Suatu ketika, saya mendengar perdebatan seorang nenek dengan cucunya. Cucu tersebut meminta tolong kepada neneknya untuk menyalakan televisi karena ia ingin menonton film kartun kesukaannya. Sang nenek mengatakan bahwa pada saat itu ia tidak bisa menyalakan televisi dengan memberi penjelasan kepada cucunya, “Sedang mati lampu”. Gadis kecil itu tetap bersikeras ingin menonton televisi dan sang nenek pun berulang kali mengatakan “mati lampu”.
Perdebatan terus berlanjut hingga cucu tersebut bertanya, jika yang mati adalah lampu mengapa tidak bisa menyalakan televisi? Ya, begitulah. Seorang anak yang masih dalam proses pengenalan bahasa tentu saja memahami makna sebuah kata sebagai makna sesungguhnya atau makna leksikal. Seorang anak belum memahami konteks makna konotasi, asosiatif, ameliorasi, dan berbagai perubahan makna lainnya. Akan tetapi, kita sebagai pengguna bahasa yang sudah memahami berbagai konteks tuturan terkadang sudah tidak peka lagi dengan cakupan-cakupan makna tersebut, seperti contoh frasa mati lampu yang mewakiliki makna listrik padam (atau pemadaman listrik) selalu kita gunakan dalam kehidupan sehari-hari.
Frasa mati lampu kemudian menaungi makna untuk segala pemakaian listrik dari alat-alat elektronik lainnya, seperti setrika, mesin cuci, kulkas, kipas angin, dan televisi. Hal ini dalam teori bahasa dikenal sebagai istilah generalisasi. Tarigan (2009) memaknai generalisasi sebagai “Suatu proses perubahan makna kata dari yang lebih khusus kepada yang lebih umum atau dari yang lebih sempit kepada yang lebih luas”. Kata lampu yang bermakna “Alat untuk menerangi; pelita” di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kemudian mencakupi makna untuk alat elektronik lainnya.
Perubahan makna kata dalam cakupan generalisasi disebabkan oleh beberapa faktor berikut. Pertama, kata yang digunakan sebagai perwakilan yang dijadikan general kata itu sudah lebih dulu dikenal daripada benda lainnya. Kedua, kata tersebut dalam medan maknanya lebih mendominasi dalam pengetahuan masyarakat sehingga kata itu menjadi perwakilan kata lain dalam satu lingkung medan makna. Medan makna adalah beberapa kata atau unsur leksikal yang maknanya saling berkaitan. Contoh dari kata-kata yang memiliki medan makna yang sama adalah guru, murid, dan buku yang berada dalam satu medan makna sekolah. Selain itu, juga ada contoh ombak, kapal, nelayan, dan nakhoda yang berada dalam satu medan makna pelayaran. Dari dua faktor generalisasi yang telah diuraikan sebelumnya, frasa mati lampu disebabkan oleh faktor pertama. Kata lampu lebih duluan dikenal oleh masyarakat dibandingkan dengan alat elektronik lainnya. Lampu lebih duluan dikenal karena keberadaannya yang sudah sejak lama menemani kehidupan manusia. Lampu menjadi alat yang sangat penting sejak awal kehadirannya. Seiring perkembangan zaman, alat-alat elektronik yang lebih modern pun bermunculan, seperti mesin cuci, mesin cuci piring, kulkas, mircowave, air conditioner, vacuum cleaner, dan hair dryer. Oleh sebab itu, frasa mati lampu lebih sesuai untuk mewakilkan istilah listrik padam dibandingkan dengan penggunaan istilah alat elektronik lainnya.
Selain frasa mati lampu, kita juga kerap menggunakan istilah lainnya seperti mencuci piring dan mencuci baju. Istilah mencuci piring digunakan untuk aktivitas mencuci alat-alat dapur atau alat-alat makan. Ada banyak alat-alat dapur tersebut seperti piring, gelas, sendok, garpu, mangkuk, pisau, dan wajan. Akan tetapi, kata piring dipilih oleh masyarakat secara konvensional (kesepakatan) karena piring dianggap sebagai benda yang lebih mendominasi untuk kegiatan makan dan masak. Hal ini disebabkan orang Indonesia bisa makan tanpa harus menggunakan sendok. Oleh sebab itu, keberadaan piring dianggap lebih penting daripada alat-alat makan lainnya. Dengan demikian, piring bisa mewakili benda lainnya. Dalam bahasa Inggris, mencuci piring dipadankan dengan istilah do dishies. Hal serupa juga terjadi dengan istilah mencuci baju yang sebenarnya juga dilakukan untuk pakaian lainnya, seperti celana, rok, jilbab, dan kaus kaki. Namun, masyarakat lebih sering menggunakan istilah mencuci baju daripada mencuci pakaian. Hal ini disebabkan keberadaan baju lebih utama dalam konteks pakaian.
Selain mati lampu, mencuci piring, dan mencuci baju, kita juga menggunakan frasa benda dengan mengambil satu nama benda dalam lingkung medan makna tersebut sebagai perwakilannya. Hal ini bisa dilihat dalam contoh frasa lampu merah, kotak pensil, dan kacamata hitam. Frasa lampu merah digunakan untuk istilah lampu lalu lintas. Masyarakat Indonesia lebih memilih warna merah dibandingkan warna kuning dan hijau untuk mengganti istilah lampu lalu lintas tersebut. Hal ini disebabkan warna merah lebih mendominasi pikiran masyarakat dibandingkan warna lainnya. Warna merah menjadi lebih penting karena pengguna kendaraan harus berhenti. Saat-saat harus berhenti menjadi hal yang sangat penting diingat oleh para pengendara daripada boleh jalan (hijau) atau berhati-hati (kuning). Oleh sebab itu, warna merah mendominasi pikiran masyarakat untuk mewakilkan istilah lampu lalu lintas.
Di dalam bahasa Inggris, lampu lalu lintas dipadankan dengan frasa traffic lights (tidak menggunakan kata merah). Hal serupa juga terjadi pada frasa benda kacamata hitam. Kacamata hitam dipadankan dalam bahasa Inggris dengan kata sunglasses karena penggunaannya untuk menangkal sinar matahari. Akan tetapi, sunglasses yang dikenal oleh masyarakat Indonesia didominasi oleh warna hitam. Oleh sebab itu, kacamata tersebut disebut kacamata hitam walaupun sebenarnya ada yang berwarna cokelat, kuning, merah muda, dan sebagainya. Istilah kotak pensil juga menggunakan kata pensil untuk mewakili alat-alat tulis lainnya, seperti bolpoin, penghapus, dan penggaris. Hal ini disebabkan pensil lebih awal digunakan di tingkat Sekolah Dasar dibandingkan dengan alat tulis lainnya. Murid kelas 1 Sekolah Dasar diajarkan untuk menulis dengan menggunakan pensil pertama kali. Oleh sebab itu, kata pensil lebih mendominasi pikiran masyarakat untuk mewakili alat tulis lainnya.
Selain contoh-contoh yang sudah diuraikan, ada satu fenomena yang terjadi di tengah masyarakat Indonesia. Percakapan ini sering terjadi di daerah perantauan. Ketika seseorang berkenalan dengan orang lain dan bertanya tentang daerah asal, orang-orang akan melabeli orang tersebut dengan daerahnya, seperti Orang Padang. Padang adalah ibu kota Provinsi Sumatera Barat. Sumatera Barat memiliki 12 kabupaten (Agam, Dharmasraya, Kepulauan Mentawai, Lima Puluh Kota, Padang Pariaman, Pasaman, Pasaman Barat, Pesisir Selatan, Sijunjung, Solok, Solok Selatan, dan Tanah Datar) dan 7 kota (Bukittinggi, Padang, Padangpanjang, Pariaman, Payakumbuh, Sawahlunto, dan Solok).
Provinsi Sumatera Barat memiliki suku bangsa Minangkabau dan masyarakatnya menggunakan bahasa Minangkabau. Akan tetapi, kata padang lebih mewakili pengetahuan masyarakat Indonesia tentang wilayah Sumatera Barat karena keberadaannya sebagai ibu kota provinsi. Oleh sebab itu, masyarakat di luar wilayah Sumatera Barat menganggap semua orang Sumatera Barat sebagai Orang Padang. Istilah Orang Padang ini sesungguhnya lebih sesuai dengan sebutan istilah Orang Minangkabau (Orang Minang) sebab Minangkabau adalah suku bangsa yang bisa dilekatkan dengan identitas penduduknya. Akan tetapi, Kota Padang lebih sering digunakan daripada Minangkabau. Hal ini bisa kita lihat dalam berbagai istilah masakan Padang, sate Padang, soto Padang, dan restoran Padang. Di dalam pelajaran ilmu sosial, Kota Padang juga kerap disebut karena beradaannya sebagai ibukota Provinsi Sumatera Barat. Dengan demikian, masyarakat di luar Sumatera Barat melekatkan istilah Orang Padang untuk semua masyarakat Sumatera Barat meskipun orang tersebut berasal dari Bukittinggi, Pariaman, atau Pesisir Selatan. Kita kerap mendengar seseorang bertanya, “Orang Padang ya? Padangnya di mana? Bukittinggi ya?” Padahal, Padang dan Bukittinggi adalah dua kota yang berbeda.
Perubahan makna kata secara generalisasi ini bisa digunakan oleh siapa pun dalam konteks apa pun, seperti penyebutan judul sinetron yang kemudian diwakilkan dengan nama tokoh dalam sinetron tersebut. Nama tokoh tentu lebih dikenal daripada judul sinetronnya sehingga akhir-akhir ini, kita sering mendengar istilah nonton Andin atau nonton Mas Al daripada nonton Ikatan Cinta. Nama Andin dan Mas Al lebih mendominasi dalam sinetron tersebut, sehingga masyarakat lebih mengingat nama tokohnya daripada judul sinetronnya. Begitu pun dengan berbagai benda yang menggunakan bahasa asing, seperti headset, hedaphone, backphone, earphone, earbud, earfit, dan handsfree yang semuanya disebut sebagai headset.
Discussion about this post