Oleh: Rafnel Azhari
(Dosen Universitas Andalas)
Unand sudah berusia 67 tahun hari ini. Sebagai sebuah perguruan tinggi usia ini tentu masih merupakan usia yang muda. Begitu banyak Universitas di dunia yang sudah berusia lebih dari satu milenium, sebut saja misalnya Universitas Oxford, Universitas Cambridge, ataupun Universitas Al Azhar, bahkan banyak universitas di dalam negeri dan juga di Asia yang jauh lebih tua dari Unand. Namun, sebagai universitas yang tertua di luar Pulau Jawa dan sekaligus hidup di era dan tantangan yang berubah cepat, tuntutan untuk Unand melompat maju lebih transformatif dan resilien sangat dibutuhkan, bukan hanya oleh civitas Unand dan bangsa Indonesia semata, melainkan juga oleh peradaban yang terus menghadapi guncangan dan tantangan yang tidak mudah. Semua ini tentu membutuhkan strategi namun juga memerlukan basis idealisme bukan cara-cara pragmatis yang hanya akan membawa perguruan berjalan melingkari huruf U, seakan-akan maju, tetapi sebenarnya sedang menuju pemunduran bolak balik dalam jebakan huruf U.
Jebakan Peringkat Menengah Perguruan Tinggi
Hampir semua universitas menargetkan untuk terus memperbaiki rangking dunia, termasuk Universitas Andalas. Tak ayal rektor baru Unand yang sudah dilantik baru- baru ini tentu menempatkan ini juga sebagai visi utama. Dalam lima tahun terakhir kita bisa melihat sangat berat bagi perguruan tinggi Indonesia untuk masuk dalam jajaran top 200 dunia. Yang terjadi justru rangking yang naik turun pada kisaran yang tidak berbeda meskipun jurus dan sumber daya yang dikeluarkan berbagai rupa. Hal ini yang disebut oleh Badri Munir Sukoco (2023) dalam tulisannya di Kompas sebagai jebakan peringkat menengah perguruan tinggi. Wakil Asia yang mampu masuk ke Top 100 di antaranya hanya Tiongkok, Singapura, Korea Selatan, Jepang, Malaysia, dan Taiwan. Namun, jika kita pelajari, Tiongkok misalnya memiliki strategi gradualisme, tidak ada yang instant dan ingin selalu memotong jalur. Ekosistem, tata kelola, dan kebijakan yang berjangka panjang adalah pondasi yang dibangun secara gradual dan penuh kesabaran.
Dalam hal publikasi ilmiah perguruan tinggi Indonesia sudah berhasil membalikkan keadaan. Indonesia dari negara terburuk kedua pada saat sekarang telah menjadi penghasil artikel jurnal ilmiah terbanyak di Asia Tenggara mengalahkan Singapura, Malaysia, dan Thailand. Namun, 86 persen publikasi tersebut berada pada jurnal yang berdampak rendah. Ditenggarai berbagai mekanisme insentif yang diberikan kepada peneliti dan dosen dalam proses publikasi telah membalik keadaan ini dengan cepat. Hal ini yang di nukil oleh Stephan (1996) bahwa peneliti melakukan penelitian bukan atas keinginannya sendiri, bukan dilandasi keluhuran melakukan penelitian dan berkontribusi terhadap pengetahuan dan lebih jauh peradaban, melainkan sebatas kepentingan material personal berupa insentif.
Para peneliti terekspos lewat insentif yang diberikan sebab itulah posisi peneliti telah dikonseptualisasikan sebagai agen ekonomi yang menanggapi insentif keuangan. Caroline V Fry, John Lynham, dan Shannon Tran dalam publikasinya yang berjudul ”Ranking researchers: Evidence from Indonesia” (2023) yang dipublikasikan oleh jurnal Research Policy menyindir hal ini dengan halus, mereka menyebut peneliti Indonesia sedang melakukan gaming the system (mempermainkan sistem) bukan membangun pondasi dan ekosistem akademik yang benar. Jadi, perguruan tinggi kita berada dalam arus pragmatisme dan prestasi semu yang hanya akan mengungkung universitas dalam jebakan peringkat menengah padahal sumber daya publik yang dikeluarkan sudah besar. Hal ini tentu jebakan yang akan mendorong pada pemubaziran.
Unand dan tentu juga universitas lain di Indonesia perlu kembali ke khittah atau jati dirinya sebagai sebuah perguruan tinggi. Hal ini tentu bukan jalan pintas, tetapi hal ini adalah jalan mendaki yang akan menjadi basis untuk melakukan capaian yang berdampak bagi masyarakat, bangsa, dan peradaban.
Kembali ke Khittah
Universitas pada sejarah awalnya adalah sesuatu yang disebut sebagai studium generale atau tempat belajar hal-hal yang umum untuk mencari kebenaran universal atau kebenaran yang berlaku umum. Lalu pada akhirnya disebut sebagai universitas. Jadi, universitas adalah tempat mencari kebenaran yang berlaku umum dan untuk kemaslahatan umum, bukan untuk segelintir orang atau kelompok tertentu sehingga menjadi salah dan patut kita pertanyakan ambisi hilirisasi inovasi perguruan tinggi yang terkonsentrasi besar pada industri disaat penggunaan dana publik untuk membiayai perguruan tinggi kita masih sangat besar. Hampir 80 persen pembiayan perguruan tinggi di Indonesia dibiayai melalui APBN dan dana publik. Kontribusi industri atau swasta masih sangat minim. Ambisi hilirisasi ke industri ini harus didudukan secara proporsional dan berkeadilan.
Sejak dahulu kala pertarungan di univesitas ada pada dua hal. Pertama, soal tata kelola menyangkut otonomi perguruan tinggi dan pertarungan yang lain adalah menyangkut tujuan dan fungsi ilmu (Supeli, 2020). Hal ini masih relevan hari ini. Konflik kepentingan yang terjadi di perguruan tinggi kita tidak terlepas dari dua hal ini. Otonomi perguruan tinggi hari-hari ini dipelesetkan dan dipaksakan lebih besar kepada aspek pembiayaan semata. Sebaliknya, esensi otonomi perguruan tinggi seperti kebebasan akademik dan tradisi kolegialitas terasa semakin memudar. Kalau kita tengok ke internal maka kita bisa merasakan kesadaran beruniversitas semakin lemah. Kita lebih cendrung berpikir dan berjuang secara berfakultas-fakultas, bahkan berprodi-prodi dalam sekat ilmu yang sempit, lalu kita formalisasi secara beruniversitas untuk kepentingan keluar semata. Kita lebih terkotak-kotak dengan upaya saling mendukung yang lebih rendah. Cara berpikir dan bekerja seperti ini telah menghambat pembangunan tata kelola yang lebih progresif dalam semangat universitas.
Watak perguruan tinggi yang menjadi pilar penyangga dalam mencari kebenaran ilmiah yang perlu kita bangun dengan sistem adalah rasa ingin tahu yang sehat, bukan sekadar mengintip atau ingin tahu sekadarnya, keterbukaan, toleransi, keberanian, kejujuran, kegigihan, dan kecermatan intelektual. Debat argumen adalah napas perguruan tinggi yang harus kita biasakan dan kita tradisikan dalam keseharian aktivitas kita di universitas karena hanya dengan itu pengetahuan dapat diuji dan berkembang. Hanya dengan itu komunitas episteme tumbuh.
Soal watak keberanian perguruan tinggi sudah lama disampaikan oleh Bung Hatta. Bung Hatta menyampaikan, “hal paling pokok di dalam hidup perguruan tingi adalah keberanian. Keberanian mengatakan yang benar dan keberanian mengatakan yang salah”. Hal ini menuntut perguruan tinggi kembali ke jati diri dan jantung fungsi universitas, yakni menghasilkan ilmu untuk kebaikan bagi masyarakat bukan untuk sekelompok orang dengan visi pencerdasan kehidupan bersama melalui independensi dan kemandirian yang kuat.
Membawa universitas kembali ke jati dirinya dengan sistem dan pendekatan yang gradual penuh kesabaran akan menjadi basis transformasi dan resiliensi universitas. Melakukan transformasi digital, pengembangan future skills, transformasi proses bisnis, pembangunan advanced technology labs, kerja sama internasional, ataupun proses internasionalisasi atau hal lain sebagainya adalah ikutan saja. Akan jauh lebih mudah untuk kita lakukan, jika kita telah membangun pondasi sistem yang kuat, tata kelola yang baik, dan ekosistem akademik yang sehat tanpa jalan pintas pragmatisme sempit yang hanya membawa kita pada prestasi semu. Hal inilah yang kami sebut sebagai jalan mendaki transformasi dan resiliensi universitas yang harus kita tempuh bersama.
Discussion about this post