
Salman Herbowo
(Kolumnis Rubrik Renyah)
Libur kuliah dahulu selalu terasa seperti lagu merdu yang menandai kebebasan. Setelah berminggu-minggu bergulat dengan tugas dan revisi tanpa akhir, akhirnya tiba masa di mana otak bisa beristirahat dan hati bernapas lega. Saat itu, aku dan beberapa teman memutuskan memancing di laut, sebuah petualangan spontan yang menjanjikan angin sejuk, debur ombak, dan harapan akan ikan besar yang siap menyambar kail kami.
Kami berangkat pagi sekali, sekitar pukul tujuh, dari Padang menuju Pariaman dengan empat motor. Udara masih segar, jalanan lengang, dan semangat kami membuncah seperti hendak menaklukkan lautan. Di antara kami ada satu teman yang memang berasal dari daerah tujuan, kami menjulukinya “pemuda setempat”. Sejak awal, dia yang paling antusias, seolah sudah hafal setiap tikungan jalan dan aroma laut yang menunggu di ujung perjalanan.
Setibanya di Pariaman, kami singgah dulu ke rumah keluarganya untuk beristirahat sejenak dan mempersiapkan perbekalan. Di sana kami menata alat pancing, memeriksa umpan, dan bercanda soal siapa yang nanti bakal mendapat ikan paling besar. Setelah semuanya siap, kami melanjutkan perjalanan ke pelabuhan untuk menyewa perahu menuju sebuah pulau kecil yang terkenal dengan spot-spot memancingnya.
Begitu tiba di pelabuhan, kami langsung naik ke perahu dengan semangat membara. Angin laut berhembus lembut, membuat perjalanan terasa cepat dan menyenangkan. Namun sesampainya di pulau, saat kami mulai menurunkan barang-barang dari perahu, tiba-tiba salah satu teman berseru, “Eh, umpannya mana?”.
Seketika semua terdiam, lalu saling pandang. Beberapa detik kemudian kami kompak tertawa getir. Ternyata umpan tertinggal di dalam jok motor! Karena terlalu tergesa-gesa naik perahu, tak satu pun dari kami sempat memindahkannya. Dalam sekejap, rencana besar kami berubah jadi kisah lucu tentang pemancing tanpa umpan.
Awalnya kami tak mau menyerah. Kami mencari sisa umpan milik pemancing lain, berharap masih ada yang bisa diselamatkan. Beberapa memang ada, tapi kondisinya mengenaskan, bau amis menyengat, lembek, dan langsung hancur saat dilempar ke laut. Harapan kami ikut tenggelam bersama potongan umpan itu. Namun bukannya kesal, kami malah menertawakan nasib sendiri. Akhirnya kami sepakat bermalam di pulau itu. Malamnya kami menyalakan api unggun, membakar roti dan mie instan, sambil bercanda hingga larut. Di bawah langit penuh bintang, tawa kami terasa lebih berharga daripada ikan apa pun yang gagal kami tangkap hari itu.
Keesokan paginya, saat perahu datang menjemput, aku menatap laut yang tenang sambil tersenyum. Dari peristiwa sepele itu, aku belajar bahwa hidup sering kali tidak berjalan sesuai rencana. Kadang kita lupa membawa “umpan”, tapi justru di situlah kita belajar menikmati proses. Sebab, yang paling indah dari setiap perjalanan bukan hasilnya, melainkan kenangan yang tertinggal di hati.





