
Padang, Scientia.id – Tragedi yang menimpa bocah 11 tahun di Nagari Guguak VIII Koto, Kabupaten Lima Puluh Kota, menyisakan duka mendalam sekaligus menampar kesadaran publik akan rapuhnya sistem perlindungan anak. Bocah tersebut meninggal dunia setelah diduga menjadi korban penganiayaan oleh ayah kandungnya sendiri.
Anggota DPRD Sumatera Barat, Firdaus, menilai kasus ini bukan sekadar kekerasan dalam rumah tangga, melainkan bukti nyata kegagalan kolektif dalam menjamin hak hidup dan rasa aman bagi anak. “Ini tamparan keras bagi semua pihak. Anak yang seharusnya tumbuh dalam kasih sayang justru menjadi korban dari orang terdekatnya,” kata Firdaus kepada Scientia.id, Jumat (25/7).
Firdaus menekankan bahwa peristiwa ini seharusnya menggugah kesadaran kolektif bahwa sistem perlindungan anak belum berjalan efektif, terutama dalam lingkup keluarga. Ia menyoroti lemahnya pengawasan sosial di tingkat lokal, serta kurangnya keterlibatan aktif dari tokoh adat, lembaga pendidikan, dan masyarakat dalam mendeteksi serta mencegah kekerasan terhadap anak.
“Kita butuh ketahanan keluarga, tapi juga perlu mekanisme deteksi dini di lingkungan terdekat. Pencegahan jauh lebih penting daripada penindakan setelah tragedi terjadi,” ujarnya.
Menurut Firdaus, pendekatan penegakan hukum harus diiringi dengan penguatan nilai-nilai sosial dan edukasi tentang pola asuh yang aman dan sehat. Ia juga mendorong agar isu perlindungan anak menjadi agenda utama lintas sektor, bukan hanya ranah aktivis atau dinas sosial.
“Ini bukan hanya tragedi keluarga. Ini adalah alarm keras bahwa kita belum benar-benar hadir untuk anak-anak kita,” tegasnya.
Firdaus, yang juga Ketua DPW PKB Sumbar, menyatakan bahwa pihaknya akan terus menggalang kampanye perlindungan anak dan penguatan keluarga sebagai bagian dari misi kemanusiaan. “Kita tidak boleh membiarkan tragedi ini berlalu begitu saja. Harus ada perubahan nyata.” (*)