Oleh: Roma Kyo Kae Saniro
(Dosen Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas)
Membicarakan sastra, banyak orang hanya berpikir tentang sebuah naskah atau cerita atau teks. Namun, perkembangan ilmu pengetahuan memberikan perkembangan yang semakin luas untuk bidang sastra. Salah satunya adalah adanya sastra pariwisata. Kemudian, sastra dapat dikaji dari berbagai perspektif, seperti kajian sastra yang selama ini bersifat kritis dibantu oleh berbagai teori-teori post-strukturalisme, post-modernisme, dekonstruksi, dan post-kolonial. Namun, adanya berbagai karya yang ditulis dengan semangat kritis yang berisi aktivitas yang erat kaitannya dengan industri pariwisata. Berbagai karya sastra mampu memotret pariwisata dan mulai muncul kajian kritis di bidang pariwisata yang berkaitan dengan fenomena dan bencana. Kombinasi ini melahirkan kajian wisata sastra yang muncul di Eropa dan Asia yang baik untuk kajian wisata atas sastra maupun kajian sastra atas wisata.
Pengadopsian kajian wisata sastra di Eropa dan Cina melahirkan pendekatan sastra pariwisata yang dapat dilakukan dalam empat hal, yaitu pertama terkait dengan kajian tematik pariwisata sastra (tourism themes); kedua terkait dengan kajian atas peninggalan sastrawan dan tempat-tempat sastra yang menjadi daya tarik wisata (literary figure, literary place); ketiga terkait dengan kajian aktivitas sastra, seperti festival yang menjadi daya tarik wisata (literary events, activities); dan keempat terkait dengan sastra yang dialihwahanakan ke dalam bentuk lain, seperti film dan menjadi saran promosi pariwisata (ecranisation).
Pembahasan kali ini menekankan pada festival yang menjadi daya tarik wisata (literary events, activities) dan kajian peninggalan sastrawan serta tempat-tempat sastra yang menjadi daya tarik wisata (literary figure, literary place). Pertama, festival sastra dapat dimaknai sebagai sebuah contoh sastra pariwisata karena di dalamnya memberikan perkembangan kepariwisataan. Hal ini mengingat bahwa adanya tindakan yang dilakukan untuk mempromosikan suatu tempat atau daerah sebagai atraksi atau tujuan wisata atau sastra mampu menyampaikan kritik atas pembangunan pariwisata yang berlebihan atau yang menimbulkan dampak bagi kehidupan sosial budaya.
Beberapa festival sastra yang diselenggarakan di berbagai wilayah di Indonesia, seperti Ubud Writers and Readers Festival (UWRF) yang dilaksanakan setiap tahun di Ubud, Festival Sastra Bianglala, Dari Negeri Poci, Pertemuan Penyair Nusantara, Tifa Nusantara, Temu Sastrawan Indonesia, Kemah Penyair Nusantara Lembah Ijen, Ketep Summit Festival, Bajarbaru’s Literary Festival, Makasar International Literary Festival, Borobudur Writers and Cultural Festival, Angkatan Kosong-Kosong, dan Tadarus Puisi. Tentunya, dengan adanya festival tersebut menempatkan sastra sebagai objek yang melibatkan para sastrawan, kritikus sastra, akademisi, peneliti, pegiat literasi, dan masyarakat lainnya. Melalui kegiatan pertemuan ini, perpanjangan umur sastra berusaha dipertahankan dan lebih disuburkan kembali.
Untuk menganalisis keterhubungan sastra dengan pariwisata, kita dapat menggunakan dua metode berupa observasi dan kajian dokumen. Melalui observasi, peneliti dapat mengikuti tour sebagai wisatawan sehingga dapat mengamati item-item yang berkaitan dengan sastra yang dijadikan sebagai daya tarik wisata. Lalu, melalui metode kepustakaan, penulis atau peneliti dapat melalukan mengamati penggunaan karya sastra khususnya kutipan-kutipan puisi dalam buku panduan wisata atau bahan promosi lainya. Metode ini pun dapat dilakukan untuk kegiatan sastra yang ada di Padang Panjang.
Tidak hanya festival yang disebutkan sebelumnya, Padang Panjang, Sumatera Barat pun memiliki festival sastra yang disebut sebagai Temu Penyair Asia Tenggara. Kegiatan ini berisi diskusi, pembacaan puisi, dan pertunjukkan seni yang berlangsung beberapa hari. Kegiatan ini dilaksanakan di Padang Panjang dengan beberapa lokasi yang dikunjungi oleh para peserta. Tentunya, tidak hanya konten diskusi yang dibahas adalah topik persastraan, tetapi juga ada aspek pariwisata yang harus ditekankan pada acara ini. Salah satunya adalah tempat-tempat yang dikunjungi oleh penyair dan peserta yang mengikuti kegiatan ini.
Untuk menganalisis keterhubungan sastra dengan pariwisata, kita dapat menggunakan dua metode berupa observasi dan kajian dokumen. Melalui observasi, peneliti dapat mengikuti tur sebagai wisatawan sehingga dapat mengamati item-item yang berkaitan dengan sastra yang dijadikan sebagai daya tarik wisata. Lalu, melalui metode kepustakaan, penulis atau peneliti dapat melalukan mengamati penggunaan karya sastra khususnya kutipan-kutipan puisi dalam buku panduan wisata atau bahan promosi lainya. Metode ini pun dapat dilakukan untuk kegiatan sastra yang ada di Padang Panjang ini.
Kegiatan TPAT II ini dibalut dengan adanya kunjungan-kunjungan dan diskusi yang dilakukan pada tempat desa wisata di Kubu Gadang, Padang Panjang. Sebagai tempat yang dirintis sejak tahun 2014, Kubu Gadang menawarkan berbagai kearifan lokal, tradisi, dan budaya sebagai daya tarik dengan berbagai atraksi seni, wisata edukasi, dan pasar digital. Kubu Gadang pun merupakan salah satu desa terbaik di Sumatera Barat versi GIPIA award tahun 2020 dengan ikonnya berupa silek lanyah. Tentunya, Kubu Gadang sebagai tempat wisata dapat memberikan peluang besar dalam aspek perekonomian masyarakat setempat. Masyarakat diberikan kesempatan untuk membuka booth untuk berbagai makanan dan minuman atau buku yang dipajang dan dijual pada beberapa bagian kegiatan. Hal menarik adalah banyaknya peserta yang hadir adalah masyarakat di luar Sumatera Barat yang tidak pernah atau pernah datang ke Sumatera Barat sebelumnya. Dapat dimaknai bahwa melalui hal ini, adanya promosi tempat yang dijadikan sebagai tempat penyelenggaraan kegiatan ini.
Tidak hanya terkait dengan kajian aktivitas sastra, seperti festival yang menjadi daya tarik wisata (literary events, activities), TPAT II pun dapat dikaitkan dengan kajian peninggalan sastrawan dan tempat-tempat sastra yang menjadi daya tarik wisata (literary figure, literary place). Sebanyak 100 karya penyair yang dibukukan dan memiliki beberapa di antara karya tersebut berusaha melupakan ungkapan perasaannya tentang Padang Panjang. Hal ini tentunya menjadi suatu hal penting dalam bagian sastra pariwisata seperti yang diungkapkan oleh Busby dan Klug dalam Hoppen (2014) bahwa sastra pariwisata lahir karena adanya momentum penyair atau hasil karyanya menjadi sangat terkenal sehingga orang-orang memiliki ketertarikan pada lokasi yang terkait dengan penulis tersebut, misal adalah tempat kelahiran, rumah, dan kuburan atau tempat lainnya yang digunakan dalam tulisan.
Padang Panjang menjadi objek dalam karya puisi yang ditulis oleh beberapa penyair mengungkapkan gambaran Padang Panjang melalui perspektif sastra sehingga pembaca memiliki keingintahuan terkait dengan Kota Padang Panjang. Daya tarik masyarakat melalui tulisan yang ada di puisi tersebut. Wisatawan yang datang ke tempat tersebut dapat merasakan suasana tempat yang digambarkan melalui puisi tersebut. Kota Padang Panjang sebagai objek dapat dikatakan sebagai inspirasi penyair untuk berkarya. Sastra dapat memberikan kontribusi langsung terkait dengan pengembangan pariwisata di tempat tersebut.
Dengan adanya pelabelan bahwa Padang Panjang sebagai kota literasi, hal ini mendukung pernyataan bahwa Padang Panjang bukan hanya sebagai kota Serambi Mekah yang dapat dihadiri oleh berbagai wisatawan. Tempat ini juga tidak hanya untuk berlibur atau bersekolah, tetapi juga membantu mendukung pelabelan kota literasi bagi Padang Panjang dengan pariwisata yang memberikan ketertarikan lainnya untuk hadir ke kota ini. Kajian aktivitas sastra terkait dengan kajian literary events, activities, dan literary figure, literary place tidak hanya untuk mengetahui dinamika dan manfaatnya serta apresiasi untuk kelanjutannya, tetapi juga mendokumentasikannya sebagai bagian dari sejarah sastra dan budaya, khususnya di Kota Padang Panjang.
Discussion about this post