Ada banyak kata atau frasa di dalam bahasa Indonesia yang bersinonim. Sinonim merupakan bagian dari relasi makna yang menghubungkan dua kata atau lebih yang memiliki kemiripan makna. Ada banyak jenis sinonim, yaitu sinonim mutlak, sedikit mirip, kata-kata yang masih selingkung, dan sinonim yang berkonotasi. Berikut adalah contoh kata-kata yang bersinonim: melihat-menatap-memandang-menonton-menyaksikan, istri-bini, kecil-mini-mikro, meninggal-mati-tewas-gugur-berpulang-wafat, cepat-deras-kencang, dan sebagainya. Sesungguhnya, masih banyak kata-kata yang bersinonim, apalagi kosakata bahasa Indonesia juga dipengaruhi oleh berbagai budaya pemakainya. Kata-kata yang bersinonim tersebut ada yang bisa saling menggantikan dan juga ada yang tidak. Oleh sebab itu, sinonim disebut sebagai “kemiripan makna” sebab setiap kata memiliki makna dan konteks yang berbeda untuk digunakan. Kita bisa melihat contoh sinonim yang telah dituliskan sebelumnya, yaitu meninggal, mati, tewas, gugur, berpulang, dan wafat.
Kata mati hanya bisa digunakan untuk binatang dan dalam percakapan sehari-hari juga sering digunakan untuk benda yang bermesin. Contoh kalimat yang bisa menggunakan kata ini adalah: Dia menangis karena kucingnya mati. Contoh kalimat untuk benda yang bermesin: Saya tidak bisa bekerja karena komputer ini mati. Kata mati pada kalimat sebelumnya tidak bisa digantikan dengan kata yang bersinonim lainnya seperti: Dia menangis karena kucingnya wafat. Hal ini terjadi karena kata-kata yang bersinonim tersebut memiliki konteks yang berbeda. Begitu pun dengan kata gugur yang selalu dilekatkan untuk pahlawan yang kehilangan nyawanya di medan perang.
Kata-kata bersinonim yang telah dituliskan tersebut sering digunakan oleh masyarakat Indonesia dengan konteks yang tepat. Akan tetapi, ada beberapa kata bersinonim yang digunakan tidak sesuai dengan konteksnya karena dianggap sama dan bisa saling menggantikan. Beberapa kata tersebut, yaitu wanita, perempuan, pria, laki-laki, jam, dan pukul. Pada artikel kali ini, pembahasan hanya difokuskan pada penggunaan kata jam dan pukul. Kata Jam dan pukul sering dianggap sama sehingga penggunaannya tidak lagi dianggap berbeda. Akan tetapi, sesungguhnya kata jam dan pukul memiliki perbedaan.
Pertama, kata jam dan pukul sama-sama digunakan dalam konteks waktu. Akan tetapi, kata jam digunakan untuk durasi waktu sedangkan kata pukul digunakan untuk penanda waktu. Perbedaan dua kata tersebut dapat dilihat dalam contoh kalimat berikut:
- Kami belajar bahasa Inggris selama 2 jam.
- Proses pembuatan kue ini memakan waktu selama 3 jam10 menit.
- Berapa jamperjalanan dari Jakarta ke Bandung?
- Kami belajar bahasa Inggris pada pukul00 siang.
- Proses pembuatan kue ini dilakukan dari pukul10 siang.
- Kami pergi ke Bandung pada pukul00 pagi.
Kata pukul di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memiliki makna “saat yang menyatakan waktu”. Di dalam percakapan sehari-hari, kata pukul sering digantikan dengan kata jam sebagai penanda waktu. Oleh sebab itu, kalimat 4, 5, dan 6, bisa diganti dengan kata jam, seperti: (4) Kami belajar bahasa Inggris pada jam 02.00 siang, (5) Proses pembuatan kue ini dilakukan dari jam 03.10 siang, dan (6) Kami pergi ke Bandung pada jam 10.00 pagi. Di dalam KBBI, makna untuk kata jam tertulis dengan keterangan cak. Keterangan cak di dalam KBBI memiliki makna “ragam cakapan, untuk menandai kata yang berlabel itu digunakan dalam ragam tak baku”. Dari keterangan ini, dapat dipahami bahwa kata jam yang menggantikan konteks kata pukul, digunakan dalam ragam percakapan atau ragam tidak resmi. Di dalam KBBI, kata jam memiliki makna “1. n alat untuk mengukur waktu (seperti arloji, lonceng dinding), 2. n waktu yang lamanya 1/24 hari (dari sehari semalam) sama dengan 60 menit atau 3.600 detik, 3. cak pukul, 4. cak waktu; saat.” Kata jam yang menggantikan kata pukul memiliki makna yang ke-3, yaitu digunakan dalam ragam percakapan (tidak resmi) seperti pukul. Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan bahwa untuk penggunaan ragam resmi dan bakunya, penanda waktu menggunakan kata pukul, sedangan untuk ragam yang tidak resmi bisa digantikan dengan kata jam.
Kedua, kata jam dan pukul memiliki perbedaan lain. Hal ini sesuai dengan makna pertama kata jam yang ada di dalam KBBI, yaitu sebagai alat untuk mengukur waktu. Kata jam dalam konteks ini berfungsi sebagai benda penunjuk waktu yang kemudian sering dikenal dengan istilah jam tangan dan jam dinding. Dari keterangan tersebut, sesungguhnya kata jam digunakan sebagai alat pengukur waktu dan petunjuk durasi waktu. Akan tetapi, kata jam dalam dua koteks ini tidak bisa digantikan oleh kata pukul. Contoh:
- Jam dinding saya berwarna merah. (tidak bisa: Pukul dinding saya berwarna merah).
- Kita akan belajar matematika selama 2 jam. (tidak bisa: Kita akan belajar matematika selama dua pukul).
Di sinilah letak pemahamanan tentang kata yang bersinonim. Ada dua kata atau lebih yang memiliki kemiripan makna. Penjelasan tentang kemiripan makna memberi penegasan bahwa sebenarnya makna dari kata-kata yang bersinonim itu tidak sama. Jika kata-kata itu tidak sama, maka akan ada perbedaannya, yaitu perbedaan penggunaan dalam konteks kalimat. Oleh sebab itu, kata-kata yang bersinonim tidak banyak bisa saling menggantikan. Lalu timbul pertanyaan, bagaimana dengan kata jam yang ternyata bisa menggantikan kata pukul? Hal ini disebabkan oleh faktor lebih besarnya penggunaan kata jam dalam persoalan waktu daripada kata pukul. Dalam konteks waktu, kata jam memiliki lebih banyak fungsi, baik sebagai alat, hitungan durasi, maupun sebagai pengganti kata saat atau waktu (contohnya waktu istirahat menjadi jam istirahat). Akan tetapi, kata pukul tidak memiliki banyak peran, selain petunjuk keterangan waktu. Dengan demikian, kata jam mendominasi berbagai konteks kalimat yang berhubungan dengan waktu, sehingga kata ini pun digunakan oleh masyarakat sebagai pengganti pukul. Di dalam KBBI, sudah terdapat keterangan bahwa kata jam yang menggantikan kata pukul, hanya dalam ragam komunikasi tidak resmi atau di dalam percakapan sehari-hari. Artinya, untuk ragam resmi dan bakunya, ketika kita akan menyatakan waktu, tetap menggunakan pukul (pukul 10.00 pagi, pukul 17.00, dan lain-lain).
Selain beberapa faktor tersebut, kata pukul jarang digunakan oleh masyarakat Indonesia dalam ragam percakapan sehari-hari sebagai petunjuk waktu karena kata pukul termasuk dalam salah satu jenis kata berhomonim. Kata berhomonim adalah satu kata yang memiliki makna lebih dari satu. Contoh kata homonim adalah: kabur (tidak jelas atau melarikan diri), hak (bagian dari sepatu atau kepemilikan/lawan katanya tanggung jawab), bisa (dapat atau racun ular), bulan (satelit atau hitungan 30 atau 31 hari), dan pukul. Kata pukul selain bermakna sebagai petunjuk waktu, juga memiliki makna sebagai verba (kata kerja), yaitu ketuk dan memukul. Kata pukul dengan makna verba tersebut lebih familier dibandingkan maknanya sebagai petunjuk waktu. Oleh sebab itu, ketika kita menggunakan kata pukul untuk konteks petunjuk waktu, kalimat itu terasa sangat formal sebab jarang digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Kata pukul lebih banyak digunakan dalam perannya sebagai verba, seperti contoh kalimat: Jangan pukul meja itu!