Oleh: M. Subarkah
(Alumni Prodi Sastra Indonesia Universitas Andalas)
Bahasa merupakan alat komunikasi yang selalu berkembang seiring dengan perubahan zaman. Di era digital, perkembangan bahasa mengalami percepatan yang luar biasa. Kehadiran media sosial, aplikasi pesan singkat hingga forum daring menciptakan ruang baru bagi masyarakat untuk berinteraksi. Salah satu fenomena yang paling mencolok adalah munculnya bahasa yang dipersingkat. Fenomena ini ditandai dengan penggunaan singkatan, akronim, dan pemenggalan kata yang sering kali tidak ditemukan dalam kamus resmi. Kata-kata seperti LOL (laugh out loud), BTW (by the way), atau dalam bahasa Indonesia, seperti wkwk, btw, gw, u, dan nanti menjadi bagian dari percakapan sehari-hari di dunia maya.
Fenomena singkatan ini menimbulkan pertanyaan linguistik yang menarik: mengapa masyarakat digital cenderung mempersingkat bahasa? Bagaimana singkatan tersebut memengaruhi pola komunikasi, dan apakah hal itu akan membawa dampak jangka panjang terhadap perkembangan bahasa Indonesia maupun bahasa lain di dunia? Salah satu alasan utama lahirnya singkatan adalah tuntutan efisiensi. Dalam komunikasi digital, terutama pada masa awal penggunaan SMS yang terbatas 160 karakter. Pengguna terbiasa menyingkat kata agar pesan tetap muat, misalnya kata nanti dipersingkat menjadi nnti, atau kamu menjadi km. Meskipun kini aplikasi pesan tidak lagi membatasi panjang teks, kebiasaan mempersingkat kata tetap bertahan.
Selain efisiensi, singkatan juga menciptakan kesan kecepatan dan keakraban. Bahasa digital sering kali digunakan secara spontan dan tidak formal. Maka, penggunaan singkatan menjadi wajar karena sesuai dengan konteks komunikasi yang santai.
Singkatan juga memiliki fungsi sosial. Setiap komunitas digital sering kali menciptakan singkatan khas sebagai penanda identitas kelompok. Misalnya, dalam dunia gim daring (online games), muncul istilah seperti AFK (away from keyboard), noob (pemain pemula), atau GG (good game). Dalam kalangan anak muda Indonesia, kita sering menemukan kata OTW (on the way), PC (personal chat), atau JD (jadi).
Penggunaan singkatan ini memperkuat rasa kebersamaan dan solidaritas antaranggota komunitas. Orang yang memahami singkatan tertentu dianggap “bagian dari dalam,” sementara mereka yang tidak memahami bisa dianggap “orang luar.” Dengan kata lain, singkatan berfungsi sebagai marker of identity dalam interaksi digital.
Fenomena bahasa singkatan menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Sebagian pihak menganggapnya sebagai ancaman terhadap kemurnian bahasa Indonesia. Jika generasi muda terbiasa menggunakan bentuk singkatan, dikhawatirkan mereka akan kesulitan membedakan antara bahasa formal dan informal. Hal ini berpotensi memengaruhi kualitas tulisan akademis, karya ilmiah, hingga komunikasi resmi.
Namun, di sisi lain, fenomena ini dapat dipandang sebagai bagian dari kreativitas berbahasa. Bahasa selalu hidup dan berkembang. Singkatan hanyalah salah satu bentuk inovasi yang muncul karena pengaruh teknologi. Dalam sejarah bahasa, singkatan bukanlah hal baru. Bahasa Indonesia mengenal bentuk akronim resmi, seperti LAN (Local Area Network), KTP (Kartu Tanda Penduduk), atau HP (Handphone). Perbedaannya, singkatan dalam dunia digital muncul secara spontan dan lebih cair tanpa aturan baku.
Tantangan terbesar fenomena ini adalah menjaga keseimbangan antara penggunaan bahasa singkatan dan kemampuan menggunakan bahasa formal. Generasi muda harus menyadari konteks kapan singkatan bisa dipakai, dan kapan harus ditinggalkan, misalnya singkatan wajar dalam percakapan chat atau komentar media sosial, tetapi tidak tepat digunakan dalam surat lamaran kerja atau penulisan ilmiah.
Di sisi lain, fenomena singkatan bisa menjadi bahan kajian menarik bagi linguistik modern. Analisis terhadap singkatan dapat membuka wawasan tentang kreativitas, kecepatan adaptasi, hingga identitas sosial masyarakat digital. Bahkan, beberapa singkatan digital sudah masuk ke dalam kamus bahasa, menandakan bahwa bahasa formal pun bisa menerima perubahan yang lahir dari dunia maya.
Bahasa yang dipersingkat merupakan cermin dari zaman yang serba cepat, instan, dan digital. Singkatan tidak sekadar soal pemotongan kata, tetapi juga mencerminkan cara berpikir, berinteraksi, dan membangun identitas di dunia maya. Tantangan kita bukanlah menolak fenomena ini, melainkan mengarahkan penggunaannya agar tidak menggerus kemampuan berbahasa formal. Dengan demikian, singkatan dapat dilihat sebagai bagian dari dinamika bahasa, bukan ancaman bagi keberlangsungannya.
Bahasa selalu hidup bersama manusia. Selama ada komunikasi, bahasa akan terus berubah, beradaptasi, dan menemukan bentuk-bentuk baru. Singkatan hanyalah salah satu wajah dari perubahan yang lahir dari dunia digital namun tetap memiliki tempat dalam sejarah perkembangan bahasa.