Oleh: Ronidin
(Dosen Sastra Indonesia FIB Universitas Andalas)
Ini kisah perjalanan saya di dua negara, Korea dan Indonesia. Saya tidak membanding-bandingkan, tetapi hanya mengisahkan. Saya mulai dari perjalanan Busan-Seoul di Korea, kemudian Yogyakarta-Jakarta di Indonesia.
Busan dan Seoul merupakan dua kota besar metropolitan di Korea Selatan. Busan terletak di selatan dan Seoul di utara. Jarak keduanya lebih kurang 325 km. Perjalanan dari Busan ke Seoul dan sebaliknya dapat ditempuh dengan bus, kereta api, dan pesawat terbang. Jika naik bus, perjalanan ditempuh lebih kurang 4,5 jam. Jika naik kereta cepat lebih kurang 2 jam. Jika naik pesawat ditempuh selama 45 menit. Perjalanan dengan kereta dan bus sama nyamannya. Naik pesawat lebih mahal.
Perjalanan Busan-Seoul atau sebaliknya dengan kereta atau bus menjadi menyenangkan karena di sepanjang perjalanan kita akan disuguhi berbagai hal yang unik dan menarik. Kita akan melewati puluhan terowongan yang menembus kokohnya gunung atau bukit karang. Terowongan itu tidak pendek, panjang dan lebar. Bayangkan saja panjangnya sekira menembus sebuah bukit.
Jalur kereta maupun jalan tol Busan-Seoul melintasi dataran Korea yang eksotik. Di sepanjang perjalanan kita dapat menikmati kawasan persawahan yang berjenjang-jenjang sejauh mata memandang. Jika perjalanan di awal April, di tengah sawah-sawah yang sedang diolah di awal musim semi itu, akan terlihat bangau-bangau putih mencari makan. Bila di akhir Agustus atau di awal September, kita akan melihat hamparan sawah itu menguning menjelang panen. Jika kita melewati wilayah itu pada bulan-bulan sebelumnya, hijau persawahan menentramkan mata. Jika sesudah Desember hingga Februari, bentangan itu akan terlihat putih bersih ditutupi salju, orang Korea menyebutnya sebagai si peri kecil.
Selain lahan persawahan terlihat pula area perkebunan seperti perkebunan anggur, pir, dan apel. Bila kita lewat di situ pada musim menjelang panen, kebun-kebun itu seperti paradise buah. Buah anggur bergelantungan seolah-olah hanya ada buahnya saja, buah pir berkilat-kilat terkena cahaya matahari, buah apel pun demikian. Juga terlihat kebun kesemek yang memerah. Selain perkebunan tanaman tua, juga ada perkebunan tanaman muda seperti perkebunan strowbery, semangka, melon. Strowbery merah-merah. Semangka tergolek besar-besar. Melon bergelantungan di selayannya, kekuning-kuningan. Di sepanjang jalan pun dapat kita melihat perkebunan untuk keperluan dapur seperti cabe, kentang, sawi, tomat, dan palawija yang lain. Di antara itu, sawi lebih dominan karena bahan pokok untuk kimci, makanan ikonik di Korea. Terlihat pula di sepanjang jalan kebun jagung yang luas.
Selain kebun yang terbentang di alam terbuka, ada juga kebun-kebun rumah kaca yang tersebar di mana-mana. Kebun-kebun di rumah kaca itu dapat diolah sepanjang waktu. Tidak seperti kebun di alam terbuka yang hanya bisa diolah dari musim semi hingga menjelang musim dingin. Hanya sekali dalam setahun.
Lalu, di sepanjang perjalanan kita juga akan melihat gedung-gedung tinggi. Itu adalah apartemen, tempat orang Korea tinggal. Gedung-gedung apartemen itu dibangun berkelompok-kelompok. Apartemen-apartemen itu ada yang sudah jadi dan ditempati, juga ada yang sedang dikerjakan. Terlihat di sana mesin-mesin dan para pekerja yang sedang bekerja. Kononnya para pekerjanya adalah orang Vietnam. Orang lokal di balik layar saja. Di sepenjang perjalanan, kita juga dapat menyaksikan rumah tinggal yang tidak berupa apartemen. Itu adalah rumah-rumah tradisional Korea yang masih dijaga kelestariannya.
Di bagian lain kita akan melihat perbukitan yang masih utuh kayu-kayunya. Kayu-kayu itu tidak ada yang menebang. Tidak ada warga yang berladang di situ. Tidak akan kita lihat asap menyepul dari perbukitan itu. Tidak akan kita dengar bunyi sinso meraung-raung dari sana. Pohon-pohon di perbukitan itu akan tumbuh mengikuti pergantian musim. Pada musim semi, ia akan tumbuh, lalu akan gugur pada musim gugur. Jika kita lewat pada musim menjelang gugur, bukit-bukit itu terlihat indah kemerah-kemerahan, sama seperti di awal musim semi. Di perbukitan itu banyak pula tumbuh pohon sakura yang indah bila berbunga. Jalan di perbukitan mulus dan menjadi tempat rileksasi banyak orang.
Foto di atas sekedar contoh bentangan alam Korea di musim semi. Nah, bentangan seperti ini adakalanya dapat dinikmati sepenjang perjalanan Busan-Seoul atau sebaliknya di musim semi. Ini yang membuat “orang asing” sulit memejamkan mata di atas kereta atau bus yang membawanya. Sementara orang Korea akan pulas dalam kenyamanan sampai kereta berhenti di titik pemberhentian terakhir.
Lain di Korea lain pula di Indonesia. Saya akan berkisah yang saya alami saja. Kisah orang tidak bisa saya mengisahkannya. Ini perjalanan dari Yogyakarta ke Jakarta. Terlalu panjang bila mengisahkan perjalanan Yogyakarta-Jakarta-Padang atau sebaliknya.
Yogyakarta dan Jakarta merupakan dua kota besar di Jawa. Jarak keduanya lebih kurang 520 km. Yogyakarta-Jakarta dan sebaliknya dapat di tempuh dengan kereta api, bus, dan pesawat. Jika naik bus melewati tol Cikopo-Palimanan waktu tempuhnya antara 7 sampai 9 jam. Bila melewati Pantura dibutuhkan waktu lebih lama antara 12 sampai 15 jam. Bila menggunakan kereta api waktu tempuhnya sekitar 6,5 jam melalui jalur selatan. Belum ada kereta cepat Yogyakarta-Jakarta. Adapun waktu tempuh pesawat dari Yogyakarta ke Jakarta atau sebaliknya lebih kurang 55 menit. Tetapi perlu pula dihitung waktu untuk ke bandara Kulonprogo yang jauh dari pusat kota Yogyakarta. Dibutuhkan waktu lebih kurang 50 menit naik bus dan atau 29 menit naik kereta dari pusat kota Yogyakarta ke bandara tersebut.
Perjalanan Yogyakarta-Jakarta dengan kereta atau bus menarik untuk diceritakan. Sepenjang perjalanan kita akan dihadapkan dengan hamparan tanah Jawa yang subur dan melegenda. Di kiri-kanan jalan kita akan menemukan hamparan sawah luas yang eksotis. Juga perkebunan rakyat yang sejauh mata memandang. Seperti di Korea, di sepanjang jalur Yogyakarta-Jakarta kita akan menumukan ratusan hektar sawah yang menghijau di musim sesudah tanam dan menguning di musim menjelang panen. Juga kebun-kebun masyarakat baik kebun tanaman tua seperti karet, jati, dan kebun holtikultura seperti mangga dan rambutan maupun kebun tanaman muda seperti kebun cabe, tomat, bawang merah, kedelai, jagung, dan sebagainya.
Beda dengan di Korea, di sepanjang perjalanan Yogyakarta-Jakarta yang saya lewati masih banyak masyarakat di kiri kanan jalan yang membuat asap melalui pembakaran jerami atau gulma kering di lahan yang selesai dibersihkan. Banyak pula di antaranya yang sengaja membakar lahan untuk diolah lagi. Ini berbeda dengan di Korea yang tanpa asap.
Terkahir saya melewati tol Cikopo-Palimanan bulan Agustus 2023 yang lalu. Sepanjang perjalanan saya melihat berhektar-hektar sawah sudah menguning, bukan karena hendak panen, tetapi akibat kemarau panjang. Tanah di sawah-sawah itu sudah rengkah-rengkah kekurangan air. Sawah yang terlanjur ditanami akan menguning dan yang belum digarap terpaksa dibiarkan menunggu air. Di banyak tempat juga terlihat bekas lahan yang terbakar atau sedang terbakar. Rumput-rumput kering yang tersulut api mengepulkan asap yang menggangu pandangan. Perkebunan bawang merah di daerah Brebes yang biasanya sejauh mata memandang dan hijau segar yang membuat mata nyaman memandangnya, kala itu hanya terlihat di beberapa titik saja. Sebagian besar ladang bawang merah kekeringan sehingga tumbuh kembang bawangnya terhambat. Bawang yang tumbuh tidak maksimal di antara lahan yang tidak bisa digarap menimbulkan kesan eksotis. Adakah ini petanda awal dari krisis pangan. Bisa jadi.
Begitulah. Semua ini mungkin karena faktor alam. Sejatinya, perjalanan darat Yogyakarta-Jakarta atau sebaliknya memberi kesan yang menyenangkan, menyegarkan mata dan pikiran melalui bentangan alam Jawa yang eksotis. Itu yang mendorong banyak orang memilih naik bus atau naik kereta dibandingkan naik pesawat. Dengan naik bus atau naik kereta, kita akan menyaksikan pesona alam di kiri kanan jalan sebagai salah satu jalan relaksasi pikiran.
Satu hal lagi yang ingin saya sampaikan. Ketika saya naik bus dari Busan ke Seoul di Korea, di sepanjang perjalanan saya tidak menemukan adanya kecelakaan dan kemacetan. Ketika saya naik bus dari Yogyakarta ke Jakarta, saya menyaksikan beberapa kali kecelakaan, juga kemacetan. Kemacetan yang saya dapati misalnya di daerah Subang atau ketika memasuki tol Cikampek. Di sana ada beberapa perbaikan bagian tol yang mempersempit badan jalan. Akan tetapi, yang jelas aktivitas jalan raya kita belum seperti di Korea yang sudah tersistem dengan baik. Peruntukan jalur untuk bus dan kendaraan pribadi sudah terstruktur dengan baik dan masing-masingnya tidak saling alah-mengalahkan.
Terakhir, kisah ini saya akhiri di sini. Ini hanyalah kisah saya. Sekali lagi, tidak untuk membanding-bandingkan. Semoga dengan kisah ini ada hikmah yang dapat kita petik. Wallahualam bissawab.
Discussion about this post