pe-ri-ba-ha-sa) dianggap berbunyi pri-ba-ha-sa.
- Kata sandera (san-de-ra) dianggap berbunyi san-dra.
- Kata serigala (se-ri-ga-la) dianggap berbunyi sri-ga-la.
Ketiga, selain keberadaan huruf e yang seperti ada dan tiada dalam sebuah kata, ternyata bunyi huruf e juga sering saling menggantikan dengan huruf vokal lainnya, yaitu a dan i. Kata-kata yang memiliki kasus ini seperti cecak (menjadi cicak) dan penguin (menjadi pinguin). Huruf e di dalam dua nama binatang ini sering dilafalkan menjadi i. Tidak hanya huruf e yang menjadi i, hal ini juga berlaku sebaliknya. Ada banyak kata yang penulisan bakunya menggunakan huruf i, tetapi dilafalkan menjadi bunyi e. Biasanya, kata-kata ini sering terdapat di dalam ragam bahasa nonformal, seperti adik (menjadi adek), naik (menjadi naek), baik (menjadi baek), dan nasihat (menjadi nasehat). Selain itu, ada juga huruf a yang dibunyikan menjadi e. Kasus ini juga sering terjadi di dalam percakapa nonformal, seperti sekadar (menjadi sekedar), pucat (menjadi pucet), bosan (menjadi bosen), asam (menjadi asem), teman (menjadi temen), dan hangat (menjadi anget).
Inilah keunikan huruf e di dalam bahasa Indonesia. Selain bunyinya yang beragam, keberadaannya juga sering dianggap ada dan tiada.
Discussion about this post