Musfi Yendra
Dosen Fisipol Unes Padang
Pilkada menurut jadwal akan dilaksanakan 9 Desember 2020 mendatang. Bisa saja ada perubahan melihat kondisi perkembangan pandemi Covid-19. Sebagaimana sebelumnya yang direncanakan di bulan September 2020.
Perludem sebagai lembaga yang concern terhadap Pemilu mengusulkan Pilkada diundur tahun 2021. Namun Mendagri dalam rapat virtual dengan Komisi II DPR RI, Rabu (27/5) menegaskan akan tetap melaksanakan Pilkada tahun ini. Karena tidak ada jaminan tahun depan kondisi pandemi Covid-19 akan berakhir.
Sadar bahwa Pilkada akan tetap digelar di tengah wabah dengan segala resiko kesehatan, KPU mengusulkan penambahan anggaran. Dalam rapat bersama Kemendagri, Bawaslu, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) dan Komisi II DPR, Rabu (27/5), Ketua KPU RI, Arief Budiman sebanyak Rp535,9 miliar.
Dana itu akan dipakai membeli alat pelindung diri (APD) untuk para petugas penyelenggara pemilu dan masyarakat pemilih. Usulan anggaran tersebut untuk membeli masker bagi para pemilih sebanyak 105 juta orang sebesar Rp263,4 miliar.
Rencana pembelian alat kesehatan bagi petugas di Tempat Pemungutan Suara (TPS) dan Panitia Pemutakhiran Data Pemilih sebesar Rp259,2 miliar. Pembelian alat kesehatan bagi para panitia Pemungutan Suara (PPS) sebesar Rp10,5 miliar dan untuk Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) sebesar Rp2,1 miliar. Termasuk juga rencana mengganti alat coblos kertas suara sekali pakai guna menghindari penyebaran virus corona.
Baru sebatas usulan oleh KPU kepada pemerintah. Belum ada keputusan diterima, ditolak atau berapa dipenuhi. Tentu ada alasan yang kuat mengapa itu diusulkan KPU. Demi keselamatan kesehatan penyelenggara dan pemilih. Namun usulan itu menuai kritik yang tajam dari banyak pihak.
Bahkan di sosial media ada yang menuding KPU memanfaatkan situasi. KPU tidak peka, tidak rasional, lembaga negara berlomba menghabiskan dan lain sebagainya. Mengingat kondisi keuangan negara yang banyak hutang dan ambyar-nya APBN tahun ini untuk penanganan Covid-19.
Bicara keuangan di masa wabah ini memang sangat sensitif. Baik keuangan rumah tangga dalam keluarga, keuangan perusahaan oleh pengusaha apalagi anggaran negara pasti disoroti rakyat.
Bisa jadi ada trauma sendiri oleh KPU terhadap penyelenggaraan pesta demokrasi di bangsa kita. Pemilu kita tahun lalu memakan korban jiwa yang cukup banyak. Pada Pemilu 2019 sebanyak 894 petugas KPPS meninggal dunia dan 5.175 petugas mengalami sakit. Penyebab kematian adalah beban kerja penyelenggara yang sangat berat, karena pemilihan presiden dan legislatif dihelat serentak. Angka kematian yang tinggi ketika tidak ada wabah seperti sekarang. Wajar saja KPU cemas terhadap nyawa penyelanggaranya di situasai wabah ini.
Pelaksanaan Pemilu dan Pilkada di negara kita yang seluas ini memang sangat berat. Kondisi demografi dan sebaran penduduk ke berbagai daerah pedalaman membutuhkan sumberdaya yang sangat besar menjangkaunya. Belum lagi soal kesadaran dan partisipasi memilih yang rendah. Kita berikan apresiasi yang tinggi atas kerja penyelenggara Pemilu dan stakeholder terkait yang sangat memperhatikan hak suara rakyat dalam memilih.
Menurut saya saatnya kita beralih sistem pemungutan suara Pemilu dan Pilkada dari tradisional ke online. e-voting sudah harus kita mulai dalam perhelatan demokrasi. Agar biaya politik lembaga penyelenggara kita bisa lebih ditekan/efisien. Termasuk juga meminimalisir kecurangan.
Menyiapkan e-voting tentu juga tidak mudah. Butuh waktu dan masa transisi. Kecanggihan teknologi sudah bisa dimanfaatkan. Harus ditopang dengan sistem proteksi dan pendataan pemilih yang valid. Tantangannya adalah sebaran penduduk. Daerah pedalaman yang belum terakses jaringan internet.
Jika beralih ke e-voting pasti juga belum semua bisa terjangkau. Menurut saya, bagi sebagian besar daerah yang sudah akses, e-voting sudah bisa dimulai. Pemerintah dengan program palapa ring juga sudah membangun fasilitas infrastruktur telekomunikasi berupa jalur serat optik di seluruh Indonesia. Jalur ini akan mendukung pelaksanaan e-voting.
Payung hukum e-voting juga sudah ada. Undang-undang No 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) pasal 5 merupakan landasan hukum e-voting. Perppu No 1 tahun 2014 tentang pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota. Dalam Perppu dijelakan, bahwa pemungutan suara bisa melalui peralatan suara secara elektronik, selain dengan memberi tanda. Juga ada putusan MK No 147/PUU-VII/2009 yang membahas soal e-voting dalam Pilkada.
Pendemi Covid-19 ini telah merubah cara masyarakat dalam membangun komunikasi. Masyarakat sangat melek teknologi. Budaya online sudah berakulturasi dalam diri. Beli sayur seikat dan bawang sekilo sudah via aplikasi. Hampir semua aktivitas dilakukan secara virtual. Orang sudah terbiasa. Internet juga bukan lagi sesuatu yang mahal.
Tentu saatnya memilih pemimpin di suatu daerah tidak perlu lagi datang ke bilik suara tradisional. Mengumpulkan orang, yang bisa jadi ancaman kluster baru penyebaran Covid-19. Dana tambahan yang diusulkan KPU RI sebesar Rp535,9 miliar untuk membeli APD habis pakai, bisa dialihkan membangun sisitem e-voting Pemilu/Pilkada yang akan bisa dipakai terus ke depannya. (*)
Discussion about this post