Oleh: Rizky Amelya Furqan
(Dosen Prodi Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas)
“Ketika Jurnalisme Dibungkam, Maka Sastra yang Berbicara”
-Seno Gumira Ajidarma
Perihal permasalahan Orde Baru bukan lagi sesuatu yang awam untuk dibicarakan, melainkan sesuatu yang menarik karena masih ada teka-teki pada masa itu yang belum terjawab. Salah satunya adalah permasalahan orang-orang yang tidak ditemukan hingga saat ini. Namun, hal menarik lainnya untuk dibicarakan adalah perkembangan karya sastra dan kehadiran sastra yang dibatasi pada masa itu. Pembatasan ini berkaitan dengan pembatasan menyampaikan pendapat yang dilakukan oleh penguasa. Hal itu mengakibatkan sastrawan menyuarakan keresahan melalui karya sastra.
Menyuarakan pendapat melalui karya sastra juga tidak berjalan lancar karena terjadi pemberedelan terhadap kehadiran karya sastra, termasuk drama. Drama pada masa itu dimulai dari drama yang dijadikan sebagai sarana propaganda politik. Hal ini terlihat dari beberapa teater resmi yang didirikan dan diawasi oleh negara. Salah satunya adalah Teater Populer yang didirikan oleh Teguh Karya di bawah naungan Departemen Penerangan. Pengawasan dilakukan berupa pembatasan kebebasan artistik yang terkait dengan konten dan tema drama. Drama yang didorong kehadirannya adalah drama-drama politik yang memuji kepemimpinan penguasa. Bentuk dukungan yang diberikan adalah dukungan finansial untuk pertunjukan drama-drama yang sesuai dengan ideologi penguasa.
Beberapa naskah drama yang pernah dicekal penguasa di antaranya :
- “Panggung Bangsaku” karya W.S. Rendra: Naskah drama ini mengkritik ketidakadilan sosial dan politik pada masa Orde Baru. Pemerintah melarang pementasan naskah ini karena dianggap mengandung konten subversif dan dapat mengganggu stabilitas politik.
- “Setan Perang” karya Ratna Sarumpaet: Naskah drama ini mengangkat tema kekerasan politik dan pelanggaran hak asasi manusia pada masa Orde Baru. Pemerintah melarang pementasan naskah ini karena dianggap mengandung konten yang tidak sesuai dengan narasi resmi rezim.
- “Ratu Marok” karya Putu Wijaya: Naskah drama ini mengkritik korupsi dan kekacauan moral dalam pemerintahan pada masa Orde Baru. Pemerintah melarang pementasan naskah ini karena dianggap memiliki pesan subversif yang dapat mengganggu stabilitas politik.
- “Api di Bukit Menoreh” karya Arifin C. Noer: Naskah drama ini diadaptasi dari novel sejarah karya S.H. Mintardja yang mengisahkan perjuangan rakyat dalam melawan penjajahan Belanda. Meskipun tidak secara langsung dikaitkan dengan situasi politik Orde Baru, pemerintah melarang pementasan naskah ini karena dianggap dapat membangkitkan semangat perlawanan yang tidak diinginkan.
- “Darah Jingga” karya Warih Wisatsana: Naskah drama ini mengangkat tema pembantaian 1965-1966 yang terjadi pada masa transisi kekuasaan dari Sukarno ke Soeharto. Pemerintah melarang pementasan naskah ini karena dianggap menyentuh isu sensitif yang terkait dengan sejarah.
Pencekalan tersebut membuat sastrawan menyuarakan ide dengan aliran simbolis atau tidak straight to the point sehingga tidak terlalu menjadi sumber perhatian. Hal lain yang menyebabkan kecurigaan penguasa, terutama dengan kehadiran teater modern adalah karena terjadi persinggungan sosial dan budaya antarmasyarakat. Hal ini menyebabkan terjadinya pertukaran pikiran sehingga menimbulkan pikiran yang kritis dari masyarakat.
Aliran simbolisme merupakan aliran yang hadir karena penolakan pada aliran realisme yang dianggap membatasi proses interpretasi, sedangkan aliran simbolisme memberikan ruang yang luas untuk memaknai. Aliran simbolisme pada dasarnya adalah aliran yang mengungkapkan ide melalui sugesti dan simbol atau lambang-lambang tertentu. Berbicara simbol erat kaitannya dengan teori semiotika. Art Van Zoest, seorang peneliti semiotika membagi analisis semiotika menjadi tiga bagian, yaitu a) ikon spasial: apakah ada kesamaan bentuk atau simbolik antara dekor/kostum, tanda-tanda panggung dan tanda-tanda politik; b) ikon relasional: hubungan struktural antara antara akting dan dialog; c) ikon metafora: melihat dari alur cerita, babak, alegori/majas yang digunakan akan terlihat ideologi apa yang ada dalam pementasan.
Salah satu naskah menarik yang bisa dikaji dengan teori ini adalah naskah Suksesi dari Nano Riantiarno garapan Teater Koma. Teater ini didirikan di Jakarta, 1 Maret 1977 dan digagas oleh Nano Riantiarno. Pertunjukan Teater Koma ditandai dengan tema bermuatan humor dan kritis sehingga lebih sukses secara komersil serta memiliki titik singgung yang lebih nyata dengan dunia politik. Naskah Suksesi dicekal setelah 11 hari penampilannya di Taman Ismail Marzuki (TIM). Naskah ini bercerita tentang seorang raja bernama Bukbangkalan yang kebingungan memilih penggantinya karena tak seorang pun dari keempat putra–putrinya dianggap tepat untuk menjadi pengganti. Selain itu, raja juga dikelilingi oleh para pembantu munafik yang dengan berbagai cara mengincar tahta. Akhirnya, Raja Bukbangkalan bermain–main dan terjerat oleh permainannya sendiri sehingga Togog dan Bilung, dua pembantu setianya, tidak sanggup menolongnya.
Dari naskah ini ditemukan ikon spasial yang berkaitan dengan visual, gerak, dan audio. Ikon spasial visual terlihat dari beberapa peristiwa, yaitu a) Raja Bukbangkalan sebagai orang tua yang beruban, tetapi masih lincah; b) Berada di ketinggian yang hanya bisa dicapai melewati gerbang besi yang kokoh dan lorong gelip; c) Singgasananya dihiasi papan catur dan gurita yang besar; d) dan ada yoyo mainan kesukaannya; e) Anak perempuannya digambarkan dengan pakaian tradisional Jawa yang mewah. Ikon spasial gerak terlihat dari, a) Akting masing-masing tokoh berkaitan dengan pergantian tahta atau suksesi, di antaranya: b) Absalom (anak tertua): berangasan, pengecut, dan tidak punya leadership, tetapi ambisius.; c) Suksesi: ambisius, licik, dan bergaya pejabat seperti bapaknya; d) Lesmana: tak punya ambisi, tak acuh, dan sibuk dengan musik; e) Sundari: diam, tidak ambisius, cenderung sinis, dan manja. Terakhir, ikon spasial audio dapat dilihat dari: a) Pidato suksesi dalam adegan malam dana yang berhamburan dengan kata “daripada” dan “pembangunan”; b) Dialog dari dua pengikut raja “di jaman sekacau ini, salah ngomong mampus kamu. Makanya, ngomonglah dengan kata-kata yang membingungkan. Semakin orang bingung, semakin aman kita.”
Selain ikon spasial, ikon relasional juga dapat dilihat dari visual, gerak, dan audio. Ikon relasional visual terlihat dari penggambaran singgasana raja yang letaknya lebih tinggi dari pada tempat kejadian lain dan situasi Suksesi di malam dana yang menampilkan glamornya Ibu-ibu kaya lainnya. Penggambaran ikon relasional gerak dapat dilihat dari adegan Sheba yang melatih suaminya, Absalom agar bisa bersikap sebagai layaknya calon Raja dan aspri raja yang tingkahnya tidak lebih dari badut, tetapi ia mampu melarang anak, menantu, atau para jenderal yang akan menjenguk raja. Selanjutnya, ikon relasional audio terlihat dari dialog raja dan aspri yang membicarakan kekayaan anak-anaknya dan dialog raja tentang penggambaran kekuasaan yang dimiliki semacam olahraga.
Dari naskah Suksesi ini juga ditemukan ikon metafora yang menggambarkan kekuasaan politik yang cukup korup, menciptakan nafsu mempertahankan walaupun mengorbankan keluarga sendiri. Kemudian, proses pengalihan kekuasaan yang berjalan tertutup dan tidak ada yang bisa dipercaya, bahkan dua aspri raja yang dianggap setia ternyata juga berkhianat.
Penjabaran di atas membuktikan pendapat Teeuw tentang kehadiran karya sastra yang menggambarkan fenomena yang terjadi dalam masyarakat berbanding lurus dengan kehadiran karya sastra. Hal inilah yang membuat karya sastra tidak hanya hadir sebagai imajinasi belaka, tetapi juga kritik terhadap kehidupan dalam bermasyarakat, baik dari segi sosial, budaya, bahkan juga kehidupan politik.
Discussion about this post