Rabu, 02/7/25 | 03:35 WIB
  • Dapur Redaksi
  • Disclaimer
  • Pedoman Pemberitaan Media Siber
  • Tentang Kami
Scientia Indonesia
  • TERAS
  • EKONOMI
  • HUKUM
  • POLITIK
  • DAERAH
  • EDUKASI
  • DESTINASI
  • LITERASI
    • ARTIKEL
    • CERPEN
    • KLINIK BAHASA
    • KREATIKA
    • PUISI
  • RENYAH
  • TIPS
No Result
View All Result
  • TERAS
  • EKONOMI
  • HUKUM
  • POLITIK
  • DAERAH
  • EDUKASI
  • DESTINASI
  • LITERASI
    • ARTIKEL
    • CERPEN
    • KLINIK BAHASA
    • KREATIKA
    • PUISI
  • RENYAH
  • TIPS
No Result
View All Result
Scientia Indonesia
No Result
View All Result
  • TERAS
  • EKONOMI
  • HUKUM
  • POLITIK
  • DAERAH
  • EDUKASI
  • DESTINASI
  • LITERASI
  • RENYAH
  • TIPS
Home LITERASI ARTIKEL

Jalan Mendaki Transformasi Universitas Andalas

Minggu, 26/11/23 | 07:57 WIB

Oleh: Rafnel Azhari
(Dosen Universitas Andalas)

 

Unand sudah berusia 67 tahun hari ini. Sebagai sebuah perguruan tinggi usia ini tentu masih merupakan usia yang muda. Begitu banyak Universitas di dunia yang sudah berusia lebih dari satu milenium, sebut saja misalnya Universitas Oxford, Universitas Cambridge, ataupun Universitas Al Azhar, bahkan banyak universitas di dalam negeri dan juga di Asia yang jauh lebih tua dari Unand. Namun, sebagai universitas yang tertua di luar Pulau Jawa dan sekaligus hidup di era dan tantangan yang berubah cepat, tuntutan untuk Unand melompat maju lebih transformatif dan resilien sangat dibutuhkan, bukan hanya oleh civitas Unand dan bangsa Indonesia semata, melainkan juga oleh peradaban yang terus menghadapi guncangan dan tantangan yang tidak mudah. Semua ini tentu membutuhkan strategi namun juga memerlukan basis idealisme bukan  cara-cara pragmatis yang hanya akan membawa perguruan berjalan melingkari huruf U, seakan-akan maju, tetapi sebenarnya sedang menuju pemunduran bolak balik dalam jebakan huruf U.

BACAJUGA

Rendang Minang Juara: Dari  Identitas Budaya Menuju Penguatan  Ekonomi Lokal

Rendang Minang Juara: Dari Identitas Budaya Menuju Penguatan Ekonomi Lokal

Minggu, 21/11/21 | 07:00 WIB

Jebakan Peringkat Menengah Perguruan Tinggi

Hampir semua universitas menargetkan untuk terus memperbaiki rangking dunia, termasuk Universitas Andalas. Tak ayal rektor baru Unand yang sudah dilantik baru- baru ini  tentu menempatkan ini juga sebagai visi utama. Dalam lima tahun terakhir kita bisa melihat sangat berat bagi perguruan tinggi Indonesia untuk masuk dalam jajaran top 200 dunia. Yang terjadi justru rangking yang naik turun pada kisaran yang tidak berbeda meskipun  jurus dan sumber daya yang dikeluarkan berbagai rupa. Hal ini yang disebut oleh Badri Munir Sukoco (2023) dalam tulisannya di Kompas sebagai jebakan peringkat menengah perguruan tinggi. Wakil Asia yang mampu masuk ke Top 100 di antaranya hanya Tiongkok, Singapura, Korea Selatan, Jepang, Malaysia, dan Taiwan. Namun, jika kita pelajari, Tiongkok misalnya memiliki strategi gradualisme, tidak ada yang instant dan ingin selalu memotong jalur. Ekosistem, tata kelola, dan kebijakan yang berjangka panjang adalah pondasi yang dibangun secara gradual dan penuh kesabaran.

Dalam hal publikasi ilmiah perguruan tinggi Indonesia sudah berhasil membalikkan keadaan. Indonesia dari negara terburuk kedua pada saat sekarang telah menjadi penghasil artikel jurnal ilmiah terbanyak di Asia Tenggara mengalahkan Singapura, Malaysia, dan Thailand. Namun, 86 persen publikasi tersebut berada pada jurnal yang berdampak rendah. Ditenggarai berbagai mekanisme insentif yang diberikan kepada peneliti dan dosen dalam proses publikasi telah membalik keadaan ini dengan cepat. Hal ini yang di nukil oleh Stephan (1996) bahwa peneliti melakukan penelitian bukan atas keinginannya sendiri, bukan dilandasi keluhuran melakukan penelitian dan berkontribusi terhadap pengetahuan dan lebih jauh peradaban, melainkan sebatas kepentingan material personal berupa insentif.

Para peneliti terekspos lewat insentif yang diberikan sebab itulah posisi peneliti telah dikonseptualisasikan sebagai agen ekonomi yang menanggapi insentif keuangan. Caroline V Fry, John Lynham, dan Shannon Tran  dalam publikasinya yang berjudul ”Ranking researchers: Evidence from Indonesia” (2023) yang dipublikasikan oleh jurnal Research Policy menyindir hal ini dengan halus, mereka menyebut  peneliti Indonesia sedang melakukan gaming the system (mempermainkan sistem) bukan membangun pondasi dan ekosistem akademik yang benar. Jadi, perguruan tinggi kita berada dalam arus pragmatisme dan prestasi semu yang hanya akan mengungkung universitas dalam jebakan peringkat menengah padahal sumber daya  publik yang dikeluarkan sudah besar. Hal ini tentu jebakan yang akan mendorong pada pemubaziran.

Unand dan tentu juga universitas lain di Indonesia perlu kembali ke khittah atau jati dirinya sebagai sebuah perguruan tinggi.  Hal ini tentu bukan jalan pintas, tetapi hal ini adalah jalan mendaki yang akan menjadi basis untuk melakukan capaian yang berdampak bagi masyarakat, bangsa, dan peradaban.

Kembali ke Khittah

Universitas pada sejarah awalnya adalah sesuatu yang disebut sebagai studium generale atau tempat belajar hal-hal yang umum untuk mencari kebenaran universal atau kebenaran yang berlaku umum. Lalu pada akhirnya disebut sebagai universitas. Jadi, universitas adalah tempat mencari kebenaran yang berlaku umum dan untuk kemaslahatan umum, bukan untuk segelintir orang atau kelompok tertentu sehingga menjadi salah dan patut kita pertanyakan ambisi hilirisasi inovasi perguruan tinggi yang terkonsentrasi besar pada industri disaat penggunaan dana publik untuk membiayai perguruan tinggi kita masih sangat besar. Hampir 80 persen pembiayan perguruan tinggi di Indonesia dibiayai melalui APBN dan dana publik. Kontribusi industri atau swasta masih sangat minim. Ambisi hilirisasi ke industri ini harus didudukan secara proporsional dan berkeadilan.

Sejak dahulu kala pertarungan di univesitas ada pada dua hal. Pertama, soal tata kelola menyangkut otonomi perguruan tinggi dan  pertarungan yang lain adalah menyangkut tujuan dan fungsi ilmu (Supeli, 2020). Hal ini masih relevan hari ini. Konflik kepentingan yang terjadi di perguruan tinggi kita tidak terlepas dari dua hal ini. Otonomi perguruan tinggi hari-hari ini dipelesetkan dan dipaksakan lebih besar kepada aspek pembiayaan semata. Sebaliknya, esensi otonomi perguruan tinggi seperti  kebebasan akademik dan tradisi kolegialitas terasa semakin memudar. Kalau kita tengok ke internal maka kita bisa merasakan kesadaran beruniversitas semakin lemah. Kita lebih cendrung berpikir dan berjuang secara berfakultas-fakultas, bahkan berprodi-prodi dalam sekat ilmu yang sempit, lalu kita formalisasi secara beruniversitas untuk kepentingan keluar semata. Kita lebih terkotak-kotak dengan upaya saling mendukung yang lebih rendah. Cara berpikir dan bekerja seperti ini telah menghambat pembangunan tata kelola yang lebih progresif dalam semangat universitas.

Watak perguruan tinggi yang menjadi pilar penyangga dalam mencari kebenaran ilmiah yang perlu kita bangun dengan sistem adalah rasa ingin tahu yang sehat, bukan sekadar mengintip atau ingin tahu sekadarnya, keterbukaan, toleransi, keberanian, kejujuran, kegigihan, dan kecermatan intelektual. Debat argumen adalah napas perguruan tinggi yang harus kita biasakan dan kita tradisikan dalam keseharian aktivitas kita di universitas karena hanya dengan itu pengetahuan dapat diuji dan berkembang. Hanya dengan itu komunitas episteme tumbuh.

Soal watak keberanian perguruan tinggi sudah lama disampaikan oleh Bung Hatta. Bung Hatta menyampaikan, “hal paling pokok di dalam hidup perguruan tingi adalah keberanian. Keberanian mengatakan yang benar dan keberanian mengatakan yang salah”. Hal ini menuntut perguruan tinggi kembali ke jati diri dan jantung fungsi universitas, yakni menghasilkan ilmu untuk kebaikan bagi masyarakat bukan untuk sekelompok orang dengan visi pencerdasan kehidupan bersama melalui independensi dan kemandirian yang kuat.

Membawa universitas kembali ke jati dirinya dengan sistem dan pendekatan yang gradual penuh kesabaran akan menjadi basis transformasi dan resiliensi universitas. Melakukan transformasi digital, pengembangan future skills, transformasi proses bisnis, pembangunan advanced technology labs, kerja sama internasional, ataupun proses internasionalisasi atau hal lain sebagainya adalah ikutan saja. Akan jauh lebih mudah untuk kita lakukan, jika kita telah membangun pondasi sistem yang kuat, tata kelola yang baik, dan ekosistem akademik yang sehat tanpa jalan pintas pragmatisme sempit yang hanya membawa kita pada prestasi semu. Hal inilah yang kami sebut sebagai jalan mendaki transformasi dan resiliensi universitas yang harus kita tempuh bersama.

Tags: #Rafnel Azhari
ShareTweetShareSend
Berita Sebelum

Kata “Temu” dan Imbuhan yang Menyertainya

Berita Sesudah

Ujaran Kebencian di Media Sosial

Berita Terkait

Tantangan Kuliah Lapangan Fonologi di Era Mobilitas Tinggi

Tantangan Kuliah Lapangan Fonologi di Era Mobilitas Tinggi

Minggu, 29/6/25 | 08:21 WIB

Oleh: Nada Aprila Kurnia (Mahasiswa Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas dan Anggota Labor Penulisan Kreatif/LPK)   Kridalaksana (2009),...

Mendorong Pemberdayaan Perempuan melalui KOPRI PMII Kota Padang

Mendorong Pemberdayaan Perempuan melalui KOPRI PMII Kota Padang

Minggu, 22/6/25 | 13:51 WIB

Oleh: Aysah Nurhasanah (Anggota KOPRI PMII Kota Padang)   Kopri PMII (Korps Putri Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia) merupakan organisasi yang...

Aspek Pemahaman Antarbudaya pada Sastra Anak

Ekokritik pada Fabel Ginting und Ganteng (2020) Karya Regina Frey dan Petra Rappo

Minggu, 22/6/25 | 13:12 WIB

Oleh: Andina Meutia Hawa (Dosen Prodi Sastra Indonesia FIB Universitas Andalas)   Kajian ekokritik membahas hubungan antara manusia, karya sastra,...

Perkembangan Hukum Islam di Era Digital

Mencari Titik Temu Behaviorisme dan Fungsionalisme dalam Masyarakat Modern

Minggu, 22/6/25 | 13:00 WIB

Oleh: Nahdaturrahmi (Mahasiswa Pascasarjana UIN Sjech M. Jamil Jambek Bukittinggi)   Sejarah ilmu sosial, B.F. Skinner dan Émile Durkheim menempati...

Salah Kaprah Penggunaan In dan Out di Ruang Publik

Salah Kaprah Penggunaan In dan Out di Ruang Publik

Minggu, 15/6/25 | 10:52 WIB

Oleh: Mita Handayani (Mahasiswa Magister Linguistik FIB Universitas Andalas)   Cassirer (dalam Lenk, 2020) mengatakan bahwa manusia adalah animal symbolicum,...

Metafora “Paradise” dalam Wacana Pariwisata

Frasa tentang Iklim dalam Situs Web Greenpeace

Minggu, 15/6/25 | 09:39 WIB

Oleh: Arina Isti’anah (Dosen Sastra Inggris, Universitas Sanata Dharma) Baru-baru ini kita disadarkan oleh fenomena kerusakan alam Raja Ampat yang...

Berita Sesudah

Ujaran Kebencian di Media Sosial

Discussion about this post

POPULER

  • Ketua DPD Partai Golkar Sumbar terpilih, Khairunnas saat menerima dokumen persidangan. [foto : ist]

    Khairunnas Kembali Pimpin Golkar Sumbar, Terpilih Secara Aklamasi dalam Musda

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Jembatan Akses Utama Kampung Surau Rusak Parah, Warga: Jangan Sampai Ada Korban Jiwa

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tanda Titik pada Singkatan Nama Perusahaan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Musda Golkar Sumbar Digelar Besok, Ketua Umum Bahlil Lahadalia dan Sejumlah Tokoh Nasional Hadir

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Penggunaan Kata Depan “dari” dan “daripada” yang Tidak Tepat

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Yonnarlis Ungkap Pentingnya Sinergi dan Kolaborasi Masyarakat dan Polri

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Peringatan HUT ke-79 Bhayangkara, Ketua DPRD Dharmasraya: Polri Harus jadi Pelayan Masyarakat

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
Scientia Indonesia

PT. SCIENTIA INSAN CITA INDONESIA 2024

Navigate Site

  • Dapur Redaksi
  • Disclaimer
  • Pedoman Pemberitaan Media Siber
  • Tentang Kami

Follow Us

No Result
View All Result
  • TERAS
  • EKONOMI
  • HUKUM
  • POLITIK
  • DAERAH
  • EDUKASI
  • DESTINASI
  • LITERASI
    • ARTIKEL
    • CERPEN
    • KLINIK BAHASA
    • KREATIKA
    • PUISI
  • RENYAH
  • TIPS

PT. SCIENTIA INSAN CITA INDONESIA 2024