Bahasa Indonesia merupakan bahasa nasional yang bisa digunakan oleh seluruh masyarakat Indonesia. Sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia digunakan dalam berbagai situasi formal atau resmi. Keberadaan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara telah diperkuat dengan adanya ikrar ketiga dalam Sumpah Pemuda. Di dalam Sumpah Pemuda bagian ketiga tertulis, “Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia”. Bahasa Indonesia disebutkan sebagai bahasa persatuan karena perannya yang bisa menyatukan masyarakat Indonesia yang memiliki keragaman budaya.
Bahasa Indonesia tidak disebutkan sebagai “bahasa yang satu” seperti ikrar pertama dan kedua (bertumpah darah yang satu dan berbangsa yang satu) karena Indonesia memiliki banyak bahasa yang tersebar di seluruh nusantara. Oleh sebab itu, bahasa Indonesia tidak menjadi satu-satunya bahasa yang ada di bumi pertiwi ini. Bahasa Indonesia digunakan sebagai media komunikasi untuk semua suku bangsa yang berbeda tersebut yang ada di Indonesia. Kehadiran bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional tidak terlepas dari keberadaan bahasa daerah dan bahasa asing yang dibawa oleh para pendatang pada masa lalu.
Bahasa daerah dan bahasa asing menjadi penyumbang kosakata untuk membentuk berabagai kata dalam bahasa Indonesia. Sebut saja kata kursi, abad, khawatir, dan lain-lain yang berasal dari bahasa Arab. Kata bendera, karcis, pistol, dan lain-lain adalah kata-kata seraparan yang berasal dari bahasa Belanda. Kata mentega, sepatu, sabun, dan lain-lain adalah kata-kata serapan yang berasal dari bahasa Portugis. Tidak hanya bahasa asing, berbagai bahasa daerah juga menjadi penyumbang kosakata untuk bahasa Indonesia. Namun demikian, hal ini ternyata menyebabkan adanya keragaman bahasa Indonesia dalam masyarakatnya sendiri yang tidak bisa terlepas dari kebudayaan dan pembentukan kata di tengah masyarakat. Dalam ilmu bahasa, fenomena ini dikenal dengan istilah ragam bahasa.
Penggunaan bahasa Indonesia yang beragam karena salah satu faktornya dilatarbelakangi oleh perbedaan budaya si penutur. Hal ini disebabkan oleh kebiasaan masyarakat suatu budaya dalam menggunakan sebuah kata yang ternyata tidak sama dengan budaya lainnya. Contoh yang paling mudah ditemukan adalah istilah untuk makanan dan minuman. Masyarakat Minangkabau menyebut suatu makanan dengan nama lontong, tetapi sebagian masyarakat Jawa menyebut makanan tersebut sebagai lontong sayur. Penambahan kata sayur pada makanan yang sama itu dilakukan oleh masyarakat Jawa karena kata lontong sudah dilekatkan pada makanan yang lain, yaitu olahan beras (sama seperti ketupat) yang di dalamnya terdapat isi seperti oncom. Lontong sayur adalah lontong yang diberi kuah gulai. Ini adalah salah satu contoh perbedaan penggunaan bahasa.
Tidak hanya itu, dalam menamai produk, masyarakat Indonesia juga memiliki banyak perbedaan dalam menyebut pepsodent (untuk menyebut pasta gigi), aqua (untuk menyebut air mineral), rinso (untuk menyebut deterjen), dan sebagainya. Mengapa ini terjadi? Salah satu faktornya adalah masyarakat belum mengenal atau belum memiliki kata untuk benda tersebut. Oleh sebab itu, ketika pendatang asing datang ke Indonesia dan memperkenalkan berbagai nama untuk benda-benda, masyarakat juga mengambil kata itu dan menggunakannya dengan menyesuaikan pelafalan atau ejaan yang cocok untuk masyarakat Indonesia.
Inilah konsep dari kata serapan. Apakah situasi ini hanya terjadi pada masa lalu? Tentu saja tidak. Salah satu sifat bahasa adalah dinamis. Bahasa terus berkembang sesuai dengan perkembangan zaman. Suatu kata bisa bertambah, berubah makna, atau secara perlahan menghilang karena tidak digunakan lagi kemudian digantikan oleh kata yang lain. Hal ini dipengaruhi oleh perkembangan zaman. Pada masa lalu, masyarakat belum membutuhkan kata unduh dan unggah. Akan tetapi, saat ini, kata tersebut diperlukan sebagai padanan untuk kata download dan upload. Dari situasi ini, kita dapat memahami, suatu bahasa bisa saja memiliki penambahan kata.
Pembahan kata tersebut terjadi ketika suatu benda atau situasi yang hadir di tengah masyarakat belum memiliki nama, kemudian masyarakat menamainya. Proses masyarakat menamai benda atau situasi tersebut juga memiliki keragaman. Ada masyarakat yang memilih merek produk tersebut sebagai nama yang mewakili produk itu. Ini disebut sebagai metonimia. Hal ini banyak terjadi. Berikut ini adalah beberapa contoh kata yang kerap digunakan oleh masyarakat ketika menamai sebuah benda.
Kata yang pertama adalah tipp-ex. Kata tipp-ex atau dalam penyebutan bagi masyarakat Indonesia menjadi tpex, tip-ex, atau tipeks adalah benda yang digunakan untuk mengoreksi kesalahan ketika menulis di kertas. Tipp-ex digunakan untuk menghapus tulisan yang ditulis dengan menggunakan bolpoin atau pena. Tulisan yang sudah ada di kertas akan ditimpa dengan cairan putih dari tipp-ex kemudian bisa ditulis kembali. Sesungguhnya, tipp-ex adalah salah satu merek alat tulis yang berasal dari Jerman yang dibuat oleh perusahaan Tipp-Ex GmbH & co. Bentuk tipp-ex yang sejak lama dikenal oleh orang Indonesia adalah jenis tipp-ex yang menggunakan kuas untuk digunakan di kertas. Produk ini banyak digunakan oleh orang Indonesia, terutama untuk kebutuhan kantor dan sekolah.
Secara konvensional, merek tipp-ex menjadi kata untuk mewakili benda pengoreksi tersebut. Namun demikian, kata tipp-ex tidak ada di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Benda pengoreksi itu bisa disebut sebagai alat koreksi, pengoreksi tulisan, dan sebagainya. Akan tetapi, istilah-istilah terssebut tidak begitu akrab untuk digunakan oleh masyarakat Indonesia karena merek tipp-ex telah mampu mewakili kata untuk benda tersebut. Ketika ada orang yang mengatakan alat pengoreksi pena, tidak menutup kemungkinan masih banyak pendengar atau pembaca yang merasa bingung dengan referen dari benda tersebut.
Kata yang kedua adalah stabilo. Stabilo adalah sebuah kata yang sering digunakan oleh orang Indonesia sebagai padanan highlighter dalam bahasa Inggris. Stabilo adalah alat tulis berwarna-warni yang digunakan untuk menandai atau mewarnai bagian-bagian penting dalam sebuah bacaan. Masyarakat Indonesia menggunakan kata stabilo untuk menamai benda tersebut. Sesungguhnya, stabilo adalah sebuah merek alat tulis yang diproduksi oleh perusahaan Schwan-Stabilo di Nuremberg sejak tahun 1855. Kata stabilo telah digunakan oleh masyarakat Indonesia secara umum, meskipun kata tersebut tidak ada di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Lalu, apa bahasa Indonesia yang sesuai untuk mengganti kata stabilo tersebut? Kita bisa menggunakan kata pena sorot atau pena penanda. Akan tetapi, dua istilah itu sulit untuk digunakan karena masyarakat lebih terbiasa menggunakan kata stabilo.
Kata yang ketiga adalah inFocus. Tidak sedikit orang Indonesia yang menyebut benda yang digunakan untuk membuat proyeksi atau pencahayaan ini sebagai inFocus. Sesungguhnya, inFocus adalah sebuah merek untuk benda yang disebut proyektor. Kata proyektor merupakan kata baku yang ada di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Akan tetapi, masyarakat Indonesia lebih sering menggunakan kata inFocus, bukan proyektor. Merek ini dimiliki oleh perusahaan yang bernama inFocus Corporation yang berasal dari Amerika. Bahasa Indonesia yang bisa kita gunakan untuk mewakili nama benda tersebut adalah proyektor. Saat ini, proyektor menjadi salah satu media yang penting dalam berbagai aktivitas pekerjaan dan pendidikan.
Kata yang terakhir adalah toa. Apa yang Anda pikirkan ketika mendengar kata toa? Barangkali, banyak yang membayangkan sebuah benda yang digunakan untuk membuat volume suara menjadi lebih lantang. Sebagian besar masyarakat Indonesia menyebut benda tersebut sebagai toa. Kata toa tidak ada di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia sebab toa adalah sebuah merek. Merek toa merupakan milik perusahaan teknologi komunikasi yang ada di Jepang, bernama Toa Corporation, sejak tahun 1934. Masyarakat Indonesia menggunakan kata toa untuk merujuk benda pelantang suara tersebut, yang di dalam bahasa Indonesia disebut sebagai megafon. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata megafon memiliki makna “alat berbentuk corong untuk mengeraskan suara dan mengatur arah suara itu”. Akan tetapi, kesepakatan penggunaan bahasa yang ada di tengah masyarakat, kata toa lebih mudah dipahami daripada megafon.
Itulah empat merek yang sering digunakan oleh orang Indonesia untuk menyebut benda tersebut. Sebenarnya, masih banyak merek-merek lain yang juga sering digunakan untuk menyebut sebuah kata. Dari situasi ini, kita dapat memahami bahwa kesepakatan atau konvensional menjadi sifat utama bahasa yang ada di tengah masyarakat. Oleh sebab itu, kita kemudian menyadari bahwa bahasa akan terus berkembang seiring dengan perkembangan zaman.
Discussion about this post