Oleh:
Rizky Amelya Furqan
(Dosen Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas)
“Mendung yang menggantung, bukan mendung mengandung hujan, tetapi mendung mengandung asap dari lahan orang kaya dari kota.”
(Api Awan Asap: Korrie Layun Rampan)
“Alam disediakan untuk kebutuhan manusia, tetapi bukan untuk keserakahan manusia.”
(Mahatma Gandhi)
Karya sastra hadir untuk merefleksikan realitas yang terjadi dalam sebuah masyarakat, salah satunya permasalahan yang berkaitan dengan lingkungan. Indonesia terkenal dengan sumber daya alam yang kaya, tetapi alam Indonesia semakin lama semakin berada pada ruang penuh sampah. Berbagai bencana sering terjadi di Indonesia karena ulah tangan manusia yang tidak menjaga kebersihan, salah satunya banjir. Banjir terjadi salah satunya akibat drainase tidak dalam keadaan yang baik, misalnya kurangnya kesadaran masyarakat dalam pengelolaan sampah sehingga menyebabkan saluran air tersumbat atau pengambilan air tanah yang terlalu berlebihan.
Permasalahan terkait pemerasan alam tidak luput dari goresan pena para penulis dan akademisi sastra. Hal ini terbukti dengan munculnya karya-karya sastra yang bertema lingkungan atau kerusakan alam. Selain itu, juga muncul teori ekokritik sastra yang dapat digunakan untuk menganalisis karya sastra. Ekokritik awal mulanya dikenalkan oleh Greg Gerrard adalah seorang profesor di Enviromental Humanities, University of British Columbia. Gerrard menyampaikan ada enam substansi ekokrtitik, yaitu pencemaran (pollution), belantara (wilderness), bencana (apocalypse), perumahan atau tempat tinggal (dwelling), binatang (animals), dan bumi (earth).
Pencemaran (pollution) terjadi karena berbagai aktivitas yang dilakukan oleh manusia yang langsung bersinggungan dengan alam. Penyebab pencemaran paling dominan kurangnya kesadaran masyarakat akan kebersihan lingkungan. Salah satunya kurangnya pengetahuan tentang pengelolaan limbah cair dan padat sehingga berdampak terhadap lingkungan. Hal ini dijelaskan dalam penelitian Elyzar, dkk. yang terbit pada Majalah Inovasi pada tahun 2006. Salah satu karya sastra yang membahas perihal pencemaran lingkungan dalam novel Anak yang juga sudah diteliti oleh Ikhwan dan diterbitkan dalam Jurnal Bapala pada tahun 2020. Salah satu bentuk pencemaran yang digambarkan adalah tokoh Axel dan teman-teman yang membersihkan sungai tercemar sampah.
Di Indonesia hampir setiap tahun juga terjadi pembakaran hutan yang menyebabkan kabut asap. Kabut asap pada tahun 2019 di Pulau Sumatera, khususnya Sumatera Barat, Riau, dan Jambi yang mengharuskan masyarakat untuk memakai masker karena kabut asap berbahaya untuk kesehatan. Kebakaran hutan juga terjadi di Kalimantan. Hal inilah yang dibahas dalam novel Api Awan Asap karya Korrie Layun Rampan. Rampan dalam novelnya mendeskripsikan secara paradoks antara kearifan tradisional masyarakat Dayak dalam mengelola hutan dan tindakan pelaku usaha HPH (hak pengusaha hutan) dan HTI (hutan tanaman industri) yang membuka hutan Kalimantan Timur dengan cara membakar hutan.
Novel yang juga membahas permasalahan hutan di Kalimantan adalah novel Anak Bakumpai Terakhir karya Yuni Nurmalia. Nurmalia mengisahkan tokoh Aruna, seorang anak perempuan suku Dayak Bakumpai yang menganggap tempat tinggalnya sebagai surga petualang malah berujung bencana akibat penebangan liar. Enam konsep yang disampaikan Gerrard digambarkan dalam novel ini, mulai dari anak sungai yang terkontaminasi limbah beracun, ekosistem yang rusak, satwa liar yang perlahan menyusut, dan para nelayan yang tidak lagi memiliki mata pencarian. Dalam novel ini juga digambarkan seorang peniliti yang mendatangi tanah Bakumpai dan menemukan anak-anak suku Bakumpai sudah terjejali oleh racun logam berat.
Tidak hanya permasalahan hutan Kalimantan, karya sastra lain yang bertema lingkungan juga ditulis oleh Jalu Kancana, seorang penulis asal Bandung. Ia menulis novel dengan judul Kekal. Novel ini menceritakan eksploitasi yang dilakukan oleh perusahan tambang panas bumi di Kawasan Cagar Alam Kamojang. Eksploitasi ini mengakibatkan kerusakan alam dan kepunahan kekayaan flora dan fauna. Ahmad dan Supriadi dalam artikelnya yang diterbitkan oleh Balai Bahasa Jawa Barat menganalisis novel Kekal. Ia menjelaskan bahwa terjadi kerusakan lingkungan di Kawasan Cagar Alam Kamojang sebagai akibat eksploitasi sehingga keseimbangan alam terganggu. Akibatnya, timbul bencana dan ancaman pada kehidupan manusia serta makhluk hidup lain. Kemudian, dalam novel juga digambarkan tokoh Alit dan kawan-kawan yang menyuarakan gerakan sadar kawasan dengan memberikan pesan-pesan tentang pelestarian alam.
Masih banyak penulis karya sastra yang mengangkat tema pencemaran lingkungan ataupun upaya melestarikan lingkungan, misalnya Dee Lestari dalam novel Partikel dan Aroma Karsa. Kemudian, Ayu Utami dalam novel atau puisi Biarkanlah Jiwamu Berlibur, Hey Penyair yang ditulis oleh Wiji Thukul. Danarto juga menulis kumpulan cerpen Ikan-ikan Dari Laut Merah yang membahas tentang fenomena kerusakan alam.
Kehadiran sastra yang bertema lingkungan diharapkan mampu menjadi media untuk menjaga keberlangsungan kehidupan lingkungan. Pada hakikatnya, manusia bertumpu kepada alam, tetapi manusia juga yang membuat alam rusak. Pada akhirnya, kerusakan itu akan berdampak buruk pada manusia. Kehadiran karya sastra juga menyuarakan tradisi yang ada di dalam masyarakat tradisional dalam menjaga alam, seperti yang tergambar pada novel Api Awan Asap karya Korrie Layun Rampan.
Kajian sastra dengan perspektif ekologi masih perlu mendapat perhatian. Walaupun pada saat ini, sudah ada gerakan yang disebut dengan “Sastra Hijau” pada situs “Rayakultura” yang dikembangkan oleh Naning Pranoto, Soesi Sastro, dan Sides Sudyarto DS dengan mengunggah sejumlah puisi dan cerpen (http://www.rayakultura.net/sastra- hijau-dan-eksistensi-bumi/).
Karya sastra memang tidak hadir secara nyata seperti gerakan-gerakan turun ke jalan dengan membawa spanduk atau sejenisnya, tetapi karya sastra hadir sebagai bahan bacaan yang dapat meningkatkan pengetahuan masyarakat terkait pentingnya kelestarian alam dan lingkungan karena manusia bergantung pada alam. Ketika alam hancur maka pada akhirnya alam yang akan menghisap mereka dengan bencana dan kerusakan.