Oleh: Elly Delfia
(Dosen Jurusan Sastra Indonesia FIB Universitas Andalas)
Perjalanan pertama saya ke tanah suci terjadi pada September 2019 sebelum pandemi covid-19 melanda dunia. Alhamdulillah pada tahun itu saya diberi kesempatan untuk melaksanakan ibadah umrah bersama ibu mertua dan kakak ipar. Kami beserta rombongan jamaah lainnya berangkat dengan penerbangan langsung dari Bandara Internasional Minangkabau menuju Bandara Internasional King Abdul Aziz, Jeddah. Setelah 9-10 jam penerbangan, pesawat kami mendarat di Jeddah sore hari.
Hal pertama yang saya rasakan saat turun dari pesawat adalah cuaca panas. Cuaca itu tidak sama dengan cuaca di Indonesia. Mungkin suhunya berada di atas 35 derajat celsius. Akan tetapi, hati saya terasa sejuk dan terharu saat menyadari telah menginjakkan kaki untuk pertama kalinya di tanah suci. Tempat yang saya rindukan sejak lama. Dulu, saya pernah bercita-cita bahwa perjalanan ke luar negeri pertama adalah ke tanah suci. Meskipun kenyataannya, perjalanan itu bukanlah perjalanan pertama saya ke luar negeri karena sebelumnya saya juga sudah pernah menginjakkan kaki di beberapa negara yang lain. Kemudian, saya menyadari satu hal bahwa Allah selalu memberikan sesuatu yang lebih dari apa yang manusia cita-citakan jika sudah mempunyai niat.
Setelah turun dari pesawat, para jamaah diarahkan langsung menuju bus yang mengantarkan kami ke Madinah. Para jamaah diberitahukan oleh ustad pembimbing bahwa ibadah dimulai di Madinah. Setelah beberapa hari di Madinah, baru pindah ke Mekah. Sebelum azan magrib berkumandang, bus yang berisi rombongan jamaah telah sampai di hotel yang terletak sekitar 500 meter dari Masjid Nabawi. Kami mendapat kamar masing-masing, ada yang sekamar berdua, bertiga, berempat, hingga berlima orang. Saya sekamar berlima dengan ibu mertua, kakak ipar, dan ibu mertua serta adik ipar dari kakak ipar saya.
Dari salah satu jendela kamar hotel, saya memotret Masjid Nabawi senja itu dengan perasaan takjub. Ada banyak lampu yang berkilauan menerangi Masjid Nabawi di senja hari. Lampu-lampu itu membuat Masjid Nabawi terlihat sangat megah dan indah. Di pelataran Masjid Nabawi, berdiri ratusan tonggak yang saya tidak tahu itu tonggak apa. Para jamaah pun bergegas mengambil wudu dan bersiap-siap menuju Masjid Nabawi untuk mengecap indahnya ibadah pertama salat magrib di tanah suci. Saya melupakan tonggak itu.
Keesokannya harinya, saya baru menyadari kalau ratusan tonggak yang semalam saya potret adalah payung-payung raksasa yang sudah terbuka lebar pagi hari. Saya juga takjub menyaksikan ada payung berukuran sebesar itu. Payung-payung bewarna putih dengan gari-garis keemasan dan pita biru di ujung kainnya. Payung-payung itu ternyata bisa terbuka dan tertutup secara otomatis pada waktu senja dan pagi hari. Senja hari sebelum magrib payung-payung itu akan tertutup pelan-pelan selama lebih kurang 3-5 menit dan pagi hari payung-payung itu kembali terbuka pelan-pelan tanpa suara berisik.
Payung-payung tersebut adalah payung elektrik atau payung konvertibel yang berfungsi melindungi jamaah yang beribadah di pelataran Masjid Nabawi dari panasnya cuaca di Arab Saudi. Dari berbagai sumber yang saya baca, payung-payung tersebut berjumlah sekitar 250 buah dengan lebar payung 25 meter dan tinggi lebih kurang 20 meter. Payung-payung cantik yang menakjubkan itu dibangun di area seluas 143.000 meter persegi dengan kapasitas jamaah sekitar 200.000 orang lebih. Perusahaan bernama Liebherr di Jerman disebut sebagai perusahaan yang membuat payung-payung raksasa nan megah itu. Payung-payung itu berisi 436 kipas semprot dan setiap kipas memiliki 16 bukaan yang menyemprotkan air sebanyak 200 liter per jam. Kipas-kipas itu dapat menurunkan suhu sebanyak 8 derajat celsius melalui pita warna biru yang terdapat di pinggiran kain payung. Kemampuannya menurunkan suhu agar lebih sejuk membuat nyaman para jamaah yang beribadah di bawahnya.
Pada suatu sore ketika masih berada di Madinah, saya salat asar di bawah payung raksasa karena tidak mendapat tempat di dalam Masjid Nabawi yang sudah penuh. Selesai salat ashar saya tidak langsung kembali ke hotel, tetapi duduk-duduk sambil berzikir di bawah payung raksasa di pelataran Masjid Nabawi. Tanpa terasa hari telah sore, payung raksasa yang menaungi saya dan jamaah lain tiba-tiba tertutup pelan-pelan. Saya juga kembali terpana menyaksikan payung itu menutup pelan-pelan. Saya tidak lupa mendokumentasikan detik-detik tertutupnya payung-payung raksasa itu. Saat itu, saya menyaksikan sendiri bagaimana cara kerja payung-payung raksasa itu menguncup pelan-pelan hingga akhirnya hanya terlihat seperti tonggak yang tegak lurus di malam hari. Momen berharga yang mempertontonkan kecanggihan teknologi itu tidak lupa saya abadikan dengan kamera ponsel.
Dari payung-payung raksasa tersebut saya belajar bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi tidak hanya mendatangkan kenyamanan hidup, tetapi juga mendatangkan kenyamanan beribadah saat memuji kebesaran Allah SWT, Sang Maha Pencipta. Masjid Nabawi yang dibangun oleh Rasulullah atau Nabi Muhammad SAW ribuan tahun lalu semakin nyaman dengan adanya payung-payung raksasa yang berjejer di pelatarannya. Sekarang, beberapa masjid di Indonesia juga telah membangun payung-payung raksasa elektrik seperti itu untuk meneduhi pelatarannya. Payung-payung tersebut tidak hanya memberi kenyamanan, tetapi juga menjadi daya tarik tersendiri yang merupakan bagian dari wisata religi.
Discussion about this post