Oleh:
Sheren Mulyani Putri Herlambang
(Prodi Hukum Tata Negara, Fakultas Syariah, Institut Agama Islam Negeri Bengkulu)
Sistem demokrasi yang menjadi konsesus bangsa Indonesia dalam penyelenggaraan Negara Kesatuan Republik Indonesia diabadikan dalam konstitusi sebagai dasar negara yang berbunyi ‘”Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD 1945 (Pasal 1 Ayat 2)”
Namun frasa dasar tersebut sekarang tidak lebih sebagai kalimat usang yang dapat dikatakan gagal pemerintah laksanakan sebagai amanat reformasi. Gejolak digaungkannya jeritan Indonesia darurat semakin masif disuarakan oleh beberapa kelompok masyarakat, mulai dari mahasiswa hingga organisasi kemasyarakatan. Kegelisahan melalui proses tersebut muncul bukanlah tanpa sebab. Potret negara yang katanya menjunjung tinggi prinsip-prinsip demokrasi dewasa ini patutlah dipertanyakan secara mendalam. Ragam kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah, baik itu eksekutif maupun legislatif acapkali dinilai tidaklah berpihak pada kepentingan masyarakat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi di republik ini
Pemerintah sebagai penyelenggara negara sekarang lebih identik dengan sebagai pembisnis berwatak diktator yang mengkebiri amanat konstitusi, pemerintah seperti majikan yang memiliki budak, yaitu rakyatnya sendiri. Tak jarang berbagai macam program pemerintah lebih menyasar kepada kepentingan individu, kelompok atau suatu golongan pemilik modal yang berinvestasi untuk meraih keuntungan. Sementara itu, amanat untuk menyejahterakan sosial, melindungi masyarakat tidak dapat dirasakan oleh rakyat indonesia. Hal ini dapat dilihat secara empiris bagaimana peristiwa sosial yang terjadi. Di mulai dengan macam-macam kasus mega korupsi, penaikan BJPS, pelanggaran HAM, ketimpangan sosial, dan berbagai ketidakadilan lainnya yang mengancam keutuhan dan tujuan negara Republik Indonesia. Salah satunya kerusakan lingkungan, khususnya dengan didirikannya pembangkit listrik tenaga uap yang banyak memunculkan mudarat pada kelangsungan hidup rakyat
Namun, hal ini didukung oleh perbankan, baik nasional maupun internasional terlibat secara aktif sebagai penyokong utama PLTU batubara di Indonesia. Selain itu, keuangan PLTU batubara juga disokong oleh pemerintah negara pengembang, seperti Cina, Korea Selatan, dan Jepang. Kebijakan-kebijakan yang diterbitkan sangat tidak sesuai dengan esensi demokrasi dan cita-cita kehidupan berbangsa yang turut menjamin hak-hak untuk hidup dan kehidupan akan lingkungan yang layak berdasarkan konstitusi, khususnya di Provinsi Bengkulu. Semua kekuasaan serentak melindungi kepentingan hajat kapital tanpa ada pertimbangan ideologis dan demokratis. Salah satunya dengan berdiri gagah dan arogan monumen kapitalis hadiah legesi dari keserakahan perselingkuhan penguasa dengan kaum kapitalis dalam bentuk PLTU Teluk Sepang
Pembangkit listrik tenaga uap yang berbahan bakar batu bara ini di akui oleh banyak masyarakat akan dan telah mengakibatkan dampak yang sangat buruk bagi kelangsungan hidup masyarakat dan lingkungan sekitar, bahkan akan berdampak masif. Betapa tidak, wilayah Teluk Sepang ditetapkan sebagai zona merah bencana tsunami oleh BNPB, keberadaan PLTU batubara di wilayah tersebut telah membabat setidaknya 30 hektar hutan pantai dan mangrove. Ancaman lain selain tsunami, juga akan berdampak langsung kepada hilangnya benteng pertahanan dari abrasi pantai dan pelabuhan.
Kemudian, di susul dampak kualitas udara sebagai parameter penting untuk mengetahui tingkat kesehatan mahluk hidup. Udara tercemar yang disebabkan oleh beroperasinya PLTU batu bara akan berdampak buruk terhadap kesehatan serta keselamatan bumi secara keseluruhan dengan debu kimia beracun yang akan bila ditunggangi angin kencang bukan hanya berdampak buruk bagi warga Teluk Sepang sekitarnya namun juga bagi masyarakat Bengkulu yang jarak edarnya mencapai 12 radius kilometer,
Seperti diketahui, abu sisa pembakaran batubara mengandung logam berat yang berbahaya, seperti arsenik, nikel, krom, timbal, dan merkuri yang akan mengakibatkan dampak buruk bagi lingkungan dan kesehatan. Logam berat tersebut apabila masuk ke dalam tubuh manusia dan terakumulasi sampai beberapa tahun dan terjadi penumpukan di paru-paru, dapat mengakibatkan penyakit anemia, ginjal, dan kanker.
Upaya protes masyarakat dan lembaga pembela masyarakat kian hari semakin massif akan dampak tragis yang akan ditularkan oleh semburan atas aktivitas PLTU di Teluk Sepang. Namun, perlawanan ini menemukan tantangan besar ketika yang menjadi lawan dan produsen dari kezaliman ini adalah penguasa. Sudah banyak dianalisis dan dicermati, pembangunan PLTU ini tergantung kejanggalan dan pertentangan dengan semangat negara hukum dan demokrasi, unsur- unsur penyimpangan yang antara lain tidak sesuai dengan ganti rugi tanam tumbuh milik petani penggarap dan adanya klaim persetujuan warga atas proyek. Sebaliknya, pelanggaran Perda RTRW Provinsi Bengkulu dan Kota Bengkulu.
Berdasarkan penyimpangan dalam dokuman andal yang dibandingkan dengan fakta lapangan, PLTU batu bara berkapasitas 2 x 100 Megawatt yang berdiri di Kelurahan Teluk Sepang itu, persoalan dokumen izin pendirian dalam bentuk amdal juga diduga banyak sekali kecacatan administrasi, dokumen Andal, seperti wilayah Teluk Sepang yang sebenarnya tidak dibolehkan mendirikan PLTU karena termasuk wilayah rawan bencana dan pencemaran ekologis. Artinya, telah terjadi pelanggaran atas Undang-undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) yang dapat berakibat sanksi administratif sampai dengan pencabutan izin lingkungan. Kemudian, pembuangan limbah cair ke laut tanpa izin dan tumpahan oli di sekitar PLTU batu bara yang telah dilaporkan ke pihak berwenang. Terkait pembuangan limbah cair tanpa izin, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah mengeluarkan sanksi administrasi, sedangkan laporan tumpahan oli yang disampaikan ke Polres Bengkulu dihentikan penyidikannya karena dinilai tidak memenuhi unsur penyidikan.
Namun, apa yang terjadi sangat tidak realistis dengan kenyataan yang ada, bahkan pemerintah bersikukuh tetap akan melanjutkan pembangunan PLTU yang di duga ilegal tersebut. Kemudian, apakah ini dampak dari jeratan “ijon politik”? Yang lebih menyedihkan, pemerintah Provinsi Bengkulu gembar-gembor mengagung agungkan visit wonderful Bengkulu? Suatu paradoks yang sangat memprihatinkan untuk ditelisik tentang bagaimana kerangka pikir dari pemerintah saat ini? Postulat hukum ‘’contrdicio interminis’’ layak distempelkan kepada pemerintah yang disinyalir melawan kebijakan dan programnya sendiri.
Discussion about this post