Rabu, 19/11/25 | 14:14 WIB
  • Dapur Redaksi
  • Disclaimer
  • Pedoman Pemberitaan Media Siber
  • Tentang Kami
Scientia Indonesia
  • TERAS
  • EKONOMI
  • HUKUM
  • POLITIK
  • DAERAH
  • EDUKASI
  • DESTINASI
  • LITERASI
    • ARTIKEL
    • CERPEN
    • KLINIK BAHASA
    • KREATIKA
    • PUISI
  • RENYAH
  • TIPS
No Result
View All Result
  • TERAS
  • EKONOMI
  • HUKUM
  • POLITIK
  • DAERAH
  • EDUKASI
  • DESTINASI
  • LITERASI
    • ARTIKEL
    • CERPEN
    • KLINIK BAHASA
    • KREATIKA
    • PUISI
  • RENYAH
  • TIPS
No Result
View All Result
Scientia Indonesia
No Result
View All Result
  • TERAS
  • EKONOMI
  • HUKUM
  • POLITIK
  • DAERAH
  • EDUKASI
  • DESTINASI
  • LITERASI
  • RENYAH
  • TIPS
Home LITERASI ARTIKEL

Konflik Sosial dan Politik pada Naskah “Penjual Bendera” Karya Wisran Hadi

Minggu, 02/11/25 | 17:12 WIB

 

Pada pukul 10:00 pagi, 17 Agustus 1945, di Jalan Pegangsaan Timur No. 56, Jakarta. Berkat desakan dari golongan muda, Indonesia berhasil memanfaatkan waktu yang sempit untuk memproklamasikan kemerdekaan. Muhammad Hatta mendampingi Soekarno untuk membacakan teks proklamasi kemerdekaan Indonesia dengan disaksikan masyarakat pada saat itu. Pembacaan itu sebagai bentuk seruan bahwasanya negeri ini telah terbebas dari belenggu penjajah yang selama ini menyengsarakan masyarakat Indonesia.

Hingga saat ini momen perayaan kemerdekaan Indonesia dirayakan dari ujung timur hingga ujung barat negeri ini. Mulai dari perlombaan 17 Agustus yang banyak diikuti anak-anak, kegiatan upacara peringatan hari kemerdekaan, hingga pemasangan bendera disetiap rumah sebagai bentuk rasa nasionalisme masyarakat Indonesia.

BACAJUGA

Identitas Lokal dalam Buku Puisi “Hantu Padang” Karya Esha Tegar

Identitas Lokal dalam Buku Puisi “Hantu Padang” Karya Esha Tegar

Minggu, 19/10/25 | 23:23 WIB

Bendera yang berwarna merah dan putih itu tentu saja selalu berkibar, terutama pada hari Senin di setiap sekolah-sekolah dan lebih utamanya lagi hampir setiap rumah memasang bendera merah putih itu pada hari kemerdekaan. Merah melambangkan keberanian dan putih yang melambangkan kesucian. Warna tersebut mewakili jati diri bangsa Indonesia yang berani berjuang untuk kemerdekaan dan memiliki hati yang bersih serta kejujuran dalam persatuan. Lantas apakah setelah mengibarkan bendera di setiap rumah dan pelaksanaan upacara yang diadakan besar-besaran setiap 17 Agustus, bisa menjadi bukti bahwasanya Indonesia telah merdeka?

Setiap orang memiliki berbagai macam cara menjawab pertanyaan tersebut, salah satunya Wisran Hadi yang menulis sebuah naskah drama yang berjudul “Penjual Bendera” yang merupakan bentuk sindiran dan kritikan yang diproyeksikan. Pengarang menampilkan isu-isu sosial dan politik yang dibalut dalam sebuah cerita yang ringan, yaitu tentang keluarga yang menjual bendera, sehari sebelum kemerdekaan Indonesia. Singkatnya naskah ini bercerita tentang satu keluarga besar yang terdiri dari tiga generasi, yaitu kakek, ayah, dan cucu.

Sompeng:

Tapi kain apapun cepat lapuknya dan lama-lama juga habis dimakan rayap. Karenanya orang-orang mencari bahan lain supaya bendera tahan lama.

 Gareng:

Bendera apapun dapat saja lapuk dan habis. Tapi pohon kapas terus tumbuh. Yang lapuk diganti. Nah, kita akan berdosa apabila kapas masih ada tapi tidak berusaha mengganti bendera yang telah lapuk.

 Hal ini sudah kukatakan berkali-kali pada kawan-kawan seperjuangan di Gedung Kebangsaan, tapi malah mereka mencurigaiku. Aku harus terus berjuang mempertahankan bendera ini dari kain. Kain terbuat dari kapas.

Pada dialog Sompeng dan Gareng pada awal naskah “Penjual Bendera” kita dapat melihat gigihnya perjuangan seorang veteran yang selalu mengingat perjuangan yang dahulu sempat dia usahakan dan selalu menjaga makna dari kemerdekaan dengan diibaratkan sebuah bendera walaupun Gareng pada akhirnya diberhentikan. Naskah ini juga menjawab pertanyaan tentang pemikiran kebebasan dan kemerdekaan yang terdapat pada dialog pada naskah “Penjual Bendera” karya Wisran Hadi.

Sompeng:

Apa gunanya bertahan saat ini, bang. Bertahan atau tidak, melawan atau tidak, setuju atau tidak, semuanya akan tetap berjalan seperti yang telah mereka gariskan.

 Dapat dilihat dari dialog Sompeng yang menjelaskan keterbatasan mengenai suatu masyrakat dalam memperoleh suara yang mereka inginkan dan pada akhirnya terpaksa harus menjalankan sesuai apa yang pihak atas inginkan.Dan juga pada dialog.

Sompeng:

Artinya setiap pegawai dan istrinya mendapat kemerdekaan sepotong-sepotong?

 Gareng:

Otakmu, Sompeng! Otakmu Sompeng! Otakmu terlalu sederhana sehingga kau mudah terjebak jadi ekstremis. Bagaimana mungkin setiap orang mendapatkan kemerdekaan penuh. Kemerdekaan punya batas dan batasan. Pegawai punya aturan dan peraturan. Semuanya harus tahu aturan. Karenanya istri-istri juga harus tahu aturan.

Pada dialog di atas, dapat dilihat bagaimana Gareng menjelaskan kemerdekaan yang sejatinya tidak diperoleh secara penuh. Berawal dari dialog Sompeng yang membuat Gareng marah, yang kemudiannya Gareng menjelaskan kepada Sompeng bahwasanya kemerdekaan itu telah didapatkan pada tahun 1945. Namun, pada akhirnya kemerdekaan itu tidak didapatkan secara penuh karena kemerdekaan dan kebebasan tersebut tidak dapat sepenuhnya didapatkan di negeri ini. Dialog tersebut menjelaskan kemerdekaan yang mempuyai batasan.

Kemerdekaan diperoleh pada dasarnya agar semua masyarakat Indonesia merasakan kenyamanan dan ketenteraman dari bayang-bayang belenggu penjajah yang pernah menindas. Namun, naskah ini bukan hanya menggambarkan kemerdekaan secara garis besar, tetapi juga pada lingkup kecil seperti sebuah lingkungan keluarga. Hal ini dapat dilihat pada dialog berikut.

 Gareng:

Jaringan otakmu memang sudah sudah ada yang bolong! Ingat Jondul. Aku ini, bapakmu sendiri, adalah pejuang yang ikut mempertahankan bendera kita. Jangan kau ikut-ikutan merendahkan nilai perjuanganku dengan plastikmu itu.

Sompeng:

Si bapak memperjuangkan kemerdekaan tapi tidak mau mengakui kemerdekaan anaknya sendiri memilih bahan bendera bangsanya.

Dialog di atas memperlihatkan percakapan mengenai bahan dari sebuah bendera yang pantas digunakan. Dialog yang diucapkan Gareng menggambarkan perbedaan ideologi yang mereka pahami. Mengenai kemerdekaan, Jondul memilih bahan yang berbeda dari yang digunakan Gareng, hal itu menggambarkan  perbedaan pemikiran dalam menyikapi suatu masalah dan menggambarkan bagaimana kemerdekaan itu telah dilanggar walaupun dalam lingkup kecil yaitu keluarga. Selain itu naskah drama ini juga menyinggung terkait kemiskinan yang berhubungan dengan lemahnya perekonomian Indonesia, terutama susahnya mendapatkan pekerjaan dan gaji yang amat rendah di bawah dari batas UMR di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari dialog.

Jondul:
Ini kan hanya proyek, pak. Proyel. Aku memerlukan sejumlah uang. Taka da maksud lain.

Gareng:
Walaupun dari dulu kita tidak pernah kaya tapi kita tidak pernah memintaminta.

Jondul:
Benar pak. Tapi kita selalu kekurangan uang.

Gareng:
Itu biasa. Kan tidak ada hubungannya antara kemiskinan dan uang. Uang dari kertas, kemiskinan dari jiwa. Paham!

Dialog ini menjelaskan bagaimana anggapan kemiskinan yang diibaratkan dua hal, yakni uang dan jiwa. Di luar mengenai sentilan terhadap perekonomian di Indonesia, dialog ini juga sebagai bentuk penjelasan terkait kondisi veteran Indonesia yang tidak mendapatkan kesejahteraan, yang ditandai dengan kondisi hidup yang pas-pasan, hingga kebutuhan dasar seperti kesehatan dan hunian yang layak masih belum terpenuhi.

Naskah ini juga menjelaskan stigma masyarakat bahwa seorang sarjana saja yang memiliki pemikiran dan dianggap layak untuk didengar. Seperti pada kalimat “Untuk membeli gelar sarjana. Gagasan apa pun harus didukung dengan gelar kesarjanaan”

Naskah ini juga menyentil seorang pemimpin yang selalu berfoya-foya menggunakan uang rakyat dan sebagai bentuk sentilan terhadap pemerintahan yang selalu memilih mengimpor barang-barang disbanding menggunakan produk dalam negeri, seakan kemampuan orang luar lebih baik dibanding kemampuan rakyat sendiri.

Sompeng:
Kalian telah berusaha membuat bendera, tapi kalah bersaing dengan bendera buatan luar negeri. Kalian pahlawan, korban dari persaingan perdagangan. Tapi jangan patah semangat. Hanya kitalah yang tahu persis di mana bendera kita diletakkan di Gedung Kebangsaan kita.

 Akhir dari naskah ini juga sebagai gambaran masyarakat pada awalnya optimis dengan negerinya namun pada akhirnya dikecewakan oleh negeri sendiri.

Mula-mula dengan penuh semangat, lama-lama menjadi sendu dan masing-masing menghapus air mata dengan punggung tangan. Mereka tidak menangis, tetapi air mata mereka tak teduh, diiringi lagu-lagu perjuangan yang terus dipancarkan dari Gedung Kebangsaan.

Tags: #Sabina Yonandar
ShareTweetShareSend
Berita Sebelum

Kalimat Perintah di dalam Bahasa Indonesia

Berita Sesudah

Puisi-puisi Delivia Nazwa Syafiariza

Berita Terkait

Sengketa Dokdo: Jejak Sejarah dan Pelajaran untuk Masa Kini

Sengketa Dokdo: Jejak Sejarah dan Pelajaran untuk Masa Kini

Minggu, 16/11/25 | 13:49 WIB

Oleh: Imro’atul Mufidah (Mahasiswa S2 Korean Studies Busan University of Foreign Studies, Korea Selatan)   Kebanyakan mahasiswa asing yang sedang...

Puisi-puisi M. Subarkah

Budaya Overthinking dan Krisis Makna di Kalangan Gen Z

Minggu, 16/11/25 | 13:35 WIB

Oleh: M. Subarkah (Mahasiswa Prodi S2 Linguistik Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas)   Di tengah gemerlap dunia digital dan derasnya...

Aspek Pemahaman Antarbudaya pada Sastra Anak

Belajar Budaya dan Pendidikan Karakter dari Seorang Nenek yang ‘Merusak’ Internet

Minggu, 16/11/25 | 13:27 WIB

Oleh: Andina Meutia Hawa (Dosen Prodi Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas)   Di ruang keluarga. Seorang nenek sedang...

Aia Bangih Bukan Air Bangis

Apa Pentingnya Makna?

Minggu, 02/11/25 | 16:43 WIB

Oleh: Ahmad Hamidi (Dosen Prodi Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas)    Apa pentingnya makna? Sejauh mana ia menggambarkan...

Lari Pagi atau Sore, Mana yang Lebih Efektif ?

Lari Pagi atau Sore, Mana yang Lebih Efektif ?

Minggu, 26/10/25 | 11:27 WIB

Oleh: Muhammad Afif  (Mahasiswa MKWK Bahasa Indonesia dan Mahasiswa Departemen Teknik Sipil Universitas Andalas)   Beberapa tahun terakhir, olahraga lari...

Puisi-puisi M. Subarkah

Ketika Bahasa Daerah Mulai Sunyi, Siapa yang Menjaga?

Minggu, 26/10/25 | 10:29 WIB

Oleh: M.Subarkah (Mahasiswa Prodi S2 Linguistik Universitas Andalas)   Bahasa daerah adalah warisan yang tidak hanya layak dikenang, tetapi harus...

Berita Sesudah
Puisi-puisi Delivia Nazwa Syafiariza

Puisi-puisi Delivia Nazwa Syafiariza

POPULER

  • Wali Kota Padang Fadly Amran hadiri, Festival Marandang yang berlangsung di depan Perumahan DMJ RT 01 RW 01, Kelurahan Tanjung Saba Pitameh Nan XX, Kecamatan Lubuk Begalung, Minggu (16/11).(Foto:Ist)

    Walikota Padang Apresiasi Festival Merandang

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Walikota Resmikan Pembangunan Jalan Taratak Saiyo

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mobil Carry Terbakar di Bendungan Batu Bakawuik, Damkar Dharmasraya Gerak Cepat

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Apakah Kata “bapak” dan “ibu” Harus Ditulis dalam Huruf Kapital ?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Cerpen “Umak Saddam dan Tuah Batang Gadis” Karya Muttaqin Kholis Ali dan Ulasannya Oleh Azwar

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Sumbang 12 untuk Puti Bungsu Minangkabau

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Cerpen “Ekspedisi Maut di Gunung Sorik Marapi” Karya Muttaqin Kholis Ali dan Ulasannya oleh Azwar

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
Scientia Indonesia

PT. SCIENTIA INSAN CITA INDONESIA 2024

Navigate Site

  • Dapur Redaksi
  • Disclaimer
  • Pedoman Pemberitaan Media Siber
  • Tentang Kami

Follow Us

No Result
View All Result
  • TERAS
  • EKONOMI
  • HUKUM
  • POLITIK
  • DAERAH
  • EDUKASI
  • DESTINASI
  • LITERASI
    • ARTIKEL
    • CERPEN
    • KLINIK BAHASA
    • KREATIKA
    • PUISI
  • RENYAH
  • TIPS

PT. SCIENTIA INSAN CITA INDONESIA 2024